Ada satu adegan yang terus menari dalam benak saya ketika selesai
menonton film Nunggu Teka. Adegan ketika Sampeni menjawab telepon dan
langsung berkata, “assalamualaikum. Nak? Namun di ujung sambungan telepon
bukanlah anaknya tapi tetangga yang menanyakan pesanan ketupat.
Dari adegan tersebut tergambarlah seberapa besar kerinduan seorang
ibu untuk berkumpul dengan anak satu-satunya di Hari Raya Idul Fitri. Hal
tersebut rasanya sangat relate untuk orang tua yang ditinggal rantau
oleh anak-anaknya. Berharap cemas di ujung telepon akan kabar kedatangan
seorang anak.
Saya jadi teringat sebuah lagu Hallo Bandoeng yang
dinyanyikan oleh Willy Derby. Lagu tersebut bercerita tentang hubungan telepon
radio antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Netherland (Belanda) pada
Januari 1929. Saat itu biaya untuk tiga menit pertama senilai 33 gulden. Kabarnya
uang sebesar itu dapat dicapai jika menabung selama dua tahun.
Lewat lagu itu dikisahkan seorang ibu di Belanda setiap
bulannya harus menabung agar bisa menelpon anaknya yang tak bisa pulang karena
sudah menikah dengan wanita pribumi dan sudah memiliki anak. Sehingga hanya
lewat sambungan telpon, ibu itu menuntaskan kerinduan.
Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi
Melalui film Nunggu Teka dan lagu Hallo Bandoeng
itu kita bisa sedikit mengerti akan secercah keinginan orang tua dari sudut pandang
orang tua. Ketika orang tua makin menua, mereka butuh didampingi dan berkumpul
dengan anak cucu. Kendati begitu orang tua selalu bisa menyembunyikan perasaan
tersebut dan membebaskan anaknya untuk pergi dari rumah untuk mencari semesta.
Seorang anak mungkin akan merasa berbangga dengan segala pencapaainnya
di luar sana. Apalagi jika ia sudah bisa membeli rumah dan sedikit melupakan
rumah tempat ia besar dulu. Rumah yang menjadi saksi bisu akan tumbuh kembangnya
dan suara kecil yang mulai keriuhan di rumah. Yang kini hanya tinggal diisi
bingkai-bingkai foto.
Selain itu ada satu adegan yang menarik perhatian dari film
garapan Mahesa Dega ini. Suara televisi yang memecah keheningan rumah. Tak peduli
dengan apa yang ada di televisi, Sampeni hanya perlu suara itu untuk mengganti
suara dan keriuhan dari anaknya yang tak lagi bergema di rumah. Ketika Sampeni bangun
tidur, ia segera menyalakan televisi. Lalu ketika beranjak tidur, ia mematikan
televisi.
Artikel Populer: Resensi Film Room
Adegan yang minim dialog, malah memaksa penonton untuk tetap
diam sambil berharap cemas dengan apa yang bakal terjadi. Dari satu adegan ke
adegan penonton dibuat menunggu, layaknya tengah menjadi Sampeni. Saya kira
karena berkat kejelian sutradara untuk menangkap momen dan kegundahan dari tokoh
utama dengan rumah tuanya.
Meninjau apa yang telah dikisahkan film ini. Maka sangat pantas
bila film pendek ini ini berhasil menyabet kategori Best Short Film dan People’s
Choice di Festival Sinema Australia Indonesia 2017 (FSAI). Film ini menyisihkan
300 film pendek lainnya.
Mahesa Dega berhasil menangkat potret kesedihan seorang ibu yang gagal berkumpul bersama anak cucunya di hari Idul Fitri. Meskipun hanya berdurasi 14 menit, tapi mampu merontakan penonton akan kerinduan dan rasa bersalah karena tidak mudik. Bahwa mudik bukan perkara mengunjungi kampung halaman, tapi merawat nilai sakral dari kebersamaan satu keluarga.