Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut. Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.

Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.

Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java 

Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000 gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua, coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek bernama C.P. W Schoemaker.

Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola. Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.

Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.

Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau hanya ornamen.

Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal. Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung Tangkuban Perahu.

Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja. Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi salah satu bangunan cagar budaya ini.

Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So berharap dulu sambil berusaha.

Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan. 



sauna leuhang

Apa yang ada dibenak kamu jika mendengar kata leuhang?

Bagi sebagian masyarakat Jawa Barat khususnya Sunda mengenal leuhang sebagai salah satu cara untuk menyehatkan badan. Pasalnya uap panas yang dihasilkan dari air leuhang kaya akan manfaat bagi tubuh. Jadi apa sebenarnya leuhang itu?  

Menurut Kamus Basa Sunda, R.A Danadibrata Leuhang adalah godogan dangdauan nu karesed atawa nu parahang, caina haneut-haneut dipake mandi supaya sehat; sok disebut oge cileuhang. Artinya air mendidih dari beragam daun yang memiliki rasa sepat, airnya bisa dipake mandi supaya sehat; airnya disebut juga cileuhang.

Kabarnya jika orang Sunda kena penyakit kulit, mereka akan mengobatinya dengan cara dileuhang. Selain itu kerap digunakan juga bila mereka sakit flu, dan bahkan kabarnya bisa membantu menurunkan berat badan.

Baca juga: Sarung Indie Asal Majalaya

Berbicara leuhang, saya memiliki pengalaman. Belum lama ini, orang tua saya membawa beragam daun dari temannya di daerah Ciwangi, Majalaya. Beragam daun tersebut direbus untuk dijadikan leuhang. Dalam satu keresek hitam itu terdapat daun sirih, kayu manis, honje, pandan.

Batang Honje Bahan Leuhang
Daun Sirih Bahan Leuhang
Daun Salam Bahan Leuhang

Daun-daun tersebut di rebus sampai mendidih. Jangan lupa siapkan sebuah ruangan darurat atau portable untuk sarana dileuhang. Saat itu saya memakai peralatan seadanya yakni kain sarung, selimut yang dijadikan semacam sasaungan. Di dalam saung tersebut nantinya saya duduk menghadap panci berisi cileuhang. Saya aduk-aduk, lalu hisap uapnya. Berceceran keringat di tubuh saya. Kalau tidak salah saya bertahan dalam sasaungan itu sekitar 10-15 menit. Kalau kelamaan nanti bisa pusing yang akhirnya pingsan deh.

Leuhang sauna sunda rempah-rempah

Leuhang Sarana Pengobatan Alternatif

Tentu melihat ini, kamu pasti sedikit membayangkan bahwa leuhang hampir mirip seperti sauna. Saya bisa mengiyakanannya, tapi ada perbedaannya. Jika sauna hanya mengandalkan uap air biasa akan tetapi leuhang memakai uap yang mengandung rempah-rempah seperti yang telah saya sebutkan, ada sirih, kayu manis dan lainnya.

Rempah-rempah inilah yang dipercaya bisa sebagai pengobatan. Selain itu aroma yang dihasilkan rempah-rempah ini seperti aroma terapi. Menyejukan dan mendinginkan kepala. Eh ko dingin sih, tetep aja panas tahu.

Baca juga: Borondong Majalaya, Oleh-oleh Khas Bandung Selatan

Hingga artikel ini ditulis saya belum menemukan sebuah penelitian akademik tentang manfaat leuhang. Kendati begitu saya merasakanya sendiri khasiatnya. Dileuhang sebanyak dua kali saja, badan saya merasa segar, hidung tidak mampet lagi. Sehingga dengan dileuhang secara rutin, saya percaya akan baik bagi kesehatan tubuh.

Rempah-rempah untuk leuhang sunda

Leuhang di Belahan Dunia Lainnya

Banyak orang sudah tak asing dengan sauna atau spa. Sarana menjaga kebugaran tubuh melalui mandi uap. Kegiatan ini sangat laris di hotel-hotel yang ada di dunia.  Kabarnya praktek ini sudah berlangsunng sejak zaman Romawi kuno. Bahkan tentara Roma rutin melakukan ini sebagai pengobatan luka yang didapat ketika perang. Kegiatan spa ini berkembang di Jepang dengan nama ryoken, di Turki dikenal dengan hammams, dan Finlandia dengan nama Sauna. Nah di Jawa Barat sendiri ada yang namanya leuhang.

Artikel Populer: Cara Sesat Menangkal Konten Porno

Selain itu, dalam beberapa anime seperti One Piece, saya kerap menemukan scene para tokohnya yang tengah berada di pemandian air panas atau sauna. Entah itu melepas lelah atau jadi ajang berkumpul bersama kawan. Tapi karena itu praktek ini terus hidup dan bertahan.

Saya berpikir leuhang perlu kembali dikabarkan pada kaum milenial sebagaimana Jepang mengenalkan budayanya lewat anime atau manga.


Masa Depan Leuhang di Priangan

Sebagai mana sauna dan spa yang selalu ada di hotel bintang lima, saya ingin leuhang berada di posisi tersebut. Leuhang menjadi sauna tradisional Sunda yang bisa naik kelas. Setiap hotel yang berada di Jawa Barat memiliki ruangan leuhang. So sangat menarik.

Saya pikir bisa juga dikembangakan sebagai sarana wisata unggulan khas Priangan. Sebagaimana wisata pemandian ari panas di Jepang. Ini bisa jadi sebuah daya tarik. Sehingga para wisatawan yang datang ke sini penasararan dengan leuhang. Kegiatan ini makin enjoy kala ditemani makanan tradisional dari Priangan semacam opak, borondong, ulen dan sebagainya.

Ah saya mau bikin leuhang lagi.



Nunggu Teka Mahesa Dega Festival Sinema Australia

Ada satu adegan yang terus menari dalam benak saya ketika selesai menonton film Nunggu Teka. Adegan ketika Sampeni menjawab telepon dan langsung berkata, “assalamualaikum. Nak? Namun di ujung sambungan telepon bukanlah anaknya tapi tetangga yang menanyakan pesanan ketupat.

Dari adegan tersebut tergambarlah seberapa besar kerinduan seorang ibu untuk berkumpul dengan anak satu-satunya di Hari Raya Idul Fitri. Hal tersebut rasanya sangat relate untuk orang tua yang ditinggal rantau oleh anak-anaknya. Berharap cemas di ujung telepon akan kabar kedatangan seorang anak.

Saya jadi teringat sebuah lagu Hallo Bandoeng yang dinyanyikan oleh Willy Derby. Lagu tersebut bercerita tentang hubungan telepon radio antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Netherland (Belanda) pada Januari 1929. Saat itu biaya untuk tiga menit pertama senilai 33 gulden. Kabarnya uang sebesar itu dapat dicapai jika menabung selama dua tahun.

Lewat lagu itu dikisahkan seorang ibu di Belanda setiap bulannya harus menabung agar bisa menelpon anaknya yang tak bisa pulang karena sudah menikah dengan wanita pribumi dan sudah memiliki anak. Sehingga hanya lewat sambungan telpon, ibu itu menuntaskan kerinduan.  

Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi

Melalui film Nunggu Teka dan lagu Hallo Bandoeng itu kita bisa sedikit mengerti akan secercah keinginan orang tua dari sudut pandang orang tua. Ketika orang tua makin menua, mereka butuh didampingi dan berkumpul dengan anak cucu. Kendati begitu orang tua selalu bisa menyembunyikan perasaan tersebut dan membebaskan anaknya untuk pergi dari rumah untuk mencari semesta.

Seorang anak mungkin akan merasa berbangga dengan segala pencapaainnya di luar sana. Apalagi jika ia sudah bisa membeli rumah dan sedikit melupakan rumah tempat ia besar dulu. Rumah yang menjadi saksi bisu akan tumbuh kembangnya dan suara kecil yang mulai keriuhan di rumah. Yang kini hanya tinggal diisi bingkai-bingkai foto.  

Selain itu ada satu adegan yang menarik perhatian dari film garapan Mahesa Dega ini. Suara televisi yang memecah keheningan rumah. Tak peduli dengan apa yang ada di televisi, Sampeni hanya perlu suara itu untuk mengganti suara dan keriuhan dari anaknya yang tak lagi bergema di rumah. Ketika Sampeni bangun tidur, ia segera menyalakan televisi. Lalu ketika beranjak tidur, ia mematikan televisi.

Artikel Populer: Resensi Film Room

Adegan yang minim dialog, malah memaksa penonton untuk tetap diam sambil berharap cemas dengan apa yang bakal terjadi. Dari satu adegan ke adegan penonton dibuat menunggu, layaknya tengah menjadi Sampeni. Saya kira karena berkat kejelian sutradara untuk menangkap momen dan kegundahan dari tokoh utama dengan rumah tuanya.    

Meninjau apa yang telah dikisahkan film ini. Maka sangat pantas bila film pendek ini ini berhasil menyabet kategori Best Short Film dan People’s Choice di Festival Sinema Australia Indonesia 2017 (FSAI). Film ini menyisihkan 300 film pendek lainnya.

Mahesa Dega berhasil menangkat potret kesedihan seorang ibu yang gagal berkumpul bersama anak cucunya di hari Idul Fitri. Meskipun hanya berdurasi 14 menit, tapi mampu merontakan penonton akan kerinduan dan rasa bersalah karena tidak mudik. Bahwa mudik bukan perkara mengunjungi kampung halaman, tapi merawat nilai sakral dari kebersamaan satu keluarga.

Pelamar Kerja Working Class HRD Rupaca

Mencari pekerjaan di era Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) lebih melelahkan. Memiliki modal berupa keahlian saja tidak cukup. Kamu perlu kemampuan, relasi dan keberuntungan. Saingan antar pelamar pun makin ketat. Toh tidak ketat bagaiamana, dari pengangguran, fresh graduate hingga yang baru di PHK tumpah ruah di lowongan pekerjaan yang makin sempit.

Selain itu kondisi kesehatan para pelamar kerja harus benar-benar diperhatikan, sedikit pilek atau batuk bisa berujung kegagalan. Saya pernah mendapatkan undangan wawancara kerja, disebutkan bahwa calon pekerja yang sedang batuk dan bersin tidak diperkenankan mengikuti. Andai memaksa dan ketahuan sakit maka otomatis dianggap gagal.

Tentu kabar ini menyesakkan, hanya karena batuk di hari itu saja bisa gagal mendapatkan pekerjaan. Padahal itu hari yang dinanti, tapi nasib manusia memang begitu tidak ada yang tahu. Jadi harap bersabar dan nantikan kesempatan datang lagi. 

Ngomongin lamar melamar pekerjaan, saya lihat beberapa waktu yang lalu di twitter sempat ramai loh. Akar keramaian itu berasal dari akun twiter @hrdbacot yang membagikan sebuah tangkapan layar mengenai pelamar kerja yang marah-marah kepada HRD atau bagian recrutment. Lantaran si pelamar kerja mendapatkan surat elektronik berupa penolakan lamaran karena tidak sesuai dengan kriteria yang dicari perusahaan.   

“Anda ini swasta level bawah.”

“Sorry saja, level BUMN di atas anda begitu pelajar CV saya langsung pesankan penerbangan

“Perusahaan yang bekerjasama dengan saya sebelumnya BUMN, pemerintah dan swasta tidak pernah menginfokan seperti itu ke saya,” tulis si pelamar dalam tangkapan layar.

Baca juga: Nabung Itu Privilese, Apalagi Kalau Masuk Generasi Sandwich

Tentu sebagai pelamar kerja yang pernah ditolak perusahaan, saya memahami kekesalan beliau. Lantaran sudah sangat yakin akan kemampuan diri sendiri tetapi malah ditolak. Ini layaknya mau nembak gebetan yang sudah sangat sangat sangat deket dan saling nyaman tapi ditolak karena lebih nyaman tanpa status.  

Kita juga harus ingat bahwa orang sejenius Alm. B.J. Habibie pernah ditolak di negeri ini. Sampai beliau memilih berkarya dan bekerja lebih dulu di Jerman. Hingga akhirnya disuruh pulang ke Indonesia untuk mengembangkan Dirgantara Indonesia. Jadi apa daya kita yang cuma remahan debu. Lamar kerja aja masih tebar sembarang kaya ngasih pelet ke lele.  

Saya sarankan sekalipun memiliki kemampuan mumpuni tapi masih minta kerjaan ke orang lain atau instansi jangan pernah coba marah-marah kaya gitu, ga baik loh. Apalagi pelampiasan marahnya lewat media sosial, siap-siap aja bablas karir mu. Cuma karena permasalah yang sebenarnya tak esensial, ditolak kerja. Bukan hal yang menyangkut integritas atau kemaslahatan warga Indonesia.

Kalau pun kamu benar-benar marah dan mengganggap keputusan HRD itu salah. Maka tuangkan kemarahan kamu itu ke dalam sebuah resume atau esai yang memuat kerugian-kerugian yang bakal diterima bila tidak mengontrak saya sebagai pegawai. Ini baru joss, kalau kata anak sekarang balas dengan karya.   

Baca juga: Andai Tak Ada Lagi Rektrutmen CPNS, Hilang Asa Muncullah Motivator

Selain itu kami bisa jadi pelopor di skena lamaran pekerjaan. Lantaran memunculkan trend untuk bikin esai agar para HRD melirik lamaran. Namun sebenarnya hal ini bukan hal baru karena beberapa instansi ada yang menyaratkan calon pegawainnya buat esai. Namun ini masih belum banyak jadi bolehlah disebut pelopor, biar ga marah lagi.

Akan tetapi bila kamu adalah sosok yang tak lagi ngemis pekerjaan alias tidak lamar pekerjaan sana-sini, saya kira kamu memiliki porsi marah. Seorang teman pernah bilang kalau nanti kamu sudah jadi boss, kamu berhak untuk marah karena sudah ada alokasinya. Namun saya belum bisa membuktikannya karena saya masih belum jadi boss. Baru bisa menjadi boss diri sendiri, sehingga kalau pun marah kepada diri sendiri hingga overthinking.

Hidup di kondisi pandemi seperti sekarang memang menyulitkan. Sudah berjalan hampir enam bulan dan kita masih belum tahu kapan ini akan berakhir. Pekerjaan pun tak kunjung menghampiri padahal tabungan kian menipis. Mengadalkan bantuan dari pemerintah tak turun-turun. Sehingga tingkat baper para calon karyawan pun meningkat. Giliran email lamaran tak dibales dikira ghosting, giliran di bales malah marah-marah. Ya sudah saya mau cari kerja lagi biar cepet jadi boss dan bisa marah-marah.  


Taman Bunga Sindangsari Paseh Bandung

Siang itu, ibu secara dadakan mengajak saya pergi ke Taman Bunga Indah Sindangsari. Katanya taman bunga ini baru saja dibuka. Masih kata ibu, letaknya tidak jauh dari lapang katel. Sebuah lapang bola yang cukup fenomenal bagi anak-anak SSB (Sekolah Sepak Bola) di sekitar Majalaya. Berhubung saat itu memang tidak ada kegiatan, saya pun mengiyakannya.

Berangkatlah saya ke sana dengan dua motor, saya, ibu, ayah dan adik. Dari Majalaya melaju ke arah jalan raya Talun, belok ke Jalan Panggilingan, kontur jalan mulai menanjak, melewati Kampung Pasir Angin, terus mengikuti jalan ini sampai menemukan perempatan Sudi. Dari sana barulah belok kiri menuju jalan tanah dan batu. Namun tenang jalan tanahnya pendek sekitar 500 meter saja, setelah itu bakal segera menemui jalan beton.

Jika sudah menemui jalan tersebut, bakal terlihat pagar bambu menjulang dan sebuah monumen bambu. Itu adalah Taman Bunga Indah Sindangsari yang ibu maksud. Taman yang menjadi satu destinasi wisata yang berada di jalan Pakacangan Desa Sindangsari Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung.

Kami pun segera masuk dan memarkirkan kendaraan. Saat itu masih belum banyak pengunjung. Karena memang kami datang ketika matahari lagi panas-panasnya. Untuk masuk ke taman bunga dikenakan karcis, sepuluh ribu untuk dewasa dan lima ribu untuk anak-anak.       

Tiket Taman Bunga Sindangsari Paseh

Memasuki area taman, saya disuguhi sejumlah hiasan bambu warna-warni. Terlihat juga spot-spot foto instagrameble. Area taman ini berada di lembah sehingga memiliki kontur turun naik. Kami pun berkeliling sambil melihat-lihat. Situasinya taman ini tergolong kering jika dikategorikan dalam wisata taman bunga. Lantaran varian-varian bunga ada belum beragam dan ada beberapa yang terlihat kekeringan. Kemudian belum ada pohon besar sebagai peneduh.

Baca juga: Berbagi Kecerian Bersama Open Trip

Kami pun memutuskan untuk bertunduh di sebuah gubuk yang tersedia. Saat itu ada 6-7 gubuk yang tersedia beserta tiga warung. Jadi jangan takut kelaparan yang penting sediakan uang aja, apalagi kalau bawa anak-anak. Jajanan pun tergolong murah meriah di warung yang saya singgahi paling mahal jatuh ke makanan bernama mie paket lengkap dengan harga sepuluh ribu. Worth it banget deh.

Spot Taman Bunga Sindangsari Paseh

Menurut penjaga karcis, Taman Bunga Indah Sindangsari ini memang baru saja buka. Sehingga beberapa fasilitas masih dibangun dan terus ditambah. Hal itu memang benar adanya, ketika saya di sana ada seorang tukang yang tengah membuat satu bangunan dari bambu. Selain itu ia bercerita bahwa di sini agak susah air jika masuk musim kemarau. Karena air harus gantian dengan yang lain. Sehingga tak heran bila saat itu ada beberapa tanaman yang mengering.

Melihat fasilitas yang tersedia saat ini, saya beranggapan bahwa dengan harga karcis sepuluh ribu dirasa cukup mahal. Karena dalam bayangan saya tempat wisata kaya gini menjual kesan dan pesan. Kesan yang bikin ingin balik lagi, lagi dan lagi serta pesan untuk menyampaikan bahwa tempat tersebut harus dikunjungi para pelancong.  

Artikel Populer: Museum Gedung Sate, Museum yang Kekinian 

Saya juga menyarankan untuk menambah spot jual beli tanaman hias atau bunga. Selain menambah asri tentu bisa jadi pemasukan dan menggerakan ekonomi setempat terutama mereka yang bergelut di bidang tanaman hias.  

Saya pun berharap di kunjungan berikutnya, yang entah kapan. Taman Bunga Indah Sindangsari dapat memenuhi ekpestasi saya mengenai wisata taman bunga. Sejauh mata memandang hanya ada hijau hijau dan hijau yang diselipkan warna—warni bunga. Setelah ini kabarnya ibu mau mengajak kami mengunjungi taman bunga berikutnya yang ada di daerah Cijapati, kabarnya di sana ada kincir-kincir raksasa.



nyai a woman from java garin nugroho

Kisah nyai di Hindia Belanda telah dituturkan dalam sejumlah karya sastra. Ada yang berusaha merendahkannya dan ada pula yang berusaha memahami kesakitannya.

Saya berkesempatan menyaksikan kisah nyai dalam media film yang berjudul Nyai, karya Garin Nugroho. Dalam pembukaan film ini ditampilkan disclaimer bahwa cerita ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: Nyai Isah (1904) karya F. Wiggers; Seitang Koening (1906) karya R.M Tirto Adhisoerjo; Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay; Nyai Dasimah (1960) karya S.M Ardan dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.

Saya sangat antusias, terlebih ada rasa penasaran mengenai perpektif soal Nyai yang akan kembangkan oleh Garin. Dalam film ini. Garin menggunakan pendekatan teater, sehingga dalam 85 menit akan ada satu latar saja. Beranda rumah joglo bewarna hijau beserta meja bundar berkaki kayu.  

Di beranda tersebut, keluar masuk tokoh yang mencari nyai dan suami Belandanya, Meneer William. Mulai dari penghibur penari dan orkes dengan musik timur tengah hingga penari jawa untuk menghibur Meneer yang tengah sakit. Lalu beranda seolah menjadi peradilan bagi nyai, ini tergambarkan dalam adegan seorang pemuka agama dan pribumi yang awalnya datang untuk mendoakan suami nyai, malah berbalik menasehati Nyai dan memintanya pindah agar tak menjadi sasaran kemarahan warga.

Baca juga: Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Pemilihan beranda rumah sebagai latar, mengimplitkan bahwa rumah menjadi tempat terkukungnya seorang nyai. Bahwa nyai tak ubahnya meubel (parabot) di dalam suatu beranda. Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri.

Kegetiran tersebut semakin sakit kala menyaksikan sebuah monolog, Si Nyai bertutur bahwa dirinya dijual oleh ayahnya sebagai upaya suap kepada meneer untuk kenaikan pangkat. Praktik ini kerap terjadi di Hindia Belanda saat itu terutama di daerah perkebunan.  

Nyai Terhimpit Dua Budaya   

Sebagai seorang nyai tentu bisa menolak tunduk, sebagaimana kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu serta budaya dan hukum Belanda. Sehingga dapat mengelola perusahaan dan dihormati berkat kekayaan yang dimilikinya.

Akan tetapi di mata hukum Belanda, Nyai tetaplah seorang gundik yang haknya sama dengan pribumi lainnya. Hal tersebut digambarkan dalam film nyai ketika seorang pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi miliki istri Belanda William, sesuai dengan Undang-undang Belanda.

Baca juga: Ca Bau Kan, Merekam Kekerasan Perempuan di Hindia Belanda

Sementara di mata pribumi, nyai seolah sosok perempuan yanng hanya mementingkan materialiastik Dengan menjual apa yang mereka miliki ke tangan orang Eropa. Padahal realitanya nyai hanyalah korban yang mungkin bisa disamakan dengan kasus jual beli manusia. Lantaran di beberapa kisah yang saya temui mereka bisa alihkan dari satu orang Eropa ke orang Eropa lainnya.

Menyaksikan film Nyai membuat mata kita terbuka dan merasakan kegetiran hidup seorang Nyai. Bagaiamana ia terhimpit dua budaya yang membuat mereja menjadi minoritas, diterima sebagai pembantu di mata orang-orang Eropa dan terasa diasingkan oleh kaum pribumi.

*Source photo by imdb
Newer Posts Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes