Nama Ahmad Tohari semakin dikenal oleh
penikmat sastra lewat novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Novel Trilogi ini dia
tulis selama 5 tahun dalam kurun waktu
1980-1985. Tentunya menghabiskan waktu selama 5 tahun untuk menulis sebuah
karya yang besar adalah hal yang setimpal.
Kita bisa lihat sendiri butuh
bertahun-tahun seorang penulis besar dunia seperti Harper Lee, Capote untuk menghasilkan sebuah karya besar. Karena
karya besar tercipta dari dedikasi, pemikiran, waktu dan konsistensi menulis
yang begitu panjang.
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
memang patut dibanggakan. Menceritakan keseharian seorang penari ronggeng,
Srintil, yang harus hidup dalam kultur masyarakat pedesaan. Tradisi ronggeng di
desanya mengharuskan Srintil melepas keperawannya pada lelaki yang “terpilih”.
Terlebih jika digali lebih dalam lagi novel ini berisi kritikan dan pandangan
penulis terhadap pemberontakan yang terjadi pada tahun 1965.
Maka tak heran seiring diluncurkan
novel ini, Ahmad Tohari sempat berkali-kali dicari dan diinterogasi oleh aparat
selama berhari-hari. Karena isi novelnya yang bernuansa kritik terhadap
pemerintahan saat itu. Lantas kasus ini tak
menyurutkan semangatnya untuk tetap menyalurkan minatnya dalam dunia
sastra.
Berkat novel trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk Ahmad Tohari berhasil menjadi sastrawan besar Indonesia. Novel ini pun diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh Rene T.A Lysloff dan diterbitkan oleh Lontar Foundation dengan
judul The Dancer.
Kesuksesan novel ini lantas mengundang
sineas film Ifa Isfansyah untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film. Hingga pada
tahun 2011 Ronggeng Dukuh Paruk diadapatasi ke layar lebar dengan judul “Sang
Penari”. Sama seperti novelnya film Sang Penari meraih kesuksesan ditandai
dengan berhasil memenangkan 4 Piala Citra dalam Festival Film Indonesia.
Namun siapa sangka dibalik fenomenalnya
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Ahmad Tohari dulunya tak bercita-cita
menjadi seorang sastrawan sedikitpun. Walapun saat SMA telah rajin mengisi mading
sekolah. Cerpen-cerpen yang ditulisnya
hanya untuk di simpan didalam laci, ia pun tak lantas menjadikan seorang
penulis sebagai cita-citanya.
Ketika SMA Ahmad Tohari mengambil
jurusan Ilmu Pasti dan Alam, setelah lulus SMA ia masuk Fakultas Ilmu Kedokteran
Ibnu Khaldun Jakarta, namun sayang ia tak bisa menamatkan kuliahnya karena
terebentur dengan masalah biaya.
Setelah tak bisa lagi melanjutkan
pendidikannya di fakultas kedokteran. Ahmad Tohari berada dalam kondisi kalut
dan merasa habis sudah harapannya. Dalam suasana yang kalut ini ia sering kali
membuat tulisan untuk membunuh rasa frustasinya. Puluhan cerpen dan tulisan
lainnya lahir dari tangannya.
Barulah pada tahun 1971 cerpennya yang
berjudul Upacara Kecil di muat di koran lokal. Awal mula pengiriman
cerpen-cerpen Tohari ke Koran lokal
didasari dari desakan teman-temannya. Mulai dari saat itu ia rajin mengirim dan
melombakan cerpen-cerpen buatannya. Hingga akhirnya cerpen yang berjudul
Jasa-Jasa Buat Sanwira berhasil menjadi pemenang harapan cerpen Radio
Hilversum, Belanda.
Selain rajin menulis cerpen yang di
muat di koran-koran. Novel pertamanya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak lahir
pada tahun 1978 dan berhasil mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian
Jakarta yang kemudian di terbitkan di harian kompas pada tahun 1979. Semenjak
itu Ahmad Tohari memutuskan untuk terjun secara serius di bidang tulis menulis.
Berbagai penghargaan mulai dia
dapatkan. Pada tahun 1990 pernah mendapat penghargaan Southeast Asian Writers Award dan Fellowship International Writers Program di Iowa. Kemudian pada
tahun 1995 menerima hadiah sastra Asean, SEA
Write Award dan terakhir sekitar tahun 2007 menerima hadiah Sastra Rancage
Keberhasilan yang diraih atas karya-karyanya
tak membuat Ahmad Tohari besar kepala. Selain karya-karyanya yang telah
menghiasi sastra Indonesia. kehidupan dari Ahmad Tohari yang santun dan
sederhana ini cukup menarik untuk dibicarakan untuk para pembaca setianya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat alergi terhadap simbol-simbol
feodalisme dan kapitalisme yang konon yang mengakar kuat di setiap sendi-sendi
kehidupan bangsa.
Baca juga: Kebusukan dan Kemegahan Proyek
Cermin ini bisa dilihat dari gaya dan
penceritaan di setiap novelnya. Di dalam beberapa novel dan kumpulan cerpennya seperti
Orang-Orang Proyek, Lingkar Tanah Lingkar Air, Belantik, Rusmi Ingin Pulang banyak mengambil cerita kehidupan dan kesusahan-kesusahan yang dihadapi oleh orang-orang
kecil.
Ahmad Tohari yang berasal dari desa tak
pernah bisa melepaskan diri dari ragam pengalaman hidupnya selama di desa. Maka
tak heran jika hampir seluruh karyanya berlatar pedesaan. Penuturan ceritapun
di sampaikan khas orang desa dengan kalimat-kalimat ringan dan polos namun
terkandung makna yang menggugah si pembaca.
Kemungkinan kecintaan yang begitu besar
terhadap suasana pedesaan dengan alamnya, membuat ia tak betah untuk hidup di
Jakarta. Jakarta yang begitu kosmopolitan jauh dari namanya ketenangan yang di
rasakan ia sewaktu di desa. Hingga akhirnya ia memutuskan pindah ke desa, hidup
dengan suasana khas pedesaan, setiap hari bisa bergelut dengan lumpur sawah. Ia
rela meninggalkan jabatannya saat itu sebagai staf redaksi kelompok Merdeka demi bisa hidup di
desa.
Telah banyak prestasi yang diraih oleh
Ahmad Tohari. Didalam situs resmi Taman Ismail Marzuki menggambarkan Ahmad Tohari sebagai sosok
tubuhnya kecil jauh dari pada bayangan figur seorang yang mempunyai prestasi
internasional. Cara berpakaiannya sederhana mengingatkan pada seorang
santri saleh yang mempunyai wawasan terbuka bisa menerima semua insan di dunia
dari segala lapisan untuk hidup berdampingan secara damai sebagai sesama
ciptaan Tuhan. Rendah hati, itulah sosok
Ahmad Tohari.
Lahir dari desa kecil bernama Desa
Tinggarjaya yang berada di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Ahmad Tohari berhasil menggugah dunia lewat
karya-karyanya.
Photo Credit: kompas.com
Photo Credit: kompas.com