Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Nunggu Teka Mahesa Dega Festival Sinema Australia

Ada satu adegan yang terus menari dalam benak saya ketika selesai menonton film Nunggu Teka. Adegan ketika Sampeni menjawab telepon dan langsung berkata, “assalamualaikum. Nak? Namun di ujung sambungan telepon bukanlah anaknya tapi tetangga yang menanyakan pesanan ketupat.

Dari adegan tersebut tergambarlah seberapa besar kerinduan seorang ibu untuk berkumpul dengan anak satu-satunya di Hari Raya Idul Fitri. Hal tersebut rasanya sangat relate untuk orang tua yang ditinggal rantau oleh anak-anaknya. Berharap cemas di ujung telepon akan kabar kedatangan seorang anak.

Saya jadi teringat sebuah lagu Hallo Bandoeng yang dinyanyikan oleh Willy Derby. Lagu tersebut bercerita tentang hubungan telepon radio antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Netherland (Belanda) pada Januari 1929. Saat itu biaya untuk tiga menit pertama senilai 33 gulden. Kabarnya uang sebesar itu dapat dicapai jika menabung selama dua tahun.

Lewat lagu itu dikisahkan seorang ibu di Belanda setiap bulannya harus menabung agar bisa menelpon anaknya yang tak bisa pulang karena sudah menikah dengan wanita pribumi dan sudah memiliki anak. Sehingga hanya lewat sambungan telpon, ibu itu menuntaskan kerinduan.  

Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi

Melalui film Nunggu Teka dan lagu Hallo Bandoeng itu kita bisa sedikit mengerti akan secercah keinginan orang tua dari sudut pandang orang tua. Ketika orang tua makin menua, mereka butuh didampingi dan berkumpul dengan anak cucu. Kendati begitu orang tua selalu bisa menyembunyikan perasaan tersebut dan membebaskan anaknya untuk pergi dari rumah untuk mencari semesta.

Seorang anak mungkin akan merasa berbangga dengan segala pencapaainnya di luar sana. Apalagi jika ia sudah bisa membeli rumah dan sedikit melupakan rumah tempat ia besar dulu. Rumah yang menjadi saksi bisu akan tumbuh kembangnya dan suara kecil yang mulai keriuhan di rumah. Yang kini hanya tinggal diisi bingkai-bingkai foto.  

Selain itu ada satu adegan yang menarik perhatian dari film garapan Mahesa Dega ini. Suara televisi yang memecah keheningan rumah. Tak peduli dengan apa yang ada di televisi, Sampeni hanya perlu suara itu untuk mengganti suara dan keriuhan dari anaknya yang tak lagi bergema di rumah. Ketika Sampeni bangun tidur, ia segera menyalakan televisi. Lalu ketika beranjak tidur, ia mematikan televisi.

Artikel Populer: Resensi Film Room

Adegan yang minim dialog, malah memaksa penonton untuk tetap diam sambil berharap cemas dengan apa yang bakal terjadi. Dari satu adegan ke adegan penonton dibuat menunggu, layaknya tengah menjadi Sampeni. Saya kira karena berkat kejelian sutradara untuk menangkap momen dan kegundahan dari tokoh utama dengan rumah tuanya.    

Meninjau apa yang telah dikisahkan film ini. Maka sangat pantas bila film pendek ini ini berhasil menyabet kategori Best Short Film dan People’s Choice di Festival Sinema Australia Indonesia 2017 (FSAI). Film ini menyisihkan 300 film pendek lainnya.

Mahesa Dega berhasil menangkat potret kesedihan seorang ibu yang gagal berkumpul bersama anak cucunya di hari Idul Fitri. Meskipun hanya berdurasi 14 menit, tapi mampu merontakan penonton akan kerinduan dan rasa bersalah karena tidak mudik. Bahwa mudik bukan perkara mengunjungi kampung halaman, tapi merawat nilai sakral dari kebersamaan satu keluarga.

nyai a woman from java garin nugroho

Kisah nyai di Hindia Belanda telah dituturkan dalam sejumlah karya sastra. Ada yang berusaha merendahkannya dan ada pula yang berusaha memahami kesakitannya.

Saya berkesempatan menyaksikan kisah nyai dalam media film yang berjudul Nyai, karya Garin Nugroho. Dalam pembukaan film ini ditampilkan disclaimer bahwa cerita ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: Nyai Isah (1904) karya F. Wiggers; Seitang Koening (1906) karya R.M Tirto Adhisoerjo; Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay; Nyai Dasimah (1960) karya S.M Ardan dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.

Saya sangat antusias, terlebih ada rasa penasaran mengenai perpektif soal Nyai yang akan kembangkan oleh Garin. Dalam film ini. Garin menggunakan pendekatan teater, sehingga dalam 85 menit akan ada satu latar saja. Beranda rumah joglo bewarna hijau beserta meja bundar berkaki kayu.  

Di beranda tersebut, keluar masuk tokoh yang mencari nyai dan suami Belandanya, Meneer William. Mulai dari penghibur penari dan orkes dengan musik timur tengah hingga penari jawa untuk menghibur Meneer yang tengah sakit. Lalu beranda seolah menjadi peradilan bagi nyai, ini tergambarkan dalam adegan seorang pemuka agama dan pribumi yang awalnya datang untuk mendoakan suami nyai, malah berbalik menasehati Nyai dan memintanya pindah agar tak menjadi sasaran kemarahan warga.

Baca juga: Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Pemilihan beranda rumah sebagai latar, mengimplitkan bahwa rumah menjadi tempat terkukungnya seorang nyai. Bahwa nyai tak ubahnya meubel (parabot) di dalam suatu beranda. Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri.

Kegetiran tersebut semakin sakit kala menyaksikan sebuah monolog, Si Nyai bertutur bahwa dirinya dijual oleh ayahnya sebagai upaya suap kepada meneer untuk kenaikan pangkat. Praktik ini kerap terjadi di Hindia Belanda saat itu terutama di daerah perkebunan.  

Nyai Terhimpit Dua Budaya   

Sebagai seorang nyai tentu bisa menolak tunduk, sebagaimana kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu serta budaya dan hukum Belanda. Sehingga dapat mengelola perusahaan dan dihormati berkat kekayaan yang dimilikinya.

Akan tetapi di mata hukum Belanda, Nyai tetaplah seorang gundik yang haknya sama dengan pribumi lainnya. Hal tersebut digambarkan dalam film nyai ketika seorang pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi miliki istri Belanda William, sesuai dengan Undang-undang Belanda.

Baca juga: Ca Bau Kan, Merekam Kekerasan Perempuan di Hindia Belanda

Sementara di mata pribumi, nyai seolah sosok perempuan yanng hanya mementingkan materialiastik Dengan menjual apa yang mereka miliki ke tangan orang Eropa. Padahal realitanya nyai hanyalah korban yang mungkin bisa disamakan dengan kasus jual beli manusia. Lantaran di beberapa kisah yang saya temui mereka bisa alihkan dari satu orang Eropa ke orang Eropa lainnya.

Menyaksikan film Nyai membuat mata kita terbuka dan merasakan kegetiran hidup seorang Nyai. Bagaiamana ia terhimpit dua budaya yang membuat mereja menjadi minoritas, diterima sebagai pembantu di mata orang-orang Eropa dan terasa diasingkan oleh kaum pribumi.

*Source photo by imdb
sebelum pagi terulang kembali alex komang

“Anak itu berubah, menjadi kepribadiannya sendiri, bukan lagi bagian dari orang tuanya. Seperti kata Kahlil Gibran, Anakmu Bukan Milikmu.”

Ucapan tersebut terlontar dari Yan (Alex Komang) kepada asisten pribadinya Jaka (Agus Ringgo) setelah melihat sikap anak-anak Yan yang sudah dewasa. Ketika anak tumbuh dewasa tentu pemikirannya kian bertumbuh mengikuti zaman dan lingkungan tempat mereka berada. Orang tua tidak bisa memaksa anak-anaknya untuk menjadi apa yang mereka pinta, sebab mereka sudah mampu berpikir mandiri untuk menentukan nasibnya sendiri.

Melalui film Sebelum Pagi Terulang penonton dapat melihat tentang permasalahan yang dihadapi satu keluarga mapan. Di mana permasalahan yang bermula dari keluarga dan diselesaikan oleh keluarga. Hal ini menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan yang meliputi kejujuran dan keterbukaan.

Permasalahan dimulai ketika Satria (Fauzi Baadilla) yang meminta “jatah” proyek pembangunan pelabuhan dari ayahnya. Tentu Yan sebagai pejabat pemerintah yang lurus tidak mungkin mengabulkan hal tersebut. Kendati begitu Satria berhasil memenangkan tender berkat bantuan Hasan anggota DPR untuk menyuap Himawan, atasan Yan. Satria pun mengajak kakaknya, Firman (Teuku Rifnu Wikana) yang saat itu tengah menganggur dan baru bercerai dengan istrinya. Firman menjadi kurir yang mengantar sejumlah kiriman uang ke orang-orang berkepentingan.

Baca juga: Diam Tak Lagi Emas, Lantas Apa Donk?

Berubahnya tingkah laku kedua anaknya sudah tercium oleh Yan maupun Ratna. Apalagi dalam sekejap Satria membelikan mobil baru untuk ibunya. Dalam hal ini Satria seolah ingin membuktikan bahwa ia adalah anak yang berhasil terutama dari segi finansial. Namun apa yang dilakukan Satria selalu salah, dan parahnya ia gagal menangkap apa yang salah itu.

Sementera Firman selaku anak sulung merasa gagal untuk diandalkan oleh keluarga. Lantaran ia selalu bercermin terhadap kesuksessan adiknya secara finansial. Sementara anak paling bungsu, Dian (Adinia Wirasti) harus mendapatkan kenyataan pahit dibohongi oleh Hasan sehingga ia gagal menikah.   

Komunikasi Antar Anggota Keluarga

Dalam film ini saya melihat ada rantai yang terputus di keluarga, yakni komunikasi. Yan dan Ratna gagal menkonversi idealisme dan integritas yang dijunjungnya kepada anak-anaknya. Mereka merasa takut untuk menyampaikan nilai-nilai baik tersebut. Dalam satu momen Ratna telah diingatkan oleh Soen (Maria Oentoe) bahwa Satria bisa menjadi bom waktu yang menyeret seluruh anggota keluarga dalam masalah.

Kerenggangan komunikasi antara orang tua dan anak semakin terlihat. Terutama ketika Yan dan Ratna tak mampu lagi mengontrol apa yang dilakukan anak-anaknya. Menuju akhir adegan kita disadarkan bahwa kebersamaan bisa membuat komunikasi berjalan lancar. Ini terlihat ketika Jaka yang lebih banyak menghabisksan waktu bersama Yan berhasil menangkap pesan tentang integritas dan idealisme yang harus dijunjung oleh manusia.

Pada akhirnya lewat film ini kita harus sadar bahwa keluarga harus hadir sebagai naungan dan jembatan yang akan memastikan bahwa apa yang dilakukan anggota keluarga berada di jalan yang benar. Melalui komunikasi dua arah dan saling terbuka akan menghindarkan anggota keluarga dari permasalahan pelik seperti korupsi. Karena korupsi bisa menimpa siapa saja yang diawali dari benih-benih ketikdakjujuran.

 


Film Garasi Fedi Nuril Ayu Ratna

Musik tak bisa dilepaskan dari dunia manusia. Sepanjang peradaban manusia, sejak zaman Yunani Kuno hingga kapitalisme global saat ini, musik telah menjadi cerminan masyarakat seperti yang diungkapan oleh Adorno. Bahkan di zaman Yunani Kuno musik memiliki nilai sama pentingnya dengan sains (matematika). Musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori dalam sains: aritmetika, geometri, musik dan astronomi.

Melangkah ribuan tahun ke depan terutama pasca revolusi industri membawa musik dalam era baru. Kehadiran teknologi membuat musik bisa diproduksi massal melalui bentuk kaset, piringan hitam, CD. Berkat hal tersebut musik dapat disebarkan luaskan dan bisa hadir dalam keseharian kita. Fase ini pun menandai karya musik sebagai satu komoditas yang mulai jual belikan.

Lewat film Garasi garapan Agung Sentausa pada tahun 2006, kita dapat melihat secuplik kisah perkembangan musik sebagai satu identitas dan komoditas. Pemilihan Bandung sebagai latar cerita boleh jadi si pembuat ingin memberi pesan akan mengakarnya musik sebagai identitas anak muda saat itu. Pasalnya kota yang memiliki julukan Parijs van Java ini dikenal sebagai salah satu kota di Indonesia sebagai penghasil musisi handal dan diklaim sebagai kota musik. Dalam film ini juga diperlihatkan sebuah toko musik di mana tak sembarang orang bisa membeli karya musik. Si penjaga toko akan mengetes pengetahuan musik si pembeli terlebih dahulu. Tak hanya sebagai penanda musik sebagai identitas, lewat film ini membawa kita memahami fungsi musik sebagai alasan hidup manusia dalam lingkup kehidupan modern.  

Musik Sebagai Pelepas Kecemasan

Dalam buku Noise The Political Economy of Music menjelaskan bahwa Aristoteles membagi musik ke dalam tiga fungsi: “ethical” (kegunaaanya dalam edukasi/pendidikan), “of action” (dapat menjadi pengaruh bahkan untuk orang yang tak mampu memainkan musik), dan “cathartic” (memiliki tujuan sebagai pelepas kecemasan/kemarahan dan membuat tenang)  

Dalam film Garasi kita dapat menemukan bahwa musik berfungsi sebagai cathartic. Menceritakan band Garasi yang digawangi Gaia sebagai vokal (Ayu Ratna), Aga gitaris (Fedy Nuril), dan Awan drummer (Aries Budiman). Awan rela meninggalkan Jepang dan balik ke Indonesia untuk mengejar mimpinya bermusik bersama kawan lamanya, Aga. Awan digambarkan tidak bisa hidup tenang tanpa musik yang ia yakini sebagai salah satu tujuan hidupnya. Lalu bagi Aga musik adalah tujuan hidup di mana menjadi kanalisasi ego dirinya sendiri yang idealis. Sementara bagi Gaia musik adalah pelepas kemarahan akan masa lalunya, di mana ia tak dianggap oleh neneknya sendiri karena ia lahir bukan dari pernikahan. Ia merasa tersiksa dengan semua hal itu, terlebih lingkungan sosial membuat hal ini menjadi semakin runyam. Namun pada akhirnya mereka mampu berdamai dengan masa lalu berkat musik.

Baca juga: DoRe Mi & You: Konflik Anak Sekolah

Plato dan Aristoteles menguraikan teori tentang “ethos” atau sifat moral dan efek-efek yang dihasilkan oleh musik. Lebih lanjut Aristoteles mengungkapkan bahwa musik menirukan dan menggambarkan emosi serta keadaan jiwa manusia. Dalam hal ini kita dapat melihat bentuk musik yang dihasilkan Garasi adalah rangkuman keluh kesah dari para personilnya.

Melalui film ini kita dapat menangkap bahwa musik memiliki fungsi sebagai identitas seseorang dalam menyampaikan pesan dan sebuah komoditas. Namun di era sekarang, di mana kemudahan akses musik terkadang membuat kita gagal memahami musik dan hanya melihatnya sebagai komoditas.  
Foto: miles


Habibie & Ainun | Source Imdb.com

Tak dapat dipungkiri bahwa menyaksikan film biopik yang mengisahkan tokoh besar selalu menghadirkan inspirasi. Lakon kehidupannya bagaikan pelita yang bisa menyinari generasi selanjutnya untuk mewarisi semangat dalam menyongsong berbagai rintangan di masa depan.

Salah satu film yang saya maksud ialah Habibie & Ainun. Film ini tak hanya memperkenalkan kita kepada sosok jenius yang pernah dimiliki oleh Indonesia bernama Bacharuddin Jusuf Habibie. Namun mengantarkan lebih jauh daripada itu, yaitu tentang sisi personal beliau dalam merawat tulusnya rasa cinta terhadap seorang istri yang sangat dicintai. 

Film Habibie & Ainun diadaptasi dari novel otobiografi yang ditulis sendiri oleh Habibie sebagai memoar untuk istri tercinta. Dalam film berdurasi 120 menit ini menitikbertakan pada kisah romantis antara Habibie dan Ainun sejak pertama kali berjumpa kembali hingga mereka berpisah. Diceritakan bahwa Habibie (Reza Rahardian) yang kuliah di Jerman pulang ke Indonesia. Setibanya di sini, Habibie bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu yang bernama Ainun (Bunga Citra Lestari).

Pertemuan itu nyatanya membuat Habibie jatuh cinta kepada Ainun. Dari sini kita diajak menikmati romantisme masa muda era-60an. Mulai dari bagaimana Habibie menaklukan saingannya dengan amat elegan, menaklukan hati orang tua Ainun hingga cara melamar yang sangat memorable. Yah adegan di dalam becak.

Pasca menikah, Ainun ikut pergi bersama Habibie ke Jerman. Ainun rela meninggalkan karirnya sebagai dokter di Indonesia. Di Jerman mereka menjalin rumah tangga dengan segala keterbatasan. Namun kekurangan menjadi romantisme tersendiri yang hadir dalam keluarga anyar.

Harapan adalah penawar untuk tetap bertahan dari masa yang sulit. Harapan itu berupa janji Habibie untuk membuatkan Ainun sebuah pesawat, hingga membangun industri berteknologi tinggi di Indonesia. Hal-hal tersebut menjadi sumber kekuatan pasangan muda ini menghadapi masalah-masalah.

Berkat segala prestasi yang diraih ketika Jerman, akhirnya Habibie dipanggil kembali ke Indonesia oleh pemerintah order baru guna membangun teknologi dan industri hi-tech. Namun jangan harap kita diberikan gambar tentang cara membangun pesawat, sebagaimana telah saya sampaikan dalam film ini lebih mengangkat sisi romantisme personal seorang Habibie.

Baca juga: Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata

Selain itu, karakter khas Habibie, mampu dimainkan dengan sangat piawai oleh Reza Rahardian. Seolah yang main di film ini benar-benar Habibie yang asli. Reza pun mampu membangun chemistri dengan Bunga Citra Lestari yang berperan sebagai Ainun.

Saya pun tak menutupi bahwa ada detail-detail minor dalam film ini, terutama di bagian suasana Bandung di era 60-an. Pasalnya ada sejumlah iklan yang tak relevan ketika masa itu. Hal ini juga menandakan bahwa masih ada kekurangan di industri film kita terutama untuk adegan yang menampilkan suasana masa lalu.  

Lalu riasan make up yang kurang bagus membuat Habibie tampak sedikit berbeda di beberapa bagian terutama ketika di akhir. Namun kekurangan tersebut bisa dikesampingkan lantaran kisah cinta dua insan yang sangat memukau. Pasalnya kisah cinta romantis layaknya di negeri dongeng ini benar-benar hadir di dunia nyata.

Melalui film ini saya dapat belajar bahwa kesuksesan besar di luar sana diawali dari support system yang terbangun di ruang paling kecil yang bernama pasangan. Habibie dapat merengkuh cita-citanya lewat dukungan sepenuh hati seorang istri yang tak kenal lelah mendampingi dalam berbagai kondisi.

Photo Habibie (Reza Rahardian) & Ainun (Bunga Citra Lestari) | Source Imdb.com


DoReMi & You Konflik Anak Sekolah | Source instagram doremiandyoufilm

Salah satu tantangan sineas Indonesia dalam membuat film anak terutama yang bergenre drama musikal adalah minimal/melampaui ekspetasi penonton akan film terdahulu, Petualangan Sherina. Bisa dikatakan film yang dibintangi Sherina Munaf ini telah menjadi barometer film anak di Indonesia. Meskipun begitu para sineas bukan berarti terjebak dengan satu pakem, tetapi sanggup menghadirkan kebaruan.

Menuai pujian berkat film panjang pertamanya (Ziarah), BW Purbanegara mendapatkan tantangan baru untuk menggarap film anak berjudul DoReMi & You. Baginya ini bukan kali pertama ia menggarap film anak, ia kedapati pernah membuat 2 film pendek anak berjudul Cheng Cheng Po dan Say Hello To Yellow.

Saya menilai bahwa sebagai film drama musikal remaja, DoReMi & You berhasil merefresentasikan anak remaja di Indonesia, terutama anak sekolah di Pulau Jawa. Di mana mereka mulai berkenalan dengan berbagai teman berlatarbelakang berbeda, mengikuti sejumlah ekstrakulikuler, berorganisasi, ketertarikan dengan lawan jenis hingga dihadapkan dengan masalah khas sekolahan.

Doremi & You menceritakan tentang empat orang sahabat di satu sekolah menengah pertama, yaitu Putri (Adyla Rafa Naura Ayu), Anisa (Nashwa Zahira), Markus (Toran Waibro) dan Imung (Fatih Unru) yang berusaha mengganti uang jaket ekstrakulikuler yang tidak sengaja mereka hilangkan. Untuk mengganti uang tersebut, Putri mengusulkan teman-temannya untuk mengikuti lomba musik DoReMI & You, di mana hadiahnya bisa mengganti uang yang hilang. Anisa dan Markus sebagai anak paduan suara menyetujuinya. Mereka pun menggelar latihan ala kadarnya dengan Imung sebagai pemimpin vokal.

Baca juga: Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata

Sadar akan kekurangan mereka, Putri mengusulkan untuk meminta bantuan Reno (Devano Narendra), alumni sekolah mereka yang berbakat dalam bidang musik. Namun Reno bukanlah pribadi yang baik, ia terkesan memiliki sikap angkuh. Keputusan untuk mengangkat Reno sebagai pelatih vokal malah membuat konflik diantara mereka.

Konflik yang terjadi mudah dibayangkan. Bahkan akhirnya bakal seperti apa, penonton sebenarnya bisa menebaknya. Lantaran konflik yang dihadirkan tidaklah kompleks mengingat ini adalah film anak yang ditujukan untuk semua umur. Sehingga pasti ada orang dewasa yang merasa bosan, tapi di satu sisi bakal ada yang merasa relate dengan konflik-konflik tersebut dan menikmatinya. Saya tipikal yang kedua menikmati konflik receh khas anak remaja.

Sebagai drama musikal tentu di setiap momennya hadir adegan menyanyi dan menari. Semisal diwaktu terjadi konflik terdapat lagu yang akan meredakan suasana dan membuat penonton menjadi lebih rileks. Lagu-lagunya pun dibuat dengan aransemen dan lirik yang ceria, sehingga easy listening.

Selain itu, saya tertarik dengan visual film ini yang sangat colorfull. Setiap karakter direpresentasikan lewat warna berbeda seperti Putri yang berpakaian kuning, Anisa warna biru, Imung warna hijau, Markus warna merah, dan Reno warna biru. Secara konsisten hal ini hadir dari awal hingga akhir.  

Namun satu hal yang mesti garis bawahi adalah film ini kurang mengekplore keberagaman yang hadir di sekolah. Padahal secara karakter diisi oleh berbagai suku, Putri yang berasal dari Jakarta, Anisa dari Medan, Markus dari Maluku. Keberagaman ini hanya hadir lewat logat-logat dalam dialog, andai mendapatkan porsi lebih mungkin akan menjadi lebih mengedukasi mengedukasi penonton tentang toleransi dan keberagaman.

| Source foto  instagram doremiandyoufilm

 


Tepat 24 September 2017 lalu, Bandung merayakan ulang tahunnya yang ke 207. Usia yang bisa dibilang masih sangat muda untuk ukuran sebuah kota. Meskipun begitu sudah banyak peristiwa yang dilalui oleh kota dengan sebutan Parijs van Java ini. Bandung kini tumbuh menjadi kota besar tempat semua suku dan budaya tumpah ruah.  

Kota yang dikelilingi gunung-gunung seolah tak pernah sepi dari hiruk pikuk manusia. Ada yang singgah untuk menimba ilmu, ada yang singgah untuk bekerja dan ada pula yang singgah lalu menetap untuk benar-benar menetap. Semua menjadi bagian dari Bandung dan itulah orang Bandung.

Selain itu Bandung kini menjadi kota tujuan wisata pelancong domestik dan pelancong mancanegara. Salah satu wisata yang paling digemari para pelancong adalah wisata belanja. Potensi wisata belanja ini tak datang begitu saja. Di dalam buku Braga Jantung Parijs van Java dijelaskan Bandung di medio 1920-an mulai dibangun jajaran pertokoan yang terletak di Jalan Braga. Jajaran pertokoan ini kelak akan ramai dikunjungi oleh noni dan tuan Belanda.

Cikal bakal lahirnya Jalan Braga bermula pada awal abad ke-19, yaitu seorang PreangerPleanters (tuan kebun Priangan kaya bernama Andries de Wilde menguasai tanah di hampir seluruh wilayah Kota Bandung saat ini. Ditanah miliknya, Andries de Wilde banyak membuka perkebunan, terutama perkebunan kopi. Ia pun membuat gudang penyimpanan kopi di area yang sekarang menjadi kompleks Balai Kota.

Untuk mendistribusikan kopi di gudangnya ia memerlukan jalan yang menghubungkan ke Jalan Raya Pos yang merupakan  jalan utama di Pulau Jawa saat itu. Kemudian secara bertahap jalan yang menghubungkan Jalan Raya Pos dengan gudang kopi de Wilde diperluas dan diperbaiki.

Awal mulanya jalan ini hanya jalan setapak. Namun seiring berkembangnya wilayah tersebut. Jalan  tersebut  semakin ramai dan banyak dilalui  oleh angkutan pedati yang merupakan sarana transportasi paling banyak digunakan saat itu. Sebab banyak dilalui pedati, orang-orang menyebut Jalan Pedati atau istilah Belandanya Karrenweg.

Nama Jalan Braga sendiri mulai dipergunakan pada tahun 1882. Nama Braga sendiri konon diambil dari kelompok kesenian bernama Toneelvereeniging Braga. Kelompok kesenian yang sering melangsungkan pertunjukan-pertunjukannya di Gedung Societeit Concordia atau yang kita kenal sebagai Gedung Merdeka.

Dari sanalah nama Braga terus dipakai hingga kini. Berada di tusuk sate antara Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika berdiri Toko de Vries. Toko de Vries toko berdiri paling selatan di Jalan Braga. Toko ini menjual segala macam kebutuhan sehari-hari mulai dari peralatan dapur, makanan, dan minuman, kain, sepatu, alat-alat tulis dan buku hingga obat-obatan.

Seiring berkembangnya kota, de Vries harus bersaing dengan toko-toko lain yang mulai bermunculan di sekitar Alun-alun hingga sepanjang Jalan Braga. Maka, pada dekade berikutnya de Vries tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan.       

Melangkah lebih utara Jalan Braga. Terdapat Toko A.S Roth & Co. Toko ini mempunyai cerita menarik yang berhubungan dengan julukan Kota Bandung. Sebuah tulisan mengatakan bahwa A.S Roth sebagai pemilik toko adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah “Parijs van Java” untuk mempromosikan produk jualannya di pasar malam  tahunan Jaarbeurs 1920. Konon setelah peristiwa tersebut, Bosscha sering mengutip istilah ini dalam berbagai kesempatan sehingga menjadi popular sebagai julukan Bandung hingga kini.

Citra Bandung sebagai Parijs van Java semakin dikuatkan, karena di medio tersebut ada toko Au Bon Marche  Modemagajizn yang sangat terkenal sebagai toko mode terkemuka. Mode pakaian yang dijual di toko ini berkiblat pada trend mode di Paris. Maka tak ayal membuat Kota Bandung semakin kental dengan aroma Paris.

Selain terdapat pertokoan yang menjual pakaian. Di lintasan Braga pun terdapat restoran yang terkemuka saat itu, yakni Maison Bogerijen. Kafe-restoran ini memiliki bangunan bergaya rumah tradisional Eropa yang megah.

Restoran ini menjadi restoran paling elit seantero kota. Konon restoran ini mendapat piagam-restu langsung dari Ratu Belanda. Terdapat kalimat “Hofleverancier van h.m de Koningin der Nederlanden en Zijne Exellentie G.G. van Ned. Indie” dalam iklan Maison Bogerijen. Ini menunjukan bahwa Kerajaan Belanda dan Gubernur Jendralnya di Hindia Belanda berlanggan pada restoran ini. Maka tak heran jika Maison Bogerijen menjadi satu-satunya restoran yang diizinkan untuk menyajikan hidangan istimewa khas kerajaan seperti Koningin Emma Taart dan Wilhemina Taart yang tidak bisa dijumpai disembarang tempat.

Kini tak bisa lagi menjumpai bangunan tradisional Eropa tersebut, karena  di tahun 1960-an bangunan ini dipugar. Selanjutnya dilanjutkan oleh restoran Braga Permai yang merupakan terusan dari Maison Bogerijen. Namun Braga Permai masih mempertahankan beberapa panganan ringan dengan resep tempo dulu.  
Baca juga: Borges dan Cerpen Realism Magicnya
Wajah Jalan Braga sudah banyak mengalami perubahan. Beberapa bangunan sudah tergantikan dengan bangunan yang lebih baru. Hanya tinggal beberapa saja yang masih meninggalkan gaya arsitektur era kolonial.   

Membaca buku Braga Parijs van Java karya Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha akan membawa kita menyelami kejayaan Jalan Braga di masa lalu. Selain itu lewat buku ini kita dapat melihat, menelusuri dan mempelajari mengenai pengelolaan sebuah kota. Bagaimana sebuah kota dibangun dengan jajaran pertokoan yang rapi, asri dan nyaman.

Jalan Braga kini tetap mempesona walau sudah melewati masa kejayaannya. Peninggalan-peninggalan sejarah di sepanjang Jalan Braga sudah seharusnya kita jaga bersama. Peninggalan sejarah tersebut merupakan artefak yang mengingatkan bahwa Bandung telah melewati sejarah panjang. Sejarah panjang itu menjadi identitas untuk mengembangkan Kota Bandung menjadi lebih maju.


Mungkin dari sebagian kita tak dapat membayangkan suasana surga seperti apa. Pergi jauh ke puluhan tahun lalu seseorang dari Amerika Latin telah membayangkan bahwa surga itu serupa perpustakaan. Anggapan itu ia ambil, dengan alasan karena ia selalu merasa sangat bahagia ketika menghabiskan waktu di sana. Orang itu bernama Jose Luis Borges.

Carlos Funtes pernah berkata “Tanpa Borges, novel Amerka Latin modern sama sekali takkan pernah ada. Wajar saja, ia bisa berkata seperti itu, karena bisa dikatakan bahwa Borges merupakan tonggak awal lahirnya sastra genre realism magis. Borges sangat piawai untuk membawa si pembaca lebih dekat dengan narasi metafisis yang hadir secara literal.

Ia pun lihai meramu cerita kehidupan masa kini dengan kejadian-kejadian yang terjadi masa lampau. Bahkan nama-nama besar seperti Gabriel Garcia Marquez, Carlos funtes, Jose Denoso dan Mario vargas Llosa, mengakui bahwa mereka banyak berhutang kepada Jorge Luis Borges.

Salah satu kepiawaian dia bisa dilihat dari karya-karya yang telah diterbitkan. Salah satu penerbit dari Kota Yogyakarta yakni Penerbit Gambang Buku Budaya telah menerbitkan kumpulan cerpen dari Borges yang diberi judul Parabel Cervantes dan Don Quixote.

Kumpulan cerpen karya Borges pada buku Parabel Cervantes dan Don Quixote Borges, sudah di terjemahkan oleh Lutfi Mardiansyah. Dan tentu menerjemahkan suatu karya yang telah besar lebih dahulu, merupakan pekerjaan berat dan juga menantang. Bagaimana si penerjemah harus tetap bisa menjaga setiap kata demi kata agar tetap utuh untuk disampaikan pada si pembaca.

Berisi dua puluh cerpen yang dirasa cukup memadai untuk membaca Borges secara utuh. Cerpen-cerpen pada buku ini bervariasi mulai yang panjang sampai yang berbentuk fabel, namun semua cerpen tersebut masih dalam nuansa yang sama, yakni realism magis.

Pemilihan judul “Parabel Cervantes dan Don Quixote”, diambil dari isi judul cerpen dalam buku ini. Cerpen yang berjumlah enam paragraf. Mengisahkan pertemuan dua tokoh, yakni tokoh rekayasa (Don Quixote) dengan pengarangnya sendiri, Miguel de Cervantes.

Berawal sebelum kematian Don Quixote, ia bertemu dengan Cervantes di Spanyol. Kedua tokoh memiliki kesamaan yakni sama-sama pemimpi. Hingga keduanya pun meramalkan bahwa mereka akan dikenang oleh orang banyak. Dan benar saja, novel Don Quixte yang berlatar Andalusia (Spanyol) menjadi novel utama di Spanyol. Bahkan nama Don Quixite diabadikan menjadi nama jalan dan sebuah Bandar udara di Spanyol.

Yang menarik dari cerpen tersebut adalah bagaimana cara Borges untuk mempertemukan dua tokoh fiktif dengan tokoh nyata. Kedua tokoh ini saling berbicara seolah-olah kedua tokoh tersebut berada dalam dunia yang sama. Bahkan pembaca akan beranggapan bahwa kedua tokoh tersebut memang diceritakan diwaktu bersamaan.     

Selain dapat menjumpai cerita yang mengkolaborasikan tokoh-tokoh dunia nyata dengan tokoh fiktif. Buku ini terdapat beberapa cerita yang berisi makhluk-makhluk mitologi. Pada buku ini juga terdapat makhluk-makluh mitologi. Simurgh, Bahamut dan Burak.

Dalam cerpen berjudul Simurg (hal.97-100), Borges menggambarkan Simurgh dari beberapa sumber. Pertama Simurgh adalah burung abadi yang bersarang di cabang-cabang pohon pengetahuan; Burton membandingkannya dengan burung elang yang, menurut Younger Edda, memiliki pengetahuan tentang berbagai macam hal dan membuat sarangnya di cabang-cabang Pohon Dunia, yakni Yggdrasil.

Kemudian menurut Thalab (1801) karya Southey dan Templation of Saint Anthony (1874) karya Flaubert, keduanya membicarakan tentang Simorg Anka; Flaubert mereduksi kedudukan burung tersebut menjadi pengawal Ratu Sheba, dan menggambarkan memiliki bulu berwarna orange yang tampak seperti sisik metalik, kepala kecil berwarna keperakan dengan wajah manusia, empat sayap, sangat panjang.
Baca juga: Kebusukan dan Kemegahan Proyek
Dari cerpen Simurgh kita bisa melihat bagaimana cara pandang  dan cara bercerita Borges terhadap makhluk mitologi. Makhluk tersebut digambarkan seolah begitu nyata dan dekat dengan kita, mungkin setelah membaca tulisan tersebut, kita akan merasa bahwa makhluk tersebut berada benar-benar berada di sekitar kita. Selain itu, ada juga kisah fantasi sebuah kitab, yang ia sebut “Kita Pasir” (hal. 71-80)

Selain kedua cerpen tersebut, masih ada delapan belas cerpen lainnya yang tak kalah menarik. Hampir semua cerpen dibuku ini menyajikan cerita-cerita atau kejadian-kejadian zaman dahulu yang dihubungkan dengan kejadian sekarang, ataupun penggabungan dari berbagai literatur dunia. Borges pun sangat piawai untuk menyajikan setiap ceritanya, sehingga anda tak akan merasakan bosan atau merasa janggal pada setiap cerita yang disajikan.

Keunikan dalam cerpen-cerpen Borges ialah ia menciptakan sebuah alur cerita yang dirangkai dari ensiklopedia, indeks-indeks catatan, berbagai literatur dunia yang ia baca. Maka ketika pertama kali saya membaca cerpen Borges saya harus banyak membuka ensiklopedia ataupun berbagai sumber lainnya, hanya untuk sekedar memastikan. Namun itu tak mempengaruhi keasikan membaca cerpen Borges, malah menjadikan kelebihan dari cerpen-cerpen Borges.

Dengan realism magis yang dibawanya, ia telah mampu berjalan lebih jauh dari karya-karyanya, memfiksikan yang nyata dan menyatakan yang fiksi. Sebab menurutnya, manusia tidak sekedar mampu menghadirkan kisah fiktif tetapi manusia juga tokoh fiktif di dunia. Ia juga mampu menghadirkan suatu ketajaman analitis, perenungan yang tinggi terhadap realitas.  

Walaupun buku ini hanya berisi dua puluh cerpen karya Borges. Namun pemilihan setiap cerpen mampu memberikan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai Jorge Luis Borges. Sehingga buku ini layak untuk kalian para penikmat realism magis atau kalian yang mau berkenalan lebih jauh dengan Borges. Maka memang tak salah lagi kalo Borges dinobatkan sebagai bapak realism magis dari Amerika Latin

Selamat membaca kawan, selamat berfantasi bersama Borges.

Berbicara mengenai film “Room” karya Lenny Abrahamson memang tak akan ada habisnya. Berbagai penghargaan didapatkan oleh film ini sebutkan saja nominasi Best Picture, Best Director, Best Adapted Screenplay dan Best Actress Oscar . Film ini sendiri diadaptasi dari sebuah novel best seller karya Emma Donoghue. Room sendiri bercerita mengenai kehidupan Ma dan anaknya Jack yang disekap dalam sebuah ruangan selama bertahun-tahun.

Mendengar judulnya seketika saya teringat dengan kekuatan yang di miliki Trafalgar D. Water Law didalam serial anime One Piece. Kekuatan yang ia dapat setelah memakan buah ope-ope no mi. Yakni jurus yang dinamakan Room: Membuat sebuah ruang bola disekitar targetnya, dimana ia dapat memanipulasi apapun yang ia inginkan dalam berbagai cara.

Ketika si target sudah berada di dalam ruangan yang berbentuk setengah bola ini. Mereka tidak bisa keluar begitu saja. Mereka akan terperangkap disana selama si pembuat jurus menghendaki. Mereka harus rela menyerahkan nasib mereka di tangan si empunya jurus. Sebuah jurus yang cukup mengerikan dan terbukti ampuh ketika melawan pasukan dari angkatan laut. 
Baca Juga: Larut Dalam Sebuah Film Drama
Namun Ma dan Jack ini tidak sedang terjebak dalam room yang dibuat Trafalgal Law, tetapi ia terjebak di sebuah ruangan sempit ulah dari bajingan yang biasa dipanggil Old Nick oleh Ma. Ruangan yang sebenarnya sebuah gudang belakang ini hanya dilengkapi satu lubang kecil sebagai masuknya cahaya. Sama seperti para musuh Law, Ma dan jack tak bisa keluar begitu saja dari ruangan tersebut.  

Ma sendiri bisa tersekap di gudang karena ia diculik oleh Nick ketika berusia 17 tahun. Ia dikelabui untuk membantu Nick mencari anjingnya yang hilang, tapi sebenarnya Nick tidak mempunyai seekor anjingpun. Kemudian ia dibawa ke rumah Nick dan mulai di sekap di sebuah gudang.

Semenjak disekap Ma selalu mendapatkan perlakuan yang kasar, ia pun diperkosa berkali-kali oleh Nick. Hingga lahirlah seorang anak bernama Jack. Ia diperbolehkan mengurus dan membesarkan Jack tetapi harus dibesarkan di ruang sempit itu.  Maka dapat dikatakan Jack sama sekali tak pernah mengenal dunia luar. Ma pun harus berjuang sendirian mengajarkan apa yang bisa dia ajar kepada Jack, menceritakan cerita yang bisa dimengerti oleh Jack, agar Jack tetap merasa ceria, sehat seperti anak seumurannya.

Semua kebutuhan Ma dan Jack di penuhi dengan seadanya oleh Old Nick. Namun itu saja tak cukup, karena yang paling mereka butuhkan adalah sebuah kebebasan. Namun Nick telah merampas kebebasan itu. Terlebih Ma yang pernah merasakan apa yang namanya kebebasan, pasti tahu betul rasanya hidup bebas. Sedangkan bagi Jack yang lahir dan tumbuh di sana, tidak tahu arti kebebasan, karena yang ia tahu adalah ibunya, perabotan diruangannya, dan tembok yang membatasi mereka.
Bak katak dalam tempurung, Jack hanya tahu dunia itu sebesar ruangan kamar mereka, yang bisa di sentuh bolak-balik ujung satu ke ujung lainnya. Jack tidak tahu bahwa di luar sana ada dunia yang lebih indah dan dapat memberikan pengalaman baru.

Untunglah Ma menyadari itu, sehingga Ma mencari siasat guna memberikan kebebasan yang belum dikenal oleh Jack. Walaupun kebebasan ini harus mengorbankan dirinya sendiri. Hingga suatu saat, ketika Nick mematikan listrik untuk ruangan mereka selama dua hari berturut-turut. Ma mempunyai ide untuk membuat Jack seolah-olah mati kedinginan akibat Nick mematikan pasokan listrik ke meraka. Dengan mengatakan bahwa Jack telah mati diharapkan Jack bisa dibawa keluar oleh Nick dari ruangan itu dan melarikan diri untuk melapor ke kepolisian sesuai yang instruksi yang telah diberikan Ma.

Akhirnya siasat itu berhasil dijalankan walaupun tak semulus rencana. Hingga polisi menemukan Jack, dan Jack dengan banyak ketakutannya dengan orang-orang yang ia temui, menceritakan singkat-singkat apa yang ia alami kepada polisi. Maklum saja Jack saat itu hanya mengenal manusia itu adalah dirinya dan ibunya, dan yang lainnya tak nyata. Akhirnya polisi menemukan gudang itu dan Ma bisa ikut dibebaskan.

Selepas keluar dari penyekapan tersebut. Jack merasakan dunia luar terasa aneh baginya. Butuh waktu dan pendekatan agar Jack bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Terlebih ibunya yang biasa selalu dekat dengan dia terasa semakin menjauh darinya.

Ma memang kelihatan yang paling depresi dari kejadian ini. Setelah keluar dari penyekapan itu Ma jadi sosok yang pemarah, sangat sensitif. Bukan tanpa sebab, ia merasa selama dipenyekapan ibunya tak pernah mencari dia dan mereka tak peduli dengan keberadaannya. Ditambah juga ibunya yang ternyata sudah berpisah dengan ayahnya menambah beban dari Ma.

Bukan itu saja, Ma harus mendapat tekanan dari orang-orang dan para pencari berita yang ingin mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa mereka. Namun lambat laun berkat bantuan orang-orang terdekat terutama Jack, Ma mulai bisa melewati itu semua. Hingga akhirnya Ma dan Jack bisa hidup normal bersama.

Photo Credit to dailynewsservice.co.uk



Film bergenre drama tak jarang hanya membuat penonton mengantuk dan menguap lebih sering. Karena dalam film drama kamu tak akan menemukan efek animasi mutakhir, yang akan melahirkan kata wah dari mulutmu. Ini sudah dibuktikan oleh teman saya. Sebut saja namanya Juned. Ia selalu mengantuk dan mengantuk ketika disuguhkan film bergenre drama.

Memang bukan salah Juned. Salahkan saja mereka yang menonton film di bioskop hanya untuk bermesraan. Dalam menggarap film bergenre drama diperlukan sutradara handal. Seorang sutradara yang mampu meracik sebuah cerita yang dikolaborasikan dengan kepiawaian yang ia miliki guna menghasilkan sebuah mahakarya. Ia harus bisa membuat sebuah alur cerita dari detik pertama ke detik berikutnya semakin dalam, semakin dalam, semakin dalam, hingga penonton larut ke dalam film tersebut.

Hingga saat ini yang berhasil membuat saya meneteskan air mata hanya film Titanic. Selebihnya mata saya hanya berkaca-kaca padahal mata saya tak sedikitpun terbuat dari kaca.

Jika melihat dari setiap unsur pembentuknya, film termasuk kedalam sebuah karya seni. Sebuah karya seni yang paling rumit menggabungkan visual, verbal dan penceritaan yang begitu kompleks. Dan bisa dikatakan film adalah karya seni yang paling mendekati realitas. Karena film merupakan representasi dari dunia nyata.

Ngobrolin tentang film tak lengkap jika tidak sambil ngopi. Maka dari itu ambil dulu sana kopimu biar ga ngantuk kaya Juned. Seperti biasa, setiap selasa di Kedai Prenger memutarkan film-film anti mainstream. Setelah seminggu sebelumnya memutarkan film No One Knows About Persian Cats karya Bahman Ghobadi, kini karya ia kembali di putar dengan judul Turtle Can fly.  
 

Turtle Can Fly sendiri sebuah film yang menceritakan kehidupan kaum kurdi terutama anak-anak yang kehilangan orang tua mereka akibat perang yang terjadi antar pihak Saddam Hussein dengan tentara Amerika. Berlatar lokasi pengungsian yang terletak di perbatasan Irak-Iran. Dimana lokasi tersebut dikelilingi ranjau darat milik Amerika.

Sebuah perjuangan hidup dilakoni anak-anak yang harus menanggung beban layaknya orang dewasa. Di usianya yang masih belia mereka dipaksa untuk bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Mereka bertahan hidup dengan mengumpulkan ranjau darat dan menjualnya. Tak jarang mereka harus kehilangan anggota tubuhnya ketika bertugas mencari ranjau.

Tak hanya itu saja yang menjadi sorotan di film ini. Film ini menyoroti bagaimana kehidupan seorang anak perempuan yang harus menanggung beban moril dan membesarkan anak. Seorang anak yang bukan adiknya tapi seorang anak yang lahir dari rahim ia sendiri.  Setelah si gadis kehilangan orang tuanya ia diperkosa hingga melahirkan seorang anak yang kini ia besarkan.

Dalam film ini kita bisa melihat sisi lain kehidupan yang terjadi akibat suatu perang. Dimana dentumanan peluru, dahsyatnya ledakan bom tak pernah terlihat lebih hebat dari perjuangan hidup anak-anak korban perang.     

Perang hanya menyisakan duka bagi rakyat kecil dan memberikan kesenangan bagi orang besar. Meminjam kata-kata dari George Orwell : Semua propaganda perang, semua teriakan dan kebohongan dan kebencian, datang selalu dari orang-orang yang tidak berkelahi.



Photo Credit to riff.is
Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes