Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut. Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.

Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.

Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java 

Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000 gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua, coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek bernama C.P. W Schoemaker.

Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola. Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.

Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.

Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau hanya ornamen.

Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal. Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung Tangkuban Perahu.

Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja. Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi salah satu bangunan cagar budaya ini.

Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So berharap dulu sambil berusaha.

Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan. 



jalan kaki walking Jogja

Sejarah mencatatkan berbagai kisah perjalanan manusia dengan berjalan kaki. Tentu perjalanan pertama manusia ditempuh oleh Nabi Adam dan Hawa. Keduanya berjalan kaki untuk saling bertemu di suatu tempat yang telah ditakdirkan.  

Dalam konteks masa lalu berjalan kali diidentikkan sebagai salah satu cara untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara ini dilakukan mengingat belum ada transportasi yang diciptakan, paling joss yah pakai kuda. Itu pun tidak sembarang orang yang bisa pakai.      

Di Jawa Barat sendiri khususnya Bandung, saya mengenal kejadian jalan kaki yang cukup syarat emosi dan peluh. Pertama Peristiwa Bandung Lautan Api, meninggalkan secarik kisah tentang pengungsian warga Bandung saat itu. Warga Bandung diharuskan berjalan kaki berpuluh kilometer ke arah selatan (sampai Majalaya) untuk mengungsi dari pembumihangusan Bandung.

Peristiwa tersebut masih dapat ditelusuri oleh kita. Salah satu bukti bahwa perjalanan ini benar-benar terjadi adalah sepanjang jalan raya Bandung menuju Majalaya dinamai Jalan Laswi (Laskar Wanita Indonesia). Salah satu laskar bentukan Yati Aruji (Istri Arudji Kartawinata), yang turut mengungsi ketika peristiwa tersebut. 

Kedua kisah longmarch Siliwangi, pasukan divisi III Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta.  Ini berkaitan dengan perjanjian Renville yang menyepakati pihak Republik harus menyerahkan Jawa Barat pada Belanda.

Peristiwa ini sangat fenomenal bagi Indonesia, karena tak hanya prajurit Siliwangi saja yang hijrah tapi diikuti oleh keluarga, istri dan anak mereka. Dari Jawa Barat ke Yogyakarta kemudian kembali lagi ke Jawa Barat.

Baca juga: Aku, Kalian dan Pengalaman Menuju Dewata

Kedua peristiwa tersebut bisa menjadi cerminan bahwa berjalan kaki tak bisa dilepaskan dari kisah manusia. Namun di tengah arus modern seperti sekarang, berjalan kaki jarak jauh, dirasa hal tak lumrah. Lantaran kini sudah tercipta berbagai macam moda transportasi yang bisa mengangkut seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Akan tetapi percayalah bahwa masih ada yang terpaksa berjalan kaki dengan berbagai alasan dan motif tertentu. Semua bermula dari perbicangan di grup WhatsApp. Seorang kawan mengshare informasi tentang kakek yang minta ongkos untuk pulang dari Bandung menuju Sumedang.

Lalu seorang anggota grup menimpali bahwa seperti ada yang aneh dengan hal tersebut. Kemudian seorang kawan lain berbagi pengalaman bahwa kejadian seperti itu pernah menimpa dirinya dan itu hanya modus untuk mencari uang. Menjual iba.

Dari sana sontak perbincangan melebar, hingga menemui titik temu bahwa sebagian anggota grups pernah melakukan jalan kaki jarah jauh (dalam hal ini lebih dari 10 km). Ada yang berjalan kaki dari kampus di daerah Bandung utara hingga ke Bandung Selatan, ada juga yang jalan kaki dari Nagrek menuju Soreang. Bagi yang ga tahu sama daerah ini, waktu dan tempat kami persilahkan untuk buka google maps.   

Mayoritas dari alasan kenapa bisa berjalan kaki sejauh itu adalah tak adanya ongkos. Maklum saat itu mereka adalah pemuda-pemudi yang masih mengandalkan subsidi dari orang tua. Sehingga uang masih tergolong seret, dan mudah tergoda dengan jajanan.  

Saya pun memiliki pengalaman berjalan kaki jarak jauh di kota orang. Tepatnya di Yogyakarta. Saat itu saya beserta kedua teman mengunjungi Yogyakarta untuk mengantar seorang kawan pamit ke kantornya sambil membawa barang-barangnya ke Bandung.

Baca juga: Sepanjang Jalan Dewa(ta)

Saya sengaja ikut untuk nebeng jalan-jalan di kota Gudeg tersebut. Pasca turun dari Stasiun Lempungan, saya diajak berjalan kaki menuju Malioboro. Saya kira jaraknya dekat, ternyata lumayan jauh bagi saya yang tidak biasa jalan kaki. Malam harinya dari Malioboro beranjak menuju Pasar Condronegaran Gedong Kiwo memakai trans Yogyakarta. Di sana kami berencana makan dimsum. Karena terlampau malam dari Pasar Condronegaran Gedong Kiwo tak ada trans Yogyakarta. Akhirnya kami harus berjalan kaki menuju Malioboro. Iki perjalanan bikin dengkul aus rek. Beruntung Jogja saat itu masih sejuk-sejuk dingin sehingga keringat tak bercucur terlalu deras.

Saya tak mencatat berapa kilometer yang sudah kami tempuh, tapi ketika melihat google maps. Saya kira sudah jaraknya cukup lumayan rek. Saya merasa dikerjain oleh teman saya, tapi apa daya seorang kawan emang harus begini saling mengerjain biar ada cerita. Sisi baiknya saya hemat ongkos, lumayan ongkosnya bisa dipake jajan enak, bakpia tugu dan ngopi senja. Singkat malam hari itu juga kami pun pulang ke Bandung memakai kereta. Selama di kereta kami tertidur lelap.

Tentu dari hal ini saya berasumsi bahwa pada kondisi tertentu manusia akan disisipi kisah tentang jalan kaki. Entah itu dalam kondisi terjepit hingga dikerjain oleh kawan. Seperti kata iklan susu kesehatan, ayo jalan kaki sepuluh ribu langkah setiap hari.



Ilustrasi gambar elf | Sumber: Coretan Sang Putri
Pada sebagian masyarakat pedesaan, antar kota di Jawa Barat dan pelaku bisnis travel, pasti sudah familiar dengan mobil berbadan besar yang bernama isuzu Elf. Kemasyurannya di bisnis jasa angkutan umum atau travel bukan lagi isapan jempol belaka. Namun dibalik itu semua, isuzu Elf menyimpan kisah dan kenangan yang menyertai sanubari para penumpangnya. Jadi begini ceritanya!

Cerita keakraban saya dengan elf (mobil peri) beserta sopirnya terjadi semasa SMK pada tahun 2008. Selepas lulus SMP, saya ditawari dua pilihan oleh orang tua, pertama meneruskan SMA di desa (sebut saja Majalaya) atau hijrah ke kota (sebut saja Bandung) tapi harus mendaftar SMK. SMK bisa!

Sebagaimana citra sebuah kota, sebuah tempat peraduan dan perubah nasib. Pasalnya segala hal selalu terlihat lebih baik di kota. Dengan pemikiran hal itu, saya menjatuhkan pilihan untuk masuk SMK di kota Bandung.  

Selanjutnya, saya dihadapkan dua pilihan berikutnya. Pertama jadi anak kost atau anak jalanan (pulang pergi Majalaya-Bandung). Saya tidak memilih untuk ngekost, alasan saya sengaja PP (pulang-pergi) berharap bakal dibelikan motor. Harapan anak di usia saya saat itu.  

Namun kenyataan memang pahit, permohonan motor kepada orang tua tak digubris. Salah dua alasannya yakni belum lunasnya kredit motor bapak dan saya masih di bawah umur untuk menggunakan sepeda motor ke kota. Akhirnya dengan berat hati, saya harus rela PP menggunakan elf.

Setiap hari saya harus bangun jam 4 pagi, supaya saya bisa naik elf kloter pertama pada pukul 4.30 – 5.00 pagi. Dengan menggunakan kloter pertama jaminan saya tidak akan terlambat sekolah sangat besar. Di dalam elf saya akan melanjutkan tidur dan terbangun ketika sudah berada di terminal Kebon Kelapa. Lalu naik angkot hijau bernomor 02 satu kali, baru tiba di sekolah.

Jarak Majalaya-Bandung sekitar 26 KM. Dengan menggunakan elf, bisa dijangkau sekitar 40 menit. Padahal normalnya sekitar 1 jam. Pencapaian yang hanya bisa diraih oleh elf, sebab angkutan lain belum tercatat menorehkan pencapaian serupa.
Baca juga: Kisah Si Byson yang Terlupakan Layaknya Mantan
Soal kecepatan, sopir elf ahlinya. Mereka kerap memaju mobil mini bus ini dengan kecepatan kilat, manuver di tengah sempitnya jalan pinggiran kota yang hanya dua lajur. Tak percaya coba sesekali naik elf! Adrenalinmu akan berpacu Madonna.
     
Saya pun sempat bertukar cerita dengan salah satu sopir angkot. Bahwa kebanyakan sopir elf adalah mantan sopir bus malam antar kota antar provinsi. Sehingga mereka kerap memiliki hasrat untuk memacu pedal gas lebih dalam, dalam, dan dalam lagi, ditambah elf menjembatinya. Duarr kolaborasi hebat terjadi.

Selain itu, sopir elf adalah pribadi yang kreatif dan banyak akal. Kursi depan yang seharusnya dua berubah menjadi tiga penumpang. Orang paling kanan (dekat dengan sopir) akan ngangkangin tuas pengoper gigi. Hati-hati dengan barangmu. Ruang duduk sopir menjadi amat sempit, ia harus duduk miring dengan posisi pantat yang lebih dekat ke pintu mobil.

Dalam kondisi seperti itu sang sopir masih bisa melajukan mobilnya dengan enjoy, seolah tak terganggu dengan posisi berkendara. Padahal saya yang pernah berada di antara tuas pengoper gigi merasa terancam dan tak enak.

Isuzu Elf pertama kali diperkenalkan di pasar otomotif tanah air pada tahun 1995 dengan mengusung dua tipe yakni light truck dan minibus. Berbekal mesin berkapasitas 2800cc diesel direct injection. Dengan cc sebesar itu membuatnya tangguh di kelasnya, tenaga yang dihasilkan bisa mencapai 100 tenaga kuda. Selain itu, mini bus ini termasuk ringan sehingga memudahkan untuk berakselarasi di berbagai kondisi jalanan.

Meski konsumsinya solar, mobil ini tak kalah irit daripada mobil carry yang biasa dijadikan angkot. Pantas saja banyak elf jadi transportasi antar kota di daerahh-daerah. Wong bensinya irit.  
Pada satu waktu dan tempat berbeda, mobil elf layaknya pesawat hercules milik TNI yang siap membawa logistik ke desa terpencil dan terisolasi. Saya menyadari hal itu ketika melihat mobil elf jurusan Dewata-Ciwidey. Eits Bukan Pulau Dewata loh.

Dewata adalah desa terujung yang berada di Perkebunan Teh Dewata, Kabupaten Bandung. Untuk sampai di sana setidaknya kita harus melewati hutan lindung Gunung tilu lalu perkebunan Teh Dewata. Kondisi jalan tergolong terjal dan sempit, di mana masih terdapat jalan makadam di beberapa ruas.
Baca juga: Sepanjang Jalan Dewa(ta)
Berdasarkan cerita warga, Elf hanya beroperasi satu minggu sekali untuk mengangkut warga dan logistik dari kota Ciwidey. Setiap beroperasi tak jarang dua sampai tiga karung beserta satu kasur terjerat tali di atas dak elf. Sementara di bawahnya penumpang yang berdesakan yang tambah desak dengan barang bawaannya.

Secara struktur rangka badan mobil elf tergolong sangat kuat. Pasalnya cassing mobil dan badannya terbuat terpisah. Sehingga bagian badannya bisa di buat secara custom, sejumlah juragan elf lebih senang menggunakan karosesi buatan dalam negeri.

Sama halnya dengan elf Majalaya-Bandung, elf Dewata-Ciwidey tergolong dalam kendaraan keluaran tua. Di mana sudah terjadi karat dan keropos di sejumlah bagian serta terdapat pipa besi di pintu samping mobil. Pipa yang kerap jadi pegangan kondektur ataupun pijakan untuk menaikan barang ke atap mobil.     

Mayoritas generasi tua elf masih dipakai sebagai angkutan umum antar kota terpencil di Jawa barat sementara generasi elf yang lebih muda lebih sering dipakai menjadi mobil biro travel ke tempat wisata. Dari sana kita bisa belajar bahwa setiap generasi mengukir kisahnya sendiri, entah itu suatu barang atau manusia.

Sekali dua tiga kali saya sengaja menggunakan elf dari Majalaya ke Bandung. Demi mengenang cerita masa lalu dan merasakan keperkasaan mobil ini yang tak lekang oleh waktu. 

Ilustrasi gambar | Kate Trifo on Unsplah

Pandemi Corona telah membuat jalanan Jakarta lebih sepi ketimbang hati dan udara lebih bebas polusi daripada hari-hari yang lalu. Hal yang sebenarnya jarang terjadi kecuali hari lebaran. Semua itu imbas dari himbauan physical distancing, bekerja di rumah dan kebijakan teranyar tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kendati begitu, masih saja ada jalanan yang ramai. Pasalnya sebagian masyarakat masih ada yang diharuskan bekerja lantaran bukan tak takut corona, tetapi lebih takut kalau dapur tak ngebul dan dompet kian sepi. Sehingga mereka pun terpaksa menanggung resiko. Bantuan yang dijanjikan pemerintah pun nampak dibuat ribet ala birokrasi khas Indonesia.

Namun selalu ada cara Indonesia lain yang hadir. Sebagian warga yang tergugah dan miliki tabungan lebih, ramai-ramai membuat kegiatan amal, entah itu pembagian sembako dan sebagainya. Ketika pemerintah lambat bergerak, warga bisa ambil tindakan. Sebagaimana kata pemikir asal Slovenia, Slavoj Zizek, “dalam situasi krisis, kita semua adalah Sosialis.”

Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok dan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi menyusul Jakarta sebagai wilayah yang menerapkan PSBB guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kelima wilayah itu mulai PSBB sejak Rabu 15 April 2020 sampai 14 hari ke depan dengan potensi diperpanjang jika virus masih menyebar.
Baca juga: Ada yang Tak Kalah Bahaya Daripada Pandemi Ini
Penetapan kebijakan PSBB haruslah seizin pemerintah pusat. Sehingga para kepala daerah hanya bisa membuat usulan dan menunggu konfirmasi dari pusat. Wilayah Bandung Raya pun sudah disetujui untuk PSBB mulai tanggal 22 April 2019.  

Penerapan PSBB tentu sangat berbeda dengan istilah lockdown. Tak ada penutupan akses di pintu masuk/keluar di batas-batas daerah. Namun ada pemeriksaan, di mana setiap pengendara sepeda motor diwajibkan untuk memakai masker, sarung tangan serta pengecekan suhu. Kendaraan hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas penumpang. 

Untuk ojek online hanya boleh mengantar barang dan makanan. Akan tetapi kabar lain menyebutkan bahwa mereka boleh membawa penumpang asal memenuhi SOP kesehatan, yakni memakai masker, sarung tangan dan penyemprotan desinfektan terhadap kendaraannya. Sementara transportasi pengangkut barang beroperasi seperti biasa.

Tentu dengan kebijakan ini masyarakat kecil menjadi kaum yang paling ringkih. Namun percayalah masih ada orang baik di sekitar kita, mungkin orang baik itu kamu? Iya kamu yang tak jadi pejabat, anggota DPP atau pun stafsus.   

Membayang situasi sekarang di mana akses serba terbatas. Pikiran saya memasuki lorong waktu Pak Haji dan Zidan bertandang ke tanah ibu pertiwi beratus tahun silam.  

Dulu ketika negara Indonesia masih bernama Hindia Belanda, penguasa saat itu yang bernama Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel, yakni pengaturan pemukiman berdasarkan kelompok etnis. Tujuannya agar mempermudah pengendalian warga jajahan yang terpisah-pisah. Akibat kebijakan ini, akhirnya kiwari kita dapat menemukan kampung arab, pecinan dan sebagainya.

Dalam satu wilayah (wijk) terdapat penanggung jawab ketertiba yang diangkat dari tokoh masyarakat dengan pangkat kehormatan militer: luitenant, mayor, kapitein. Boleh dikatakan serupa Pak RW yang mengatur segala administrasi satu wilayah kecil. Setiap penghuni wijk yang melakukan perjalanan ke luar dengan perjalanan melebihi limit waktu diharuskan membawa surat keterangan: passenstlesel. Kartu yang berfungsi layaknya paspor yang sekarang kita kenal.

Wijkenstelsel merupakan warisan dari VOC yang diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal VOC Valkenir. Pasca terjadinya tragedi kerusuhan 1740 yang bernama chineezenmoord. Pemberontakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan para bupati pesisir Mataram terhadap VOC.

Selain alasan politik, dua kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel digunakan sebagai monopoli ekonomi. Di era tanam paksa Priangan sempat tertutup rapat bagi semua etnis, termasuk Tionghoa. Alasannya karena Priangan saat itu tengah tumbuh menjadi daerah perkebunan kopi, dan penguasa ingin memonopoli hasil kopinya. Pasalnya kopi menjadi komoditas yang tengah naik daun dengan harga yang melambung.

Dampak kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel lebih terasa bagi etnis tionghoa dibanding etnis lain. Pasalnya mereka dihisap secara ekonomi, sebab harus diakui mereka adalah penggerak ekonomi yang cukup mahir tetapi dibatasi secara sosial.

Pemusatan etnis ini nyatanya menimbulkan rasa kebersamaan menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok. Dan etnis tionghoa sudah membuktikannya dalam coretan sejarah. Dan moga situasi sulit seperti sekarang dapat meningkatkan solidaritas kelompok, sebab berkaca pada masa lalu kita adalah negara yang saling tolong menolong dan gotong royong, apapun etnisnya.    

Pada akhirnya kebijakan mengenai wilayah yang diambil penguasa selalu berulang dengan pernik yang berbeda tiap masanya. Ada yang karena politik, ekonomi hingga wabah. Namun satu yang tak perlu dirubah, bahwa solidaritas masyarakat tak boleh luntur.



 



Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia
Berbagi kecerian bersama Open Trip © Upi
Aku dan tiga teman dari Aleut, yakni Windi, Putri dan Rizka diundang dalam kegiatan Cheerful Trip yang diadakan oleh start up bernama Open Trip. Start up yang bergerak di bidang teknologi sedang mengembang sebuah aplikasi berupa market place yang akan mempertemukan si pembuat trip dan si travelers. Dalam rangka memperkenalkan aplikasi ini, Open Trip menggandeng tour agency Ekspedisi Nusantara untuk mengadakan kegiatan ini.
Museum Gedung Sate Jawa barat
Museum Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin

Apa yang ada dalam pikiran kalian jika mendengar kata museum? Sepi, takut, kuno, membosankan atau kalian tak terpikirkan sepatah kata pu untuk museum. Jujur saja saya pun berpikiran seperti itu pada mulanya. Namun bayangan itu mulai terkikis ketika saya mengunjungi Museum Gedung Sate. Museum Gedung sate ini merupakan museum baru yang dibangun di  area kompleks Gedung Sate. Awal mula didirikannya museum ini untuk memperkenalkan sejarah panjang dibangunnya Gedung Sate ke masyarakat Jawa Barat dan Indonesia. Terlebih setelah Gedung Sate menjadi kantor Gubernur Jawa Barat memberikan sedikit jarang antara Gedung Sate dan warga Jawa Barat. 

Tak akan ditemui kesan seram, kuno, remang-remang di Museum Gedung Sate. Sebab Museum Gedung Sate di desain dengan menyasar para kaum milineal agar tertarik mengunjungi museum. Sehingga dibuatlah sebuah museum dengan tata letak dan pencahayaan yang memadukan teknologi di dalamnya. Tata letak yang dibuat lebih menarik, menampikan timeline perkembangan Bandung hingga dibangunnya Gedung Sate. Kemudian ada maket yang bisa terbuka, dan pengunjung bisa melihat ruangan-ruangan apa saja yang terletak di Gedung Sate. Salah satu teknologi yang diadopsi di museum ini adalah teknologi layar sentuh seperti layar sentuh milik Tony Stark si Iron Man. Maka saya sendiri dibuat kagum dengan penerapan teknologi ini. Tak cuma itu saja, di museum ini pun terdapat ruangan untuk memutar film singkat mengenai sejarah perkembangan Bandung dan Gedung Sate khususnya. 

Baca juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java

Tak cukup sampai disitu karena museum ini menyediakan wahana berupa Augment Reality. Pengunjung bisa merasakan dan melihat sendiri kondisi Gedung Sate dan sekitarnya dari balon udara. Untuk kalian para pencara spot instagrammeble, terdapat beberapa spot yang sangat kece untuk mengisi feed instagram kalian. Seperti ruangan Virtual Reality dan tembok yang dipenuhi dengan mural-mural kece buatan anak-anak kreatif Bandung. 

Maka tak ayal Museum Gedung Sate sangat pantas untuk menjadikan percontohan museum ini salah satu contoh untuk pengembangan museum-museum di Indonesia agar tercipta sebuah branding baru mengenai museum. Museum harus mampu bertranformasi dengan menerapkan teknologi-teknologi terbaru, agar kelak museum menjadi tempat untuk belajar hal-hal berbau sejarah dan merefleksikan masa depan. 

Mari kita lihat beberapa sudut Museum Gedung Sate yang saya abadikan dalam lensa ponsel. 

Timeline Perkembangan Gedung Sate
Suasana di Museum Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Gedung Sate Bandung
Besi tulangan yang digunakan pada Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Gedung Sate Bandung
Proses pembangunan Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Atap Gedung Sate Bandung
Atap yang digunakan Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin



Seberapa seringkah kalian mengunjungi café? Setiap hari, seminggu sekali atau sebulan sekali. Keberadaan café untuk saat ini bukan lagi sekedar tempat nongkrong. Saat ini beberapa café telah mengusung konsep perpaduan café dengan buku. Menyediakan buku dan memberikan ruang yang nyaman untuk membaca.

Memang masih dapat dihitung dengan jari konsep café yang memadukan dengan buku. Konsep seperti ini memang bisa dikatakan masih kurang diminati. Terlebih stigma bahwa membaca buku itu hal yang membosankan.  Tetapi ada sebuah café di Bandung yang tetap bertahan dengan konsep seperti ini. Yakni Little Wings Café & Library

Little Wings Café & Library berada di daerah Bandung Utara. Tepatnya di jalan raya Cigadung no 2. Sebuah kawasan yang mayoritasnya digunakan sebagai rumah tinggal. Maka tak heran jika cafe ini menawarkan suasana yang tenang dan udara yang cukup segar.

Akses menuju Little Wings Café & Library bisa dibilang sangat mudah dijangkau karena tak terlalu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 20 menit dari jalan raya PH.H Mustofa bila menggunakan kendaraan pribadi.

Ketika week end kemarin saya dan ketiga teman mengunjungi Litte Wing Café & Library. Sesampainya saya dilokasi, saya langsung melihat bangunan tiga lantai dengan gaya vintage. Sekilas dari luar café ini tak menyerupai layaknya café malah cenderung seperti rumah tinggal dengan halaman yang cukup luas.

Kami melangkah memasuki bangunan Little Wings Café & Library. Ketika pertama kali masuk langsung disambut dengan boneka teddy bear besar dan sebuah sofa cantik. Terdapat juga rak-rak kayu yang berisi puluhan buku yang bisa dibaca di tempat. Suasana lantai 1 ini seperti ruang tamu yang berkonsep girly. 

Karena kami membutuhkan meja yang cukup besar. Maka pelayan cafe merekomendasikan untuk menggunakan lantai 2 karena ada meja yang cukup besar dan nyaman untuk digunakan. Langkah kakipun melangkah menuju tangga. Setibanya di lantai 2 kesan Vintage langsung muncul ketika melihat kursi-kursi dan meja kayu tersusun rapi. Uniknya lagi terdapat  kursi dan meja yang memakai kayu rotan yang diletakan persis di samping jendela. Di dekat mejapun  terdapat sebuah lemari yang di isi beberapa buku keterampilan yang bisa dibaca untuk menghabiskan waktu.

Lantas kami memilih sebuah meja dengan 4 kursi kayu sebagai tempat duduk kami. Suasana di lantai 2 ini bisa dikatakan memakai konsep ruang keluarga dengan beberapa meja besar dan kursi-kursi tempat berkumpul. Terdapat juga sebuah dapur mini lengkap dengan perkakasnya dan hiasan-hiasan oldies. 

Selepas menyimpan tas kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Makanan dan minuman disini memiliki menu yang bisa dibilang sangat rumahan dan cukup terjangkau. Sembari menunggu pesanan datang kami penasaran dengan konsep yang dipakai di lantai 3.
Baca Juga: Ngaleut ke Blok Tempe yang Bukan Tahu
Maka kami segera menaiki tangga menuju lantai 3. Dilantai 3 Little Wing Café & Library ternyata membuat kami semakin betah dengan café ini. Karena di lantai 3 dibuat seperti kamar tidur lengkap dengan kasur, lampu zaman colonial, koper dan beberapa kursi dari kayu yang terlihat cukup tua.

Menariknya lagi setiap furniture yang ada di Little Wing Café & Library sangat kental dengan nuansa vintage. Bahkan beberapa furniture terlihat cukup langka dan rasanya hanya dapat di beli di luar negeri. 

Menurut informasi dari pelayan café, setiap lantai di Little Wing Café & Library bisa di sewa untuk mengadakan sebuah acara. Dan yang selalu menjadi tempat favorit adalah lantai 3. Terutama di sewa untuk mengadakan pesta ulang tahun.

Tidak cuma itu saja yang menarik dari café ini. Dibagian luar bangunan terdapat sebuah rumah joglo yang sangat cantik dengan beberapa ornament ukiran khas jawa. Tentunya itu masih bagian dari Little Wing Café & Library yang bisa digunakan.

Selepas puas berkeliling ke setiap sudut ruangan. Kami kembali ke meja di lantai  2 menunggu pesanan datang dan membuka buku yang kami ambil dari rak-rak buku dekat meja. Rasanya kami akan betah untuk berlama-lama membaca buku disini karena suasana yang sangat homey, sejuk dan tenang. 




Minggu pagi di saat matahari masih malu-malu untuk menampakan diri. Saya dan rekan-rekan Komunitas Aleut sudah bersemangat untuk momotoran ke Dewata. Dewata kali ini bukanlah sebuah tempat berpantai dengan pasir putih dan ratusan bikini berjemuran. Dewata yang akan kami singgahi kali ini adalah sebuah perkebunan teh yang terletak di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung. 

Kami berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20-D, sekitar pukul 7.30. Sebelum berangkat tentunya alangkah baiknya memastikan lagi semua perlengkapan tak ada yang ketinggalan. Setelah kawan-kawan datang semua dan telah dapat partner untuk mengarungi perjalanan kali ini, maka bersiaplah petualangan akan dimulai. Saya pun mendapat partner Teteh dari Gagak yang datang sedikit terlambat karena menunggu mamang Gojek. Total 20 motor yang ikut momotoran kali ini dengan massa sejumlah 38 orang.

Sesuai dengan rute yang telah ditentukan sebelumnya, jalan yang kami tempuh bukan jalan protokol atau jalan yang familiar di telinga saya. Tepat pada pukul 08.00 kami berangkat dan mengisi bahan bakar terlebih dahulu di SPBU Sekelimus, lalu kami memutar balik menuju jalan di permukiman Batununggal yang nantinya akan keluar di daerah Mengger lalu bisa tembus di Jalan Dayeuhkolot tempat di mana cokelat Delfi diproduksi. Tapi sayang saat itu tak tercium sedikitpun aroma cokelat yang biasanya membuat saya lapar. Kemudian kami berbelok ke Jalan Cisirung, jalanan yang di kanan-kirinya hanya terlihat tembok-tembok pabrik berdiri. Jalanan yang kami lewati hingga kini masih relatif bagus dan masih enak untuk motor kota.

Selepas Jalan Cisirung kami menuju arah Sayuran kemudian menuju Jalan Rancamanyar. Di jalan ini jalanan yang kami tempuh mulai menyempit dan terdapat lubang-lubang. Kami melaju beriringin dengan laju yang konstan.  Setibanya di kawasan sekitaran Rancatungku, beberapa kawan membeli kue balok yang berada di pinggir jalan. tiba-tiba muka beberapa kawan Aleut berubah drastis ekspresi wajahnya menjadi raut kaget dan setengah tidak percaya. Bukan karena melihat Marilyn Monroe sedang jalan-jalan di sekitar Banjaran, tetapi karena kue balok yang mereka beli ternyata begitu murah. Hanya dengan Rp 6.000,- saja bisa di tukar dengan sekantong kresek penuh kue balok yang pastinya bikin melag kalau tidak didampingi dengan minuman.

Setelah urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan ke arah Bandasari. Di sinilah jalan dengan tanjakan demi tanjakan mulai menyambut kami. Begitu sampai di puncaknya di daerah Leuweung Datar kami semua disuguhkan dengan tanjakan yang aduhai nanjaknya. Beberapa kawan dipaksa untuk menurunkan penumpangnnya agar si kuda besinya dapat mendaki tanjakan dengan lebih bertenaga. Bahkan sekelas motor trail yang saya kira akan melaju tanpa hambatan, ternyata mengalami kendala hingga harus dibantu oleh beberapa kawan agar sampai ke puncak. Semua reflek bergerak membantu seketika jika ada motor kawannya yang kelihatan tidak bakal naik.
Kami melewati beberapa turunan dan tanjakan dengan kondisi jalan bebatuan yang mungkin bisa disebut jalan sungai saat (kering). Mengingat waktu sudah menunjukan jam makan siang, kami beristirahat di sebuah masjid di Pasir Jambu. Untunglah tukang batagor datang tepat waktu tak banyak bicara seketika serbuan barudak Aleut yang sudah keroncongan mengerumuni mang batagor, bahkan beberapa kawan yang membawa bekal dari rumah pun mencampurnya dengan batagor. Di sini sangat terasa kenikmatannya ketika makan bersama walau hanya dengan sepiring batagor yang sederhana.

Tak terasa waktu istirahat kami di Masjid Pasir Jambu harus segera usai, karena waktu sudah menunjukan pukul 13.00 dan kami tak mau sampai terlalu larut ketika berada di perkebunan Dewata. Dari Pasir Jambu kami bisa keluar ke Jalan Cisondari, dan di jalan inilah saya mengalami pengalaman yang sedikit aneh dan membingungkan. Ketika saya mengganti rekan saya Irfan untuk menunggu kawan yang ada di belakang, saya dan Delvi mengalami deja vu yang pernah dialami beberapa kali orang kawan sepi saya ketika perjalanan ke Bayah. Saya melihat motor Gistha 2 kali melewati saya. Pertama kami melihat Gistha dengan Mbak Nurul, lalu tak lama kemudian saya melihat lagi Gistha melintas bersama Yance dan Agus. Saya sangat kaget sekaligus bingung, apakah saya mengkhayal atau tidak. Tapi hal ini jelas terasa nyata bagi saya dan Delvi.
Dari Jalan Cisondari kami masuk ke jalan raya Ciwidey lalu belok ke arah Citiwu dan sejenak menunggu satu kawan kami yang ke bengkel, namun kami tak tahu pasti bengkel sebelah mana tepatnya. Sambil sejenak beristirahat, beberapa kawan ada yang membeli es krim Aice yang begitu melanglangbuana hingga ke pelosok, namun saya lebih memilih mengobrol dengan rekan lainnya. Langit kala itu mulai menghitam hingga Bang Ridwan menyuruh kawan-kawan Aleut untuk memakai jas hujan sebelum hujan membasahi raga. Tak lama berselang hujan pun turun dan kami segera melanjutkan perjalanan.
Baca Juga: Perjalanan yang Hakiki di Kertasari
Kami kembali disuguhkan dengan jalan bebatuan, dan baru menemui jalan beton ketika masuk di kawasan Geo Diva. Di samping kanan dan kiri jalan ini adalah hutan Gunung Tilu yang terlihat begitu rimbun, sesekali juga terlihat tulisan “habitat babi hutan”.  Setelah melewati kawasan Gunung Tilu yang cukup panjang kami tiba di daerah simpang Dewata atau kawasan perkebunan Rancabali. Di kawasan ini kami semua memarkirkan motor dan langsung terjadi huru-hara semua rariweuh mengambil foto dari gawainya masing-masing. Memang tak dapat dipungkiri kawasan ini punya pemandangan yang aduhai yang sangat sayang jika tak diabadikan.

Perkebunan Dewata sudah begitu dekat dari posisi kami, namun kami harus mengurungkan niat setelah berbincang-bincang dengan warga lokal. Menurutnya, kondisi jalanan menuju Dewata sangat sangat sangat rusak, hanya motor trail dan jeep yang bisa mencapai ke sana. Setelah berdiskusi, kami memilih pulang dengan mengambil jalur ke arah Patuhawatee yang akan tembus di Kawah Putih.
Selepas perkebunan Rancabali terdengar suara suara keretak-keretek dari motor saya. Bagian knalpot motor rupanya sedikit mengalami patah dan ada beberapa baut yang lepas, sepertinya karena terhantam bebatuan yang cukup tajam. Si Biru masih bisa melaju walau kadang ia terdengar seperti menjerit, seolah-olah tak mau mengecewakan saya.
Tak terasa langit sudah diwarnai bintang dan kami masih berada di area lapang kosong di Patuhawatee. Situasi semakin gelap dan kondisi jalanan sudah tidak bisa di tembus dengan motor biasa hingga akhirnya kami harus kembali ke arah perkebunan Rancabali. Di sini semua saling menguatkan mengingat kondisi yang jauh dari mana-mana. Hanya ada kami dan alam sekitar.
Kondisi yang sudah sangat gelap kami melaju dengan sangat rapat, dan selalu saling mengawasi satu sama lain. Sebelum melewati kawasan Gunung Tilu kami semua mengisi tenaga di warung yang tak jauh dari tempat tadi sore kawan-kawan berfoto.Karena perjalanan pulang kali ini akan cukup menguras tenaga dan pikiran yang lebih ekstra. Kawan-kawan Aleut sudah mengisi perut yang kosong, sekitar 9 malam kami memulai perjalanan pulang setelah Bang Ridwan mengkordinasikan, mengatur posisi motor dan mengingatkan kawan-kawan Aleut untuk tetap fokus dan juga saling mengawasi satu sama lain.

Jika menemui kendala, kami bersepakat bahwa pengendara motor harus memencet klakson yang akan diikuti kawan lainnya hingga semua berhenti sejenak dan membantu rekan yang mengalami kendala. Beberapa kali motor kawan Aleut mengalami rem blong di sekitar jalan Gunung Tilu karena panasnya piringan cakram yang harus disiram dan di dinginkan sejenak agar kembali berfungsi normal. Beruntung semua masih bisa dikendalikan berkat kerjasama dari semuanya dan kami melanjutkan perjalanan dengan melaju sangat rapat dan penuh kehati-hatian. Sehabis jalanan Gunung Tilu kami masuk ke jalan raya Ciwidey. dan  tidak kembali melewati turunan dan tanjakan di Pasir Jambu karena kami memilih untuk melalui jalanan perkotaan ke arah Ciwidey – Soreang – Kopo dan berakhir di Solontongan.

Alhamdulilah dan puji syukur perjalanan pulang dapat dilewati dengan selamat. Kami tiba di Bandung sekitar pukul 11.30 malam. Beberapa kawan Aleut ada yang harus menginap di Kedai Preanger dan pulang pada besok paginya karena kami tiba di Bandung larut malam.

Catatan Perjalanan ini dimuat juga di komunitasaleut.com

Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Jelajahi Villa Isola Dalam Satu Babak

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes