Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop
Benjang Gulat, Seni Bela Diri Ujungberung

Dalam budaya Sunda dikenal sebuah ungkapan, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh). Ungkapan tersebut jadi salah satu filosofi atau nilai yang diajarkan kesenian Benjang Gulat.

Benjang Gulat merupakan seni beladiri yang berasal dari daerah tatar Sunda, lebih tepatnya di Ujungberung, Kota Bandung. Kabarnya Benjang Gulat tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial. Semula Benjang Gulat berkembang di kalangan santri pesantren dan menjadi sebuah permainan. Namun kemudian ada larangan dari pemerintah Hindia Belanda lantaran khawatir terciptanya kantong-kantong kekuatan untuk memberontak.

Pasca kemerdekaan tepatnya masa Orde Baru, Benjang Gulat pun sempat dilarang karena dianggap sumber tawuran di Ujungberung pada 1970-an. Benjang Gulat kemudian dapat kembali ‘merdeka’ pasca runtuhnya Orde Baru.

Kiwari Benjang Gulat pun bisa disaksikan dan dimainkan tanpa ada rasa khawatir. Kendati begitu seni bela diri ini tak lantas menjadi populer di luar wilayah Ujungberung. Sepengatahuan penulis Benjang Gulat telah terdokumentasi dalam beberapa medium seperti artikel berita, jurnal akademik, video dokumenter dan film. 

Salah satu dan mungkin satu-satunya film tersebut adalah Gulat Benjang Pamungkas. Sebuah film yang diprakarsai dan diongkosi oleh pemerintah.

Baca Juga: Guru Dian: Culture Shock dan Berdamai dengan Diri Sendiri

Film Gulat Benjang Pamungkas bercerita tentang anak bernama Fajar yang pindah ke desa di Cilengkrang, Ujungberung, kota Bandung karena ayahnya dipindah tugaskan di kelurahan setempat.

Sebagai anak baru, Fajar memiliki kewajiban untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungannya. Namun adaptasi itu tak berjalan mulus, ada tokoh yang tidak menyukai kehadiran Fajar. Tokoh antagonis itu pun dikenal sebagai anak yang jago Benjang Gulat.

Dari sini konflik dimulai dan tentu menyaksikan sekilas, penulis sudah bisa menebak bagaimana jalannya konflik dan solusinya. Akan tetapi penulis harus memberikan kredit, pasalnya Fajar tidak dibuat menjadi tokoh yang Zero to Hero, mempelajari Benjang Gulat dalam waktu relatif singkat serta mengalahkan lawan-lawannya yang telah lama jadi jawara dan berlatih Benjang Gulat.  

Sebagai film yang mengusung tema bela diri, entah kenapa penulis merasa ada yang kurang. Mungkin karena di film ini tidak menampilkan sejumlah perguruan atau padepokan Benjang Gulat. Sehingga suasana kampung yang sangat mencintai dan mengangungkan Benjang Gulat terasa luntur.  

Namun saya patut apresiasi bahwa film ini tetap berada pada jalurnya, yakni menyampaikan pesan sesuai dengan filosofi Benjang Gulat, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh).

Di sisi lain, kehidupan warga desa seperti mencari pakan ternak, menjadi hal yang menarik untuk disaksikan. Sebagai orang yang pernah dekat dengan kehidupan desa, menyaksikan film ini sedikit banyak membangkitkan memori akan kampung halaman. Terlebih penulis memiliki keterikatan darah dengan tanah Sunda.

Baca Juga: Kisah Nyai di Hindia Belanda 

Selain ihwal alur cerita, penulis pun menyoroti pemilihan latar musik dari film ini. Ada kesan ‘pelit’ dalam menyajikan iringan musiknya. Musik yang ditampikan terasa standar karena memakai musik-musik yang banyak ditemukan di internet di era sekarang.

Andai mengeksplorasi musik-musik yang ditampilkan nayaga atau pemain musik di jelang akhir film, penulis pikir akan lebih eksklusif dan feel lokalitas Sundanya lebih menyentuh.  

Kendati begitu penulis harus apresiasi lebih terhadap film-film yang mengangkat tema di luar arus utama. Pasalnya menjadi oase akan yang dapat mengobati kejenuhan dari film-film cinta dan lainnya.  

Film Guru Dian Diperankan Ryan Putri Moka Cianjur

Tak semua orang bisa menjadi guru, dan semua guru belum tentu menjadi sebenar-benarnya guru. Pasalnya menjadi guru bukan hanya tentang mengajar tetapi mampu mengatasi diri sendiri dengan segala permasalahannya.

Hal itu yang saya tangkap dalam film Guru Dian. Film ini berkisah tentang Dian yang disuruh oleh ayahnya untuk mengajar di desa terpencil di daerah Cianjur, Jawa Barat.

Tak muda bagi Dian yang awalnya dikelilingi fasilitas lalu terpaksa pindah ke desa yang minim fasilitas. Dian pun mengalami culture shock atau gegar budaya. Ia harus mampu beradaptasi dengan segala kondisi dalam hal ini berdamai dengan keadaan.

Culture shock adalah suatu kondisi psikologis yang mengalami kekagetan karena harus menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru, termasuk budaya baru yang mungkin berbeda jika dibandingkan dengan daerah asalnya.  

Hal ini terjadi jika seseorang tiba-tiba dipindahkan ke lingkungan yang baru yang memiliki kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaan di daerah asalnya. Entah itu desa dengan kota maupun satu negara dengan negara lainnya.

Baca juga: Say Hello to Yellow: Toleransi dan Laju Orang Desa

Tanda-tanda seseorang tengah dilanda culture shock diantaranya, berpikiran negatif dan selalu membandingkan antara lingkungan baru dengan lingkungan lama, mudah marah dan frustasi.

Tanda-tanda yang telah disebutkan di atas sedikit banyak tercermin di karakter Dian. Dian selalu membandingkan situasi di desa dengan di kota. Salah satunya contohnya, menuntut anak-anak desa untuk sekolah sebagaimana anak-anak kota tanpa memikirkan latar belakang para siswanya.

Pada satu sisi terlihat benar, bahwa pendidikan hak dari semua warga negara, tak terhalang batas administrasi. Akan tetapi ada ruang rumit yang tak bisa dipecahkan dengan mudah seperti taraf ekonomi, kebiasaan warga setempat hingga motivasi dari anak-anak itu.

Kemudian Dian mudah marah dan berprasangka negatif terhadap satu fotografer yang kebetulan bertugas di desa itu. Apa yang dilakukan sang fotografer dianggap selalu salah, meskipun harus diakui perilaku si fotografer memang membuat kesal.

Bahkan konflik antara Dian dengan fotografer menjadi sajian utama, seolah mengesampingkan permasalahan antara Dian dengan murid-muridnya dalam hal ini yang bernama Galih.

Baca juga: Film Tilik: Internet Itu Buatan Orang Pintar, Ga Bakal Salah

Bahkan nantinya sang fotograferlah yang menjadi jembatan mengatasi masalah yang dihadapi Galih dan Dian. Bermula dari konflik menjadi koalisi. Mau tak mau Dian harus menerima realita itu.  

Selain itu, saya ingin menyoroti kesan desa terpecil di film ini. Saya tak bisa menangkap kesan itu, dari dialog, dan atribut yang dihadirkan, melunturkan kesan desa terpencil. Tak ada gambaran jelas mengenai seberapa jauh desa ini dari kota, akses yang buruk, kondisi tempat tinggal warganya.

Sebagai contoh di adegan pentas seni kecapi dan tembang. Acara tersebut dikelilingi obor sebagai pencahayaan akan tetapi di panggung terdapat di lampu berkedip dan sound system. Notabenenya lampu berkedip itu ada alat baru dan modern yang hanya bisa di dapat di kota.    

Logika saya pun sedikit terganggu dengan masalah signal. Dalam satu adegan Dian harus mengerek handphone untuk mendapatkan signal. Akan tetapi ketika menjelang ujung film, sang fotografer dengan mudahnya membuka internet melalui laptopnya.

Namun diluar itu saya apresiasi film ini karena memperlihatkan citra guru dari ruang yang berbeda. Bahwa guru tetaplah manusia biasa, bisa tertekan secara psikologi dan terkendala banyak masalah. Apalagi bagi seorang guru muda.

Pengalaman Kuliah Kerja Nyata (KKN) semasa kuliah saja belum cukup menjadi bekal terjun di masyarakat. Banyak hal lain yang harus dipelajari.

 

 

 

 

“Ko tidak ada sinyal sih,” keluh Risma sambil mengacungkan handphonenya ke atas langit.

Adegan tersebut begitu familiar bagi kita selaku masyarakat digital. Golongan masyarakat yang sangat khawatir akan kesulitan mendapatkan sinyal apabila singgah di suatu desa atau tempat yang jauh dari kota. 

Kehadiran sinyal pun telah menjadi salah satu aspek penting dalam mempertimbakan pemilihan tempat tinggal. Lantaran signal telah menjelma selayaknya urat nadi yang menopang kehidupan insan manusia. Selain itu, keberadaannya telah mengubah kebiasaan atau cara bersosialiasi dengan orang lain.

Tak percaya silahkan? Silahkan simpan handphonemu lalu lihat sekitar.  

Melalui film Say Hello to Yello kita akan melihat fragmen-fragmen perilaku sosial di desa yang bersinggungan dengan teknologi bernama handphone dan sinyal.  

Baca juga: DoReMi & You: Konflik Anak Sekolah

Jika dalam film-film berlatar pedesaan lainnya, kita selalu disuguhi pemandangan alam yang indah. Jangan berharap menemukannya di film ini. Pasalnya film karya B. W. Purba Negara satu ini ingin lebih menonjolkan kehidupan sosial masyarakat yang dicitrakan dalam kehidupan anak-anak.

Pertama penonton digiring untuk mengamini sebuah ketimpangan sosial budaya antara anak-anak desa dan kota. Hal tersebut diwujudkan dalam sejumlah adegan seperti anak-anak desa yang memakai telpon kaleng hingga permainan tradisional.

Anak-anak desa pun ditampikan sebagai pribadi yang ramah, jujur dan saling membantu. Di mana dalam sejumlah kesempatan, mereka tak pernah lelah untuk mengajak berkenalan dan bermain dengan Risma, selaku anak kota.  

Sementara di sisi anak kota. Digambarkan sebagai sosok yang individualis, melek teknologi dan terkesan ingin terlihat istimewa. Hal ini tercermin dari sikap Risma tak pernah lepas dari hp, pura-pura sibuk menelpon. Padahal ia tahu bahwa di sana tak mendapatkan sinyal. Seolah ia tengah mencari jati diri dan pembuktian bahwa ia lebih hebat dari anak-anak desa.  

Hingga pada akhirnya kita akan melihat bahwa usaha-usaha untuk terlihat istimewa itu sia-sia belaka.

Satu hal yang harus saya garis bawahi di film ini, ialah pesan toleransi antar umat beragama yang hendak disampaikan. Dalam sebuah adegan ketika proses pembelajaran selesai, guru menunjuk tiga orang untuk memimpin doa. Ketiganya mewakili tiga agama, di mana secara bergiliran mereka memimpin doa.

Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi

Tak maksud untuk mendikriminasikan, tapi realitanya dalam kesempatan berdoa di sekolah-sekolah kiwari selalu hampir selalu dipimpin satu orang. Para minoritas jarang mendapatkan kesempatan.  

Melihat adegan dari film tersebut seolah menjadi cambuk bahwa tolerasi harus kembali digalakkan sedari kecil mulai dari tingkat sekolah dasar. Terkadang kita terlalu terlena dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga merasa tak perlu lagi mengajarkan toleransi.  

Secara keseluruhan saya harus mengapreasiasi alur cerita dan eksekusi film ini. Minimnya konflik tidak membuat film kehilangan makna. Saya kira itu kelebihan yang dimiliki B. W. Purba Negara dalam setiap film pendek yang digarapnya.

Mengenai ending film, saya kira film ini hendak menyampaikan atau mengubah paradigma akan kehidupan di desa. Bahwa orang-orang desa adalah masyarakat yang terus mengikuti perkembangan zaman, walaupun dengan segala kekurangan dari segi infrastruktur. Mereka terus melaju.

  

 

Tilik, film pendek karya Wahyu Agung Prasetyo. Pertama kali rilis pada 2018, selang dua tahun kemudian film ini tayang di youtube melalui kanal Ravacana Films.

Film Tilik telah meraih penghargaan Piala Maya 2018 kategori Film Pendek Terpilih, Official Selection Jogja Netpac Asian Film Festival 2018 dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019. Deretan penghargaan tersebut menegaskan bahwa film berdurasi 32 menit ini bukan kaleng-kaleng.

Film Tilik menceritakan serombongan ibu-ibu yang menjenguk Ibu Lurah di rumah sakit menggunakan truk. Selama perjalanan diisi dengan serangkaian gosip tentang Dian, putri dari bu Lurah.

Sebagian besar adegan di film ini berada di atas truk, kendati begitu kamu tak akan bosan lantaran dialog dan perdebatan sengit dari dua tokoh utama, Bu Tejo (Siti Fauziah) dan Yu Ning (Brilliana Desy). Kamu pun bakal terhibur dengan wajah ekpresif dan tutur kata Bu Tejo.

Artikel Populer: Kisah Nyai di Hindia Belanda

Bu Tejo ini sosok yang menjadi sumber informasi gosip tentang Dian. Lalu, Yu Ning tokoh yang digambarkan pendiam terkesan polos, kerabat jauh dari bu Lurah.

Salah satu sumber pergosipan tentang Dian berasal dari internet. Tepatnya Facebook. Mulai dari kehidupan pribadi, karir dan sebagainya.

“Makanya Yu Ning, rajin baca berita dari internet,” ujar Bu Tejo.                                                   

“Namanya,” sahut Bu Tri. Satu ibu yang sangat pro dengan Bu Tejo. Selalu mengaminkan apa yang dikatakan Bu Tejo.

Bu Tejo dan Yu Ning Film Tilik | Youtube Ravacana

Kehadiran internet yang sudah masuk desa menimbulkan dilema. Pasalnya makin banyak informasi bisa makin banyak juga gosip yang bermunculan dan kena tipu toko online bodong.  

Secara teknis, saya harus mengapresiasi detail film ini. Lantaran memasukan adegan-adegan yang menurut penulis menambah kesan natural dan related dengan penonton.

Pertama scene ketika Bu Tejo ingin pipis, secara spontan Yu Ning memberikan karet gelang. Ia menyuruh Bu Tejo untuk menjepit ibu jarinya dengan karet supaya menahan pipis. Namun itu tak berhasil. Adegan ini mengingatkan tentang kepercayaan di daerah tempat tinggal penulis untuk menyimpan batu jikalau kebelet buang air besar.

Baca juga: Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Kemudian ada adegan satu ibu yang mabok darat. Nampaknya ibu ini tak makan antimo dulu. Tentu yang paling menarik dan unik ialah bunyi klakson. Gotrek sebagai supir sengaja memencet klakson sebagai signal untuk menghindari polisi. Sebagaimana diketahui bahwa dilarang untuk membawa penumpang (orang) dalam truk.

Namun di kali kedua, karena Bu Tejo dan Yu Ning keasyikan berdebat hingga mengindahkan signal klaskson, walhasil Gotrek hkena tilang. Akan tetapi setelah ibu-ibu itu turun tangan, entah apa yang terjadi membuat mereka bisa lolos dari aparat.

Pentingnya Cek Informasi Agar Terhindar dari Hoax

Dalam video youtube, Cerita di Balik Layar Tilik, Agung mengatakan bahwa film ini diangkat dari fenomena budaya tilik (dalam bahasa jawa artinya menjenguk). Selain itu benang merah film ini membahas sebuah informasi, di mana sekarang tuh banyak banget hoax. Dan sekarang tuh era digital di mana internet sudah masuk ke pedesaan, Ini menjadi rentan, kenapa film ini harus diproduksi sekarang.

Karakter-karakter di film Tilik menggambar kehidupan kita. Misalnya, Bu Tejo menggambarkan kita yang doyan gosip dan menghamba kepada internet.

Melalui film ini kita diingatkan untuk selalu mengecek setiap infomasi yang datang. Entah dari omongan orang lain hingga internet. Karena kenyataannya tak semua gosip itu salah dan berakhir dengan kekalahan.


Nunggu Teka Mahesa Dega Festival Sinema Australia

Ada satu adegan yang terus menari dalam benak saya ketika selesai menonton film Nunggu Teka. Adegan ketika Sampeni menjawab telepon dan langsung berkata, “assalamualaikum. Nak? Namun di ujung sambungan telepon bukanlah anaknya tapi tetangga yang menanyakan pesanan ketupat.

Dari adegan tersebut tergambarlah seberapa besar kerinduan seorang ibu untuk berkumpul dengan anak satu-satunya di Hari Raya Idul Fitri. Hal tersebut rasanya sangat relate untuk orang tua yang ditinggal rantau oleh anak-anaknya. Berharap cemas di ujung telepon akan kabar kedatangan seorang anak.

Saya jadi teringat sebuah lagu Hallo Bandoeng yang dinyanyikan oleh Willy Derby. Lagu tersebut bercerita tentang hubungan telepon radio antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Netherland (Belanda) pada Januari 1929. Saat itu biaya untuk tiga menit pertama senilai 33 gulden. Kabarnya uang sebesar itu dapat dicapai jika menabung selama dua tahun.

Lewat lagu itu dikisahkan seorang ibu di Belanda setiap bulannya harus menabung agar bisa menelpon anaknya yang tak bisa pulang karena sudah menikah dengan wanita pribumi dan sudah memiliki anak. Sehingga hanya lewat sambungan telpon, ibu itu menuntaskan kerinduan.  

Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi

Melalui film Nunggu Teka dan lagu Hallo Bandoeng itu kita bisa sedikit mengerti akan secercah keinginan orang tua dari sudut pandang orang tua. Ketika orang tua makin menua, mereka butuh didampingi dan berkumpul dengan anak cucu. Kendati begitu orang tua selalu bisa menyembunyikan perasaan tersebut dan membebaskan anaknya untuk pergi dari rumah untuk mencari semesta.

Seorang anak mungkin akan merasa berbangga dengan segala pencapaainnya di luar sana. Apalagi jika ia sudah bisa membeli rumah dan sedikit melupakan rumah tempat ia besar dulu. Rumah yang menjadi saksi bisu akan tumbuh kembangnya dan suara kecil yang mulai keriuhan di rumah. Yang kini hanya tinggal diisi bingkai-bingkai foto.  

Selain itu ada satu adegan yang menarik perhatian dari film garapan Mahesa Dega ini. Suara televisi yang memecah keheningan rumah. Tak peduli dengan apa yang ada di televisi, Sampeni hanya perlu suara itu untuk mengganti suara dan keriuhan dari anaknya yang tak lagi bergema di rumah. Ketika Sampeni bangun tidur, ia segera menyalakan televisi. Lalu ketika beranjak tidur, ia mematikan televisi.

Artikel Populer: Resensi Film Room

Adegan yang minim dialog, malah memaksa penonton untuk tetap diam sambil berharap cemas dengan apa yang bakal terjadi. Dari satu adegan ke adegan penonton dibuat menunggu, layaknya tengah menjadi Sampeni. Saya kira karena berkat kejelian sutradara untuk menangkap momen dan kegundahan dari tokoh utama dengan rumah tuanya.    

Meninjau apa yang telah dikisahkan film ini. Maka sangat pantas bila film pendek ini ini berhasil menyabet kategori Best Short Film dan People’s Choice di Festival Sinema Australia Indonesia 2017 (FSAI). Film ini menyisihkan 300 film pendek lainnya.

Mahesa Dega berhasil menangkat potret kesedihan seorang ibu yang gagal berkumpul bersama anak cucunya di hari Idul Fitri. Meskipun hanya berdurasi 14 menit, tapi mampu merontakan penonton akan kerinduan dan rasa bersalah karena tidak mudik. Bahwa mudik bukan perkara mengunjungi kampung halaman, tapi merawat nilai sakral dari kebersamaan satu keluarga.

nyai a woman from java garin nugroho

Kisah nyai di Hindia Belanda telah dituturkan dalam sejumlah karya sastra. Ada yang berusaha merendahkannya dan ada pula yang berusaha memahami kesakitannya.

Saya berkesempatan menyaksikan kisah nyai dalam media film yang berjudul Nyai, karya Garin Nugroho. Dalam pembukaan film ini ditampilkan disclaimer bahwa cerita ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: Nyai Isah (1904) karya F. Wiggers; Seitang Koening (1906) karya R.M Tirto Adhisoerjo; Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay; Nyai Dasimah (1960) karya S.M Ardan dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.

Saya sangat antusias, terlebih ada rasa penasaran mengenai perpektif soal Nyai yang akan kembangkan oleh Garin. Dalam film ini. Garin menggunakan pendekatan teater, sehingga dalam 85 menit akan ada satu latar saja. Beranda rumah joglo bewarna hijau beserta meja bundar berkaki kayu.  

Di beranda tersebut, keluar masuk tokoh yang mencari nyai dan suami Belandanya, Meneer William. Mulai dari penghibur penari dan orkes dengan musik timur tengah hingga penari jawa untuk menghibur Meneer yang tengah sakit. Lalu beranda seolah menjadi peradilan bagi nyai, ini tergambarkan dalam adegan seorang pemuka agama dan pribumi yang awalnya datang untuk mendoakan suami nyai, malah berbalik menasehati Nyai dan memintanya pindah agar tak menjadi sasaran kemarahan warga.

Baca juga: Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Pemilihan beranda rumah sebagai latar, mengimplitkan bahwa rumah menjadi tempat terkukungnya seorang nyai. Bahwa nyai tak ubahnya meubel (parabot) di dalam suatu beranda. Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri.

Kegetiran tersebut semakin sakit kala menyaksikan sebuah monolog, Si Nyai bertutur bahwa dirinya dijual oleh ayahnya sebagai upaya suap kepada meneer untuk kenaikan pangkat. Praktik ini kerap terjadi di Hindia Belanda saat itu terutama di daerah perkebunan.  

Nyai Terhimpit Dua Budaya   

Sebagai seorang nyai tentu bisa menolak tunduk, sebagaimana kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu serta budaya dan hukum Belanda. Sehingga dapat mengelola perusahaan dan dihormati berkat kekayaan yang dimilikinya.

Akan tetapi di mata hukum Belanda, Nyai tetaplah seorang gundik yang haknya sama dengan pribumi lainnya. Hal tersebut digambarkan dalam film nyai ketika seorang pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi miliki istri Belanda William, sesuai dengan Undang-undang Belanda.

Baca juga: Ca Bau Kan, Merekam Kekerasan Perempuan di Hindia Belanda

Sementara di mata pribumi, nyai seolah sosok perempuan yanng hanya mementingkan materialiastik Dengan menjual apa yang mereka miliki ke tangan orang Eropa. Padahal realitanya nyai hanyalah korban yang mungkin bisa disamakan dengan kasus jual beli manusia. Lantaran di beberapa kisah yang saya temui mereka bisa alihkan dari satu orang Eropa ke orang Eropa lainnya.

Menyaksikan film Nyai membuat mata kita terbuka dan merasakan kegetiran hidup seorang Nyai. Bagaiamana ia terhimpit dua budaya yang membuat mereja menjadi minoritas, diterima sebagai pembantu di mata orang-orang Eropa dan terasa diasingkan oleh kaum pribumi.

*Source photo by imdb
sebelum pagi terulang kembali alex komang

“Anak itu berubah, menjadi kepribadiannya sendiri, bukan lagi bagian dari orang tuanya. Seperti kata Kahlil Gibran, Anakmu Bukan Milikmu.”

Ucapan tersebut terlontar dari Yan (Alex Komang) kepada asisten pribadinya Jaka (Agus Ringgo) setelah melihat sikap anak-anak Yan yang sudah dewasa. Ketika anak tumbuh dewasa tentu pemikirannya kian bertumbuh mengikuti zaman dan lingkungan tempat mereka berada. Orang tua tidak bisa memaksa anak-anaknya untuk menjadi apa yang mereka pinta, sebab mereka sudah mampu berpikir mandiri untuk menentukan nasibnya sendiri.

Melalui film Sebelum Pagi Terulang penonton dapat melihat tentang permasalahan yang dihadapi satu keluarga mapan. Di mana permasalahan yang bermula dari keluarga dan diselesaikan oleh keluarga. Hal ini menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan yang meliputi kejujuran dan keterbukaan.

Permasalahan dimulai ketika Satria (Fauzi Baadilla) yang meminta “jatah” proyek pembangunan pelabuhan dari ayahnya. Tentu Yan sebagai pejabat pemerintah yang lurus tidak mungkin mengabulkan hal tersebut. Kendati begitu Satria berhasil memenangkan tender berkat bantuan Hasan anggota DPR untuk menyuap Himawan, atasan Yan. Satria pun mengajak kakaknya, Firman (Teuku Rifnu Wikana) yang saat itu tengah menganggur dan baru bercerai dengan istrinya. Firman menjadi kurir yang mengantar sejumlah kiriman uang ke orang-orang berkepentingan.

Baca juga: Diam Tak Lagi Emas, Lantas Apa Donk?

Berubahnya tingkah laku kedua anaknya sudah tercium oleh Yan maupun Ratna. Apalagi dalam sekejap Satria membelikan mobil baru untuk ibunya. Dalam hal ini Satria seolah ingin membuktikan bahwa ia adalah anak yang berhasil terutama dari segi finansial. Namun apa yang dilakukan Satria selalu salah, dan parahnya ia gagal menangkap apa yang salah itu.

Sementera Firman selaku anak sulung merasa gagal untuk diandalkan oleh keluarga. Lantaran ia selalu bercermin terhadap kesuksessan adiknya secara finansial. Sementara anak paling bungsu, Dian (Adinia Wirasti) harus mendapatkan kenyataan pahit dibohongi oleh Hasan sehingga ia gagal menikah.   

Komunikasi Antar Anggota Keluarga

Dalam film ini saya melihat ada rantai yang terputus di keluarga, yakni komunikasi. Yan dan Ratna gagal menkonversi idealisme dan integritas yang dijunjungnya kepada anak-anaknya. Mereka merasa takut untuk menyampaikan nilai-nilai baik tersebut. Dalam satu momen Ratna telah diingatkan oleh Soen (Maria Oentoe) bahwa Satria bisa menjadi bom waktu yang menyeret seluruh anggota keluarga dalam masalah.

Kerenggangan komunikasi antara orang tua dan anak semakin terlihat. Terutama ketika Yan dan Ratna tak mampu lagi mengontrol apa yang dilakukan anak-anaknya. Menuju akhir adegan kita disadarkan bahwa kebersamaan bisa membuat komunikasi berjalan lancar. Ini terlihat ketika Jaka yang lebih banyak menghabisksan waktu bersama Yan berhasil menangkap pesan tentang integritas dan idealisme yang harus dijunjung oleh manusia.

Pada akhirnya lewat film ini kita harus sadar bahwa keluarga harus hadir sebagai naungan dan jembatan yang akan memastikan bahwa apa yang dilakukan anggota keluarga berada di jalan yang benar. Melalui komunikasi dua arah dan saling terbuka akan menghindarkan anggota keluarga dari permasalahan pelik seperti korupsi. Karena korupsi bisa menimpa siapa saja yang diawali dari benih-benih ketikdakjujuran.

 


Film Garasi Fedi Nuril Ayu Ratna

Musik tak bisa dilepaskan dari dunia manusia. Sepanjang peradaban manusia, sejak zaman Yunani Kuno hingga kapitalisme global saat ini, musik telah menjadi cerminan masyarakat seperti yang diungkapan oleh Adorno. Bahkan di zaman Yunani Kuno musik memiliki nilai sama pentingnya dengan sains (matematika). Musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmetika, geometri, musik dan astronomi.

Melangkah ribuan tahun ke depan terutama pasca revolusi industri membawa musik dalam era baru. Kehadiran teknologi membuat musik bisa diproduksi massal melalui bentuk kaset, piringan hitam, CD. Berkat hal tersebut musik dapat disebarkan luaskan dan bisa hadir dalam keseharian kita. Fase ini pun menandai karya musik sebagai satu komoditas yang mulai jual belikan.

Lewat film Garasi garapan Agung Sentausa pada tahun 2006, kita dapat melihat secuplik kisah perkembangan musik sebagai satu identitas dan komoditas. Pemilihan Bandung sebagai latar cerita boleh jadi si pembuat ingin memberi pesan akan mengakarnya musik sebagai identitas anak muda saat itu. Pasalnya kota yang memiliki julukan Parijs van Java ini dikenal sebagai salah satu kota di Indonesia sebagai penghasil musisi handal dan diklaim sebagai kota musik. Dalam film ini juga diperlihatkan sebuah toko musik di mana tak sembarang orang bisa membeli karya musik. Si penjaga toko akan mengetes pengetahuan musik si pembeli terlebih dahulu. Tak hanya sebagai penanda musik sebagai identitas, lewat film ini membawa kita memahami fungsi musik sebagai alasan hidup manusia dalam lingkup kehidupan modern.  

Musik Sebagai Pelepas Kecemasan

Dalam buku Noise The Political Economy of Music menjelaskan bahwa Aristoteles membagi musik ke dalam tiga fungsi: “ethical” (kegunaaanya dalam edukasi/pendidikan), “of action” (dapat menjadi pengaruh bahkan untuk orang yang tak mampu memainkan musik), dan “cathartic” (memiliki tujuan sebagai pelepas kecemasan/kemarahan dan membuat tenang)  

Dalam film Garasi kita dapat menemukan bahwa musik berfungsi sebagai cathartic. Menceritakan band Garasi yang digawangi Gaia sebagai vokal (Ayu Ratna), Aga gitaris (Fedy Nuril), dan Awan drummer (Aries Budiman). Awan rela meninggalkan Jepang dan balik ke Indonesia untuk mengejar mimpinya bermusik bersama kawan lamanya, Aga. Awan digambarkan tidak bisa hidup tenang tanpa musik yang ia yakini sebagai salah satu tujuan hidupnya. Lalu bagi Aga musik adalah tujuan hidup di mana menjadi kanalisasi ego dirinya sendiri yang idealis. Sementara bagi Gaia musik adalah pelepas kemarahan akan masa lalunya, di mana ia tak dianggap oleh neneknya sendiri karena ia lahir bukan dari pernikahan. Ia merasa tersiksa dengan semua hal itu, terlebih lingkungan sosial membuat hal ini menjadi semakin runyam. Namun pada akhirnya mereka mampu berdamai dengan masa lalu berkat musik.

Baca juga: DoRe Mi & You: Konflik Anak Sekolah

Plato dan Aristoteles menguraikan teori tentang “ethos” atau sifat moral dan efek-efek yang dihasilkan oleh musik. Lebih lanjut Aristoteles mengungkapkan bahwa musik menirukan dan menggambarkan emosi serta keadaan jiwa manusia. Dalam hal ini kita dapat melihat bentuk musik yang dihasilkan Garasi adalah rangkuman keluh kesah dari para personilnya.

Melalui film ini kita dapat menangkap bahwa musik memiliki fungsi sebagai identitas seseorang dalam menyampaikan pesan dan sebuah komoditas. Namun di era sekarang, di mana kemudahan akses musik terkadang membuat kita gagal memahami musik dan hanya melihatnya sebagai komoditas.  
Foto: miles


Habibie & Ainun | Source Imdb.com

Tak dapat dipungkiri bahwa menyaksikan film biopik yang mengisahkan tokoh besar selalu menghadirkan inspirasi. Lakon kehidupannya bagaikan pelita yang bisa menyinari generasi selanjutnya untuk mewarisi semangat dalam menyongsong berbagai rintangan di masa depan.

Salah satu film yang saya maksud ialah Habibie & Ainun. Film ini tak hanya memperkenalkan kita kepada sosok jenius yang pernah dimiliki oleh Indonesia bernama Bacharuddin Jusuf Habibie. Namun mengantarkan lebih jauh daripada itu, yaitu tentang sisi personal beliau dalam merawat tulusnya rasa cinta terhadap seorang istri yang sangat dicintai. 

Film Habibie & Ainun diadaptasi dari novel otobiografi yang ditulis sendiri oleh Habibie sebagai memoar untuk istri tercinta. Dalam film berdurasi 120 menit ini menitikbertakan pada kisah romantis antara Habibie dan Ainun sejak pertama kali berjumpa kembali hingga mereka berpisah. Diceritakan bahwa Habibie (Reza Rahardian) yang kuliah di Jerman pulang ke Indonesia. Setibanya di sini, Habibie bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu yang bernama Ainun (Bunga Citra Lestari).

Pertemuan itu nyatanya membuat Habibie jatuh cinta kepada Ainun. Dari sini kita diajak menikmati romantisme masa muda era-60an. Mulai dari bagaimana Habibie menaklukan saingannya dengan amat elegan, menaklukan hati orang tua Ainun hingga cara melamar yang sangat memorable. Yah adegan di dalam becak.

Pasca menikah, Ainun ikut pergi bersama Habibie ke Jerman. Ainun rela meninggalkan karirnya sebagai dokter di Indonesia. Di Jerman mereka menjalin rumah tangga dengan segala keterbatasan. Namun kekurangan menjadi romantisme tersendiri yang hadir dalam keluarga anyar.

Harapan adalah penawar untuk tetap bertahan dari masa yang sulit. Harapan itu berupa janji Habibie untuk membuatkan Ainun sebuah pesawat, hingga membangun industri berteknologi tinggi di Indonesia. Hal-hal tersebut menjadi sumber kekuatan pasangan muda ini menghadapi masalah-masalah.

Berkat segala prestasi yang diraih ketika Jerman, akhirnya Habibie dipanggil kembali ke Indonesia oleh pemerintah order baru guna membangun teknologi dan industri hi-tech. Namun jangan harap kita diberikan gambar tentang cara membangun pesawat, sebagaimana telah saya sampaikan dalam film ini lebih mengangkat sisi romantisme personal seorang Habibie.

Baca juga: Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata

Selain itu, karakter khas Habibie, mampu dimainkan dengan sangat piawai oleh Reza Rahardian. Seolah yang main di film ini benar-benar Habibie yang asli. Reza pun mampu membangun chemistri dengan Bunga Citra Lestari yang berperan sebagai Ainun.

Saya pun tak menutupi bahwa ada detail-detail minor dalam film ini, terutama di bagian suasana Bandung di era 60-an. Pasalnya ada sejumlah iklan yang tak relevan ketika masa itu. Hal ini juga menandakan bahwa masih ada kekurangan di industri film kita terutama untuk adegan yang menampilkan suasana masa lalu.  

Lalu riasan make up yang kurang bagus membuat Habibie tampak sedikit berbeda di beberapa bagian terutama ketika di akhir. Namun kekurangan tersebut bisa dikesampingkan lantaran kisah cinta dua insan yang sangat memukau. Pasalnya kisah cinta romantis layaknya di negeri dongeng ini benar-benar hadir di dunia nyata.

Melalui film ini saya dapat belajar bahwa kesuksesan besar di luar sana diawali dari support system yang terbangun di ruang paling kecil yang bernama pasangan. Habibie dapat merengkuh cita-citanya lewat dukungan sepenuh hati seorang istri yang tak kenal lelah mendampingi dalam berbagai kondisi.

Photo Habibie (Reza Rahardian) & Ainun (Bunga Citra Lestari) | Source Imdb.com


DoReMi & You Konflik Anak Sekolah | Source instagram doremiandyoufilm

Salah satu tantangan sineas Indonesia dalam membuat film anak terutama yang bergenre drama musikal adalah minimal/melampaui ekspetasi penonton akan film terdahulu, Petualangan Sherina. Bisa dikatakan film yang dibintangi Sherina Munaf ini telah menjadi barometer film anak di Indonesia. Meskipun begitu para sineas bukan berarti terjebak dengan satu pakem, tetapi sanggup menghadirkan kebaruan.

Menuai pujian berkat film panjang pertamanya (Ziarah), BW Purbanegara mendapatkan tantangan baru untuk menggarap film anak berjudul DoReMi & You. Baginya ini bukan kali pertama ia menggarap film anak, ia kedapati pernah membuat 2 film pendek anak berjudul Cheng Cheng Po dan Say Hello To Yellow.

Saya menilai bahwa sebagai film drama musikal remaja, DoReMi & You berhasil merefresentasikan anak remaja di Indonesia, terutama anak sekolah di Pulau Jawa. Di mana mereka mulai berkenalan dengan berbagai teman berlatarbelakang berbeda, mengikuti sejumlah ekstrakulikuler, berorganisasi, ketertarikan dengan lawan jenis hingga dihadapkan dengan masalah khas sekolahan.

Doremi & You menceritakan tentang empat orang sahabat di satu sekolah menengah pertama, yaitu Putri (Adyla Rafa Naura Ayu), Anisa (Nashwa Zahira), Markus (Toran Waibro) dan Imung (Fatih Unru) yang berusaha mengganti uang jaket ekstrakulikuler yang tidak sengaja mereka hilangkan. Untuk mengganti uang tersebut, Putri mengusulkan teman-temannya untuk mengikuti lomba musik DoReMI & You, di mana hadiahnya bisa mengganti uang yang hilang. Anisa dan Markus sebagai anak paduan suara menyetujuinya. Mereka pun menggelar latihan ala kadarnya dengan Imung sebagai pemimpin vokal.

Baca juga: Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata

Sadar akan kekurangan mereka, Putri mengusulkan untuk meminta bantuan Reno (Devano Narendra), alumni sekolah mereka yang berbakat dalam bidang musik. Namun Reno bukanlah pribadi yang baik, ia terkesan memiliki sikap angkuh. Keputusan untuk mengangkat Reno sebagai pelatih vokal malah membuat konflik diantara mereka.

Konflik yang terjadi mudah dibayangkan. Bahkan akhirnya bakal seperti apa, penonton sebenarnya bisa menebaknya. Lantaran konflik yang dihadirkan tidaklah kompleks mengingat ini adalah film anak yang ditujukan untuk semua umur. Sehingga pasti ada orang dewasa yang merasa bosan, tapi di satu sisi bakal ada yang merasa relate dengan konflik-konflik tersebut dan menikmatinya. Saya tipikal yang kedua menikmati konflik receh khas anak remaja.

Sebagai drama musikal tentu di setiap momennya hadir adegan menyanyi dan menari. Semisal diwaktu terjadi konflik terdapat lagu yang akan meredakan suasana dan membuat penonton menjadi lebih rileks. Lagu-lagunya pun dibuat dengan aransemen dan lirik yang ceria, sehingga easy listening.

Selain itu, saya tertarik dengan visual film ini yang sangat colorfull. Setiap karakter direpresentasikan lewat warna berbeda seperti Putri yang berpakaian kuning, Anisa warna biru, Imung warna hijau, Markus warna merah, dan Reno warna biru. Secara konsisten hal ini hadir dari awal hingga akhir.  

Namun satu hal yang mesti garis bawahi adalah film ini kurang mengekplore keberagaman yang hadir di sekolah. Padahal secara karakter diisi oleh berbagai suku, Putri yang berasal dari Jakarta, Anisa dari Medan, Markus dari Maluku. Keberagaman ini hanya hadir lewat logat-logat dalam dialog, andai mendapatkan porsi lebih mungkin akan menjadi lebih mengedukasi mengedukasi penonton tentang toleransi dan keberagaman.

| Source foto  instagram doremiandyoufilm

 


Adam Driver, left, and Channing Tatum play brothers who hatch a plan for an elaborate heist during a Nascar race in “Logan Lucky.”Credit...Fingerprint Releasing/Bleecker Street

Dalam film-film Amerika dan mungkin tidak hanya itu–̶ gagasan keberuntungan sering berfungsi sebagai eufemisme untuk menangkal pengaruh kelas. Di negeri pemenang dan pecundang, di mana kehidupan diakui tidak adil, kita sering menemukan kesalahan (hiburan) bukan dalam struktur sosial tetapi di aktor dan aktris.

“Logan Lucky,” film baru Steven Soderbergh yang menentang arus, sangat menghibur–̶ film yang mengakhiri pensiun singkat dari penyutradaraan layar lebar. Ini adalah kisah Robin Hood modern yang mengorganisir perampokan rumit, secara kasat mata tidak mungkin tetapi anehnya masuk akal. Sebuah kelompok pencuri yang terdiri dari seorang veteran terluka, mantan penambang batu bara yang mengganggur, seorang penata rambut, dan anggota lainnya, bersengkongkol untuk menjatuhkan event Nascar yang disponsori oleh Coca-cola. Acara ini menyedot banyak uang dari orang-orang seperti mereka dan mereka benar-benar bertindak untuk menyedotnya kembali.

Deskripsi itu mungkin membuat suara film lebih tajam. Namun kesadaran kelas ala Soderbergh–̶ sesuatu yang sering muncul dalam karirnya, seperti di Elin Brockovich, The Girlfriend Experience, Bubble dan tentu saja dalam Magic Mike –̶ lebih bersifat atmosfer daripada terprogram. Tidak ada seorang pun di “Logan Lucky” yang mengucapkan kata-kata politik, tetapi latar belakangnya membawa muatan politik yang jelas dan signifikasi. Orang-orang Logan yang dipermasalahkan adalah penduduk Virginia Barat yang sombong, negara bagian yang di dunia nyata, berperilaku lebih jauh di atas demografisnya dalam kepentingan partisan dan simbolis. Tanah mereka indah dan airnya terkontaminasi. Lagu kebangsaan film itu adalah “Take Me Home, Country Road” karya John Denver, lagu yang menceritakan sebuah bukit yang indah, jika pernah ada.

Jimmy Logan (Channing Tatum) memainkan lagu itu untuk putrinya yang masih kecil, Sadie (Farah Mackenzie), ketika mereka memperbaiki truk pick-upnya, tahu bahwa keaslian lagu itu dipertanyakan. Dua penulis yang dikreditkan, katanya, mungkin belum pernah ke Virginia Barat ketika mereka menyanyikan keindahan lembah dan sungai. (“Logan Lucky,” mungkin harus ditunjukan sebagian besar lembah di Georgia.) Tetapi Jimmy juga tahu bahwa budaya populer dapat membawa spora sentimen asli, dan Sodenbergh menunjukan keyakinan yang sama terhadap produk-produk kotor Amerika. Seorang siswa film yang mendapatkan inspirasinya di sini kurang dari realisme suram, suram dari New Hollywood 70-an daripada hibrida genre populis waktu–̶ dekade itu. Jika seri “Ocean” mewakili pembaruan dari Rat Pack era Kennedy, maka ”Logan Lucky” menghidupkan kembali pesona penjahat yang menghebohkan dari “Smokey and TheBandit.”

Bukan berarti film ini terasa seperti kemunduran. Tatum sekitar 10 kali lebih seksi daripada Burt Reynolds, dan sekitar sepersepuluh sia-sia. Sejak kemunculannya di layar kaca (dalam “Step Up” dan A Guide to Recognizing Your Saint”), sudah jelas bahwa dia adalah pemain yang karismatik, tetapi sekarang semakin jelas bahwa dia juga seorang aktor yang hebat. Saya pikir daya tariknya berhubungan dengan kualitasnya dalam menyampaikan ironi dan ketulusan dalam setiap gerakan sederhana tanpa paksaan.

Baca juga: Larut Dalam Sebuah Film Drama

Jimmy yang pernah menjadi bintang football sewaktu sekolah menengah atas belum cukup pasrah dengan kehidupannya dengan kaki yang pincang. Diberhentikan dari pekerjaan kontruksi di North Carolina, ia kembali ke rumah untuk mendapati bahwa mantan istrinya (Katie Holmes) dan suaminya penjual mobil (David Denman) berencana untuk pindah dari Virginia Barat bersama Sadie. Kakak Jimmy, Clyde (Adam Drive) seorang bartender yang kehilangan tangan di Irak, mengira keluarganya dikutuk. Jimmy tidak membagikan takhayul ini, dan dalam hal apa pun, ia memiliki rencana, atau setidaknya daftar cara untuk merampok bank yang ia putuskan untuk beradaptasi dengan keadaan baru.

Seperti Danny Ocean dari George Clooney, pertama-tama ia perlu mengumpulkan kru. Dimulai dengan Clyde dan saudara perempuan mereka, Mellie (Riley Keough), Jimmy memanfaatkan jaringan kekerabatan lainnya, merekrut seorang ahli bahan peledak bernama Joe Bang (Daniel Craig) dan dua saudara lelakinya (Jack Quaid dan Brian Gleeson). Itu tidak semua orang, tetapi ada sejumlah kejutan kecil ketika adegan di toko, tapi saya tidak ingin memberitahunya.

Bukan berati plot itu adalah sesuatu yang menggentarkan. “Logan Lucky” kurang lebih sama seperti “Ocean” membuat lelucon tentang itu-itu saja. Siapa peduli? Kenikmatan genre heist (perampokan) selalu prosedural dan spesifik. Film-film ini semuanya sama, tetapi juga selalu berbeda karena campuran kepribadian dan keadaan tertentu. Apa yang mereka rayakan di atas segalanya adalah kombinasi antara keahlian, perencanaan, dan kecerdikan dalam memecahkan masalah yang dapat mengubah pekerjaan menjadi karya seni. Dengan kata lain, film klasik yang mencerminkan tantangan kolaboratif dan kemenangan logistik dari siklus produksi.

Untuk alasan itu, film perampokan yang baik dapat menjadi titikmanis di mana kenyataan dan fantasi bertemu. Mesin naratif yang satu ini bekerja dengan baik, kadang-kadang berakselerasi menjadi lelucon, biasanya ketika Tuan Craig muncul, memakai tato leher, rambut runcing yang diputihkan, dan aksen yang terdengar seperti hasil dari lidah yang terkilir parah. (Dialek-dialek itu ada si seluruh negara bagian, tapi jangan terlalu terpaku pada keaslian)

Baca Juga: Ulasan Film Room

Soderbergh tidak pernah cepat melewati tikungan dan gundukan. Dia menurunkan dan menarik ke atas bahu, membiarkan cerita mengurus dirinya sendiri sementara penonton menikmati kesenangan yang kadang-kadang lucu, kadang-kadang frustasi, kadang-kadang menyedihkan dari sejumlah tokoh. Pada saat kamu menjumpai Hilari Swank seorang agen F.B.I, atau mengetahui bahwa minuman energi itu berasal dari Inggris dan menilai bahwa yang mengjengkelkan dan satu-satunya karakter yang benar-benar jahat adalah Seth MacFarlane. Kamu merasa seperti seorang penggila reuni keluarga yang bertahan cukup lama untuk diangkat menjadi sepupu kedua.

Dari tiga film yang dirilis musim panas ini yang secara sadar mengaktifkan kembali mitologi penjahat sekolah tua–̶yang lain adalah “Baby Driver” dari Edgar Wright dan “Good Time” karya Josh dan Benny Safdie–̶ yang terbaik untuk dikatakan dan paling tidak dibuktikan. Sementara divisi lain secara agresif mempromosikan kesenangan mereka sendiri, memamerkan sikap meminjam, menunjukan gaya yang sesuai, Soderbergh bersuka ria dalam kotaknya dalam kepercayaan diri yang longgar, menyamarkan penguasaannya. “Logan Lucky” adalah film yang hebat. Itu masalah keterampilan dan mungkin juga keberuntungan. Tapi kebanyakan soal kemurahan hati.

Logan Lucky: NYT Critic Pick

Sutradara: Steven Soderbergh

Penulis: Rebecca Blunt

Pemain: Channing Tatum, Adam Driver, Daniel Craig, Farrah Mackenzie, Jim O’Heir

Rating: PG-13

Durasi 1 jam 58 menit

Genre: Komedi, Kriminal, Dram

Dialihbahasakan dari Review:’Logan Lucky’: Steven Soderberhand His Motley Band of Thieves, ulasan film yang tayang di The New York Times ditulis oleh A.O. Scott


Istirahatlah Kata-kata, film garapan Yosep Anggi Noen menarik rasa penasaran masyarakat luas. Ia sempat hadir di layar bioskop nasional dalam beberapa hari pada tahun 2017. Kehadirannya bagai oase ditengah serbuan film import. Film biografi ini telah memiliki bekal mumpuni untuk bersaing lantaran meraih penghargaan khusus dewan juri dalam kompetisi di acara Internasional Film Festival Love is Folly di Varna, Bulgaria pada tahun 2017. Setitik asa muncul bahwa ada masih ruang bagi film-film Indonesia/non populer tayang di layar bioskop nasional.

Di sisi lain, penikmat dan pengamat film memiliki kekhawatiran bahwa film ini bakal terjebak dalam stereotype film-film festival pada umumnya. Terjebak dalam alur lambat, cenderung segmented, muram berlebihan hingga sulit dipahami oleh orang awam. Namun penulis pikir, film berdurasi 90 menit ini berhasil lolos berkat kepiawaian Yosep dalam memilah adegan dan penggambaran visualiasi di dalamnya. Sentuhan puisi-puisi di beberapa scene mampu menghidupkan visualiasi di film ini.

Istirahat Kata-kata menceritakan tentang Wiji Thukul, seorang aktivis dan penyair yang melarikan dari kejaran pemerintah Orde Baru. Widji dianggap membangkang negara karena aktifitasnya pro demokrasi bersama buruh dan puisi-puisinya yang dianggap membahayakan pemerintah. Akibatnya ia harus melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat. Meninggalkan istrinya, Sipon beserta anak-anaknya di Solo, Jawa Tengah. Dalam pelarian, ia harus hidup dari satu ke tempat ke tempat lainnya dan mengganti identitasnya menjadi Paul. Ia hidup dalam kewaspadaan, kecemasan serta ketakutan lantaran bahaya bisa tiba begitu saja kepadanya.  

Moment kecemasan pertama terjadi ketika malam hari sepulang Thomas dan Thukul membeli minuman, seorang aparat militer menanyakan KTP. Thukul nampak kikuk, tak bisa menunjukan KTPnya. Kedua ketika Thukul ingin mencukur rambut diantar oleh temannya, Martin seorang aktivis dari Medan. Saat hendak memotong rambut, tiba-tiba datang seorang aparat militer. Si tukang cukur kemudian mendahulukan aparat militer. Sewaktu menunggu giliran, percakapan antara seorang aparat militer dengan Martin dan Thukul seorang menjadi interogasi. Dalam dua adegan itu setidaknya penonton berdegup kencang dengan apa yang bakal menimpa Thukul. Apa ia akan langsung ditangkap dan dipenjara langsung? Selain itu di beberapa adegan ketika Tukul tengah sendiri, penonton seolah disuruh untuk berdialog melalui visualisasi gambar, bunyi dan pelbagai momentum. Merasakan kegetiran yang dialami Thukul.

Baca juga: Resensi Film Room

Sang sutradara tentu harus berterima kasih kepada pada Gunawan Maryanto (Wiji Thukul) dan Marissa Anisa (Sipon) karena mampu memainkan peran dengan amat piawai. Mereka mampu mengeluarkan ekpresi penggambaran kegundahan, kegetiran, kesepian secara mendalam. Teknik pengambilan gambar pun semakin mengantarkan penonton kepada perasaan bahwa hal-hal ini merupakan kejadian yang merupakan bagian dari kehidupan yang kita alami juga.

Tentu tak mudah bagi seorang sutradara untuk menggarap film biografi yang terinspirasi dari seorang tokoh tak terlampau populer. Diperlukan teknik dan sentuhan dengan porsi pas guna menghadirkan sajian yang tak membosankan. Meminimailis percakapan dan mengubahnya dalam visualiasi gambar adalah langkah cerdas karena dapat mengantarkan perspektif lebih luas akan sosok siapakah Wiji Thukul dan bagaimana kiprahnya. Keberhasilan sebuah film tak melulu dikaitkan dengan seberapa besar penonton dan pendapatnya tapi tentang seberapa besar ia mampu membangkitkan dan merawat ingatan kolektif akan suatu peristiwa di masa lalu.   

#UlasFilmKemdikbud

Photo poster dari catchplay.com



Berbicara mengenai film “Room” karya Lenny Abrahamson memang tak akan ada habisnya. Berbagai penghargaan didapatkan oleh film ini sebutkan saja nominasi Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay dan Best Actress Oscar . Film ini sendiri diadaptasi dari sebuah novel best seller karya Emma Donoghue. Room sendiri bercerita mengenai kehidupan Ma dan anaknya Jack yang disekap dalam sebuah ruangan selama bertahun-tahun.

Mendengar judulnya seketika saya teringat dengan kekuatan yang di miliki Trafalgar D. Water Law didalam serial anime One Piece. Kekuatan yang ia dapat setelah memakan buah ope-ope no mi. Yakni jurus yang dinamakan Room: Membuat sebuah ruang bola disekitar targetnya, dimana ia dapat memanipulasi apapun yang ia inginkan dalam berbagai cara.

Ketika si target sudah berada di dalam ruangan yang berbentuk setengah bola ini. Mereka tidak bisa keluar begitu saja. Mereka akan terperangkap disana selama si pembuat jurus menghendaki. Mereka harus rela menyerahkan nasib mereka di tangan si empunya jurus. Sebuah jurus yang cukup mengerikan dan terbukti ampuh ketika melawan pasukan dari angkatan laut. 
Baca Juga: Larut Dalam Sebuah Film Drama
Namun Ma dan Jack ini tidak sedang terjebak dalam room yang dibuat Trafalgal Law, tetapi ia terjebak di sebuah ruangan sempit ulah dari bajingan yang biasa dipanggil Old Nick oleh Ma. Ruangan yang sebenarnya sebuah gudang belakang ini hanya dilengkapi satu lubang kecil sebagai masuknya cahaya. Sama seperti para musuh Law, Ma dan jack tak bisa keluar begitu saja dari ruangan tersebut.  

Ma sendiri bisa tersekap di gudang karena ia diculik oleh Nick ketika berusia 17 tahun. Ia dikelabui untuk membantu Nick mencari anjingnya yang hilang, tapi sebenarnya Nick tidak mempunyai seekor anjingpun. Kemudian ia dibawa ke rumah Nick dan mulai di sekap di sebuah gudang.

Semenjak disekap Ma selalu mendapatkan perlakuan yang kasar, ia pun diperkosa berkali-kali oleh Nick. Hingga lahirlah seorang anak bernama Jack. Ia diperbolehkan mengurus dan membesarkan Jack tetapi harus dibesarkan di ruang sempit itu.  Maka dapat dikatakan Jack sama sekali tak pernah mengenal dunia luar. Ma pun harus berjuang sendirian mengajarkan apa yang bisa dia ajar kepada Jack, menceritakan cerita yang bisa dimengerti oleh Jack, agar Jack tetap merasa ceria, sehat seperti anak seumurannya.

Semua kebutuhan Ma dan Jack di penuhi dengan seadanya oleh Old Nick. Namun itu saja tak cukup, karena yang paling mereka butuhkan adalah sebuah kebebasan. Namun Nick telah merampas kebebasan itu. Terlebih Ma yang pernah merasakan apa yang namanya kebebasan, pasti tahu betul rasanya hidup bebas. Sedangkan bagi Jack yang lahir dan tumbuh di sana, tidak tahu arti kebebasan, karena yang ia tahu adalah ibunya, perabotan diruangannya, dan tembok yang membatasi mereka.
Bak katak dalam tempurung, Jack hanya tahu dunia itu sebesar ruangan kamar mereka, yang bisa di sentuh bolak-balik ujung satu ke ujung lainnya. Jack tidak tahu bahwa di luar sana ada dunia yang lebih indah dan dapat memberikan pengalaman baru.

Untunglah Ma menyadari itu, sehingga Ma mencari siasat guna memberikan kebebasan yang belum dikenal oleh Jack. Walaupun kebebasan ini harus mengorbankan dirinya sendiri. Hingga suatu saat, ketika Nick mematikan listrik untuk ruangan mereka selama dua hari berturut-turut. Ma mempunyai ide untuk membuat Jack seolah-olah mati kedinginan akibat Nick mematikan pasokan listrik ke meraka. Dengan mengatakan bahwa Jack telah mati diharapkan Jack bisa dibawa keluar oleh Nick dari ruangan itu dan melarikan diri untuk melapor ke kepolisian sesuai yang instruksi yang telah diberikan Ma.

Akhirnya siasat itu berhasil dijalankan walaupun tak semulus rencana. Hingga polisi menemukan Jack, dan Jack dengan banyak ketakutannya dengan orang-orang yang ia temui, menceritakan singkat-singkat apa yang ia alami kepada polisi. Maklum saja Jack saat itu hanya mengenal manusia itu adalah dirinya dan ibunya, dan yang lainnya tak nyata. Akhirnya polisi menemukan gudang itu dan Ma bisa ikut dibebaskan.

Selepas keluar dari penyekapan tersebut. Jack merasakan dunia luar terasa aneh baginya. Butuh waktu dan pendekatan agar Jack bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Terlebih ibunya yang biasa selalu dekat dengan dia terasa semakin menjauh darinya.

Ma memang kelihatan yang paling depresi dari kejadian ini. Setelah keluar dari penyekapan itu Ma jadi sosok yang pemarah, sangat sensitif. Bukan tanpa sebab, ia merasa selama dipenyekapan ibunya tak pernah mencari dia dan mereka tak peduli dengan keberadaannya. Ditambah juga ibunya yang ternyata sudah berpisah dengan ayahnya menambah beban dari Ma.

Bukan itu saja, Ma harus mendapat tekanan dari orang-orang dan para pencari berita yang ingin mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa mereka. Namun lambat laun berkat bantuan orang-orang terdekat terutama Jack, Ma mulai bisa melewati itu semua. Hingga akhirnya Ma dan Jack bisa hidup normal bersama.

Photo Credit to dailynewsservice.co.uk



Film bergenre drama tak jarang hanya membuat penonton mengantuk dan menguap lebih sering. Karena dalam film drama kamu tak akan menemukan efek animasi mutakhir, yang akan melahirkan kata wah dari mulutmu. Ini sudah dibuktikan oleh teman saya. Sebut saja namanya Juned. Ia selalu mengantuk dan mengantuk ketika disuguhkan film bergenre drama.

Memang bukan salah Juned. Salahkan saja mereka yang menonton film di bioskop hanya untuk bermesraan. Dalam menggarap film bergenre drama diperlukan sutradara handal. Seorang sutradara yang mampu meracik sebuah cerita yang dikolaborasikan dengan kepiawaian yang ia miliki guna menghasilkan sebuah mahakarya. Ia harus bisa membuat sebuah alur cerita dari detik pertama ke detik berikutnya semakin dalam, semakin dalam, semakin dalam, hingga penonton larut ke dalam film tersebut.

Hingga saat ini yang berhasil membuat saya meneteskan air mata hanya film Titanic. Selebihnya mata saya hanya berkaca-kaca padahal mata saya tak sedikitpun terbuat dari kaca.

Jika melihat dari setiap unsur pembentuknya, film termasuk kedalam sebuah karya seni. Sebuah karya seni yang paling rumit menggabungkan visual, verbal dan penceritaan yang begitu kompleks. Dan bisa dikatakan film adalah karya seni yang paling mendekati realitas. Karena film merupakan representasi dari dunia nyata.

Ngobrolin tentang film tak lengkap jika tidak sambil ngopi. Maka dari itu ambil dulu sana kopimu biar ga ngantuk kaya Juned. Seperti biasa, setiap selasa di Kedai Prenger memutarkan film-film anti mainstream. Setelah seminggu sebelumnya memutarkan film No One Knows About Persian Cats karya Bahman Ghobadi, kini karya ia kembali di putar dengan judul Turtle Can fly.  
 

Turtle Can Fly sendiri sebuah film yang menceritakan kehidupan kaum kurdi terutama anak-anak yang kehilangan orang tua mereka akibat perang yang terjadi antar pihak Saddam Hussein dengan tentara Amerika. Berlatar lokasi pengungsian yang terletak di perbatasan Irak-Iran. Dimana lokasi tersebut dikelilingi ranjau darat milik Amerika.

Sebuah perjuangan hidup dilakoni anak-anak yang harus menanggung beban layaknya orang dewasa. Di usianya yang masih belia mereka dipaksa untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Mereka bertahan hidup dengan mengumpulkan ranjau darat dan menjualnya. Tak jarang mereka harus kehilangan anggota tubuhnya ketika bertugas mencari ranjau.

Tak hanya itu saja yang menjadi sorotan di film ini. Film ini menyoroti bagaimana kehidupan seorang anak perempuan yang harus menanggung beban moril dan membesarkan anak. Seorang anak yang bukan adiknya tapi seorang anak yang lahir dari rahim ia sendiri.  Setelah si gadis kehilangan orang tuanya ia diperkosa hingga melahirkan seorang anak yang kini ia besarkan.

Dalam film ini kita bisa melihat sisi lain kehidupan yang terjadi akibat suatu perang. Dimana dentumanan peluru, dahsyatnya ledakan bom tak pernah terlihat lebih hebat dari perjuangan hidup anak-anak korban perang.     

Perang hanya menyisakan duka bagi rakyat kecil dan memberikan kesenangan bagi orang besar. Meminjam kata-kata dari George Orwell : Semua propaganda perang, semua teriakan dan kebohongan dan kebencian, datang selalu dari orang-orang yang tidak berkelahi.



Photo Credit to riff.is
Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes