Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Pantai Santolo, Garut, Jabar./Dok Rulfhi Alimudin

Pantai Santolo salah satu tempat wisata yang sering dijadikan destinasi liburan masyarakat Bandung Raya. Namun sayang, Pantai Santolo ini berada di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat memiliki sejumlah kelemahan yang harus diperbaiki. 


Bagi yang belum tahu, Pantai Santolo bisa ditempuh dari Bandung melalui sejumlah jalur di antaranya via Garut Kota, dan Pangelangan. Jalur terakhir ini sering dijadikan jalur alternatif dan favorit bagi masyarakat Bandung Raya yang hendak ke Pantai Santolo. Pasalnya jarak tempuh jalur ini relatif pendek dibanding harus ke Garut Kota. Jika menggunakan jalur Pangalengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam dengan memakai sepeda motor.


Sekitar dua minggu lalu pun saya berwisata ke Pantai Santolo. Saya menggunakan jalur Pangelangan-Cisewu-Rancabuaya-Santolo. Saya ke sana dengan tiga orang kawan memakai sepeda motor masing-masing. 


Baca Juga: 3 Objek Eksotis Jalur Kereta Api Lokal Siliwangi Relasi Sukabumi-Cipatat


Ini bukan kali pertama saya mengunjungi Pantai Santolo. Saya tak ingat sudah berapa kali, tapi yang pasti sudah lebih dari lima kali kunjungan. 


Dari banyaknya kunjungan ini tentu saya bisa mengukur apakah Pantai Santolo ini terus berkembang atau stagnan. 


Saya pikir Pantai Santolo ini berada di fase stagnan. Saya akan membeberkan apa saja yang harus diperbaki agar Pantai Santolo semakin maju dan tidak menjadi pantai wisata nomor sekian setelah pangandaran.


Tiket

Dari sepeninjaun saya mengunjungi tempat wisata di Jawa Barat, urusan tiket atau karcis menjadi masalah klasik. Terutama ketika tempat wisata dikelola swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat tertentu. 


Harga tiket terkadang tak menentu dan bisa saja melonjak di momen-momen tertentu, terutama ketika musim liburan. 

Saya membayar karcis Rp20 ribu untuk satu orang beserta sepeda motor ketika masuk gerbang kawasan Pantai Santolo.


Saya merasa tiket seharga Rp20 ribu itu terlalu mahal untuk Pantai wisata yang minim fasilitas publik. Semisal ada area parkir yang tertata, area duduk santai menikmati birunya laut. 


Penginapan

Tak ada yang berubah dari segi penginapan sejak terakhir saya ke sini. Penginapan masih dimiliki masyarakat lokal. Tentu ini kabar baik karena karena bisa mensejahterakan warga lokal.


Namun cara masyarakat lokal menawarkan penginapan perlu diperbaiki. Pemasaran penginapan dilakukan secara door to door ke para pelancong. Bahkan ketika sampai di gerbang, saya sudah ditawari oleh pria yang mengaku memiliki penginapan.


Saya sebenarnya cukup risih dengan penawaran yang todong seperti ini. Saya berharap penginapan di Pantai Santolo tersedia pilihan secara daring sehingga saya bisa leluasa memilih fasilitas yang diinginkan.


Pasalnya saya kerap menemukan fasilitas penginapan yang hanya menjadi aksesoris seperti tv tidak menyala, ac tidak ada remotenya. Selain itu booking secara daring meminimalisir pelancong kehabisan penginapan.  


ATM 

Sangat disayang rasanya sebuah tempat wisata tidak memiliki gallery atm bank-bank negeri dan swasta di Indonesia. Padahal menurut saya kehadiran ATM disebuah tempat wisata tergolong penting. 


Pasalnya pasti ada satu momen pelancong harus menarik uang tunai untuk keperluan membeli buah tangan. Jika tidak memungkinkan untuk menghadirkan ATM, maka opsi pembayaran virtual superti Qris, OVO, Gopay patut dipertimbangkan. 


Baca Juga: Taman Bunga Indah Sindangsari, Spot Wisata Anyar di Paseh 


Dari ketiga hal tersebut saya pun berpikir bahwa ternyata pengelolaan wisata yang dilakukan secara swakelola oleh masyarakat cenderung lambat. Baik dari segi fasilitas, pelayanan hingga lainnya. 


Saya pikir seharusnya pemerintah mulai rajin menggelar edukasi pengelolaan wisata terutama di daerah-daerah seperti di Pantai Santolo ini. Semoga saja kunjungan berikutnya telah ada yang diperbaiki dari Pantai Santolo dan bisa bersaing dengan Pantai Pangandaran.





Berbuatlah Untuk Bumi Kita
Photo Credit to komunitasaleut
Bumi yang kita tinggali ini sudah tak muda lagi kan? Dan saya rasa jawaban Anda akan setuju dengan saya. Bumi ini sudah ditinggali ratusan generasi, baik oleh dinosaurus, manusia purba ataupun makhluk lainnya hingga sampai di masa sekarang ditempati oleh manusia kaum milenial.  

Semakin tua usia maka akan rentang sekali dengan berbagai penyakit. Terlebih jika tidak bisa menjaga kondisi agar tetap prima. Tentunya bumi telah diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan untuk menjaga kondisinya tetap seimbang yang disebut daya dukung lingkungan. Kemampuan yang sudah cukup untuk menjalankan semua kehidupan berjalan sesuai ketentuannya.

Tetapi lambat laun kemampuan bumi itu berkurang secara “paksa”. Salah satu faktor yang paling mempengaruhinya adalah keberadaan manusia. Manusia mengolah setiap sumber daya alam yang tersedia dengan rakus. Semua di gunakan tanpa memikirkan untuk dikembalikan kealam sebagai penyeimbang. Sehingga secara perlahan bumi yang sedang pijak mengalami ketimpangan ekosistem.

Manusia yang sebenarnya di daulat Tuhan menjadi khilafah, seorang pemimpin yang bertugas menjaga agar semua tetap seimbang dan berjalan sebagai mana mestinya. Malah menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat kerusakan di bumi.  

Berbicara mengenai alam kebetulan minggu kemaren saya berkesempatan untuk momotoran bersama Komunitas Aleut untuk mengunjungi sebuah gunung di daerah Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta. Gunung Hejo namanya. 

Jika kalian dari Jakarta hendak ke Bandung melewati tol Cipularang kalian bisa melihatnya di sebelah kiri jalan tol. Akan terlihat sebuah bukit yang masih rimbun dengan pepohonan, tampak dari jauh warna hijau yang menyejukan mata.  
Baca Juga: Hari Pohon Sedunia
Bukit ini salah satu bukit yang masih bertahan dari sekian banyak bukit di Jawa Barat. Banyak bukit lainnya yang telah habis atas nama pembangunan, baik ditebangi maupun diambil pasir dan tanahnya. Tetapi Gunung Hejo masih bertahan dari serbuan itu semua. 

Konon yang membuat Gunung Hejo masih tetap asri karena bukit ini tempat/petilasan Prabu  Siliwangi dan Kian Santang. Sehingga tempat ini sangat dikeramatkan yang membuat bukit ini tetap perawan. Karena orang-orang takut untuk membuat kerusakan ditempat yang dianggap bertuah dan suci. 

Bahkan seorang kawan saya yang ahli tumbuhan mencatat ada sekitar 137 spesies tumbuhan yang ditemukan di Gunung Hejo. Seperti pohon Baduyut, Tepus, Kawao, Tereup dan masih banyak lagi tumbuh secara aman disini. Lihat betapa kaya aneka spesies tumbuhan yang hidup ditanah air kita yang subur. Ini baru satu bukit saja, belum lagi bukit atau gunung lainnya yang mungkin dapat ditemukan spesies baru. Andai saja kita bisa memaksimalkan ini secara bijak mungkin negara kita akan sangat maju dalam bidang botani.
Balik lagi mengenai bumi, apa kalian tahu bahwa bentar lagi ada peringatan hari bumi internasional?

Pada tanggal 22 April lalu merupakan hari Bumi sedunia. Dimana awal mula adanya peringatan hari bumi ini bertujuan meningkatkan kesadaran ,manusia untuk menjaga bumi yang ditinggali ini. Dicanangkan oleh Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada tahun 1970 seorang pengajar lingkungan hidup. 

Sebenarnya hari bumi sebagai ceremonial atau peringatan saja agar kita selalu ingat bahwa tugas kita untuk menjaga bumi. Yang lebih penting adalah perilaku kita sehari-hari untuk menjaga bumi baik dari langkah kecil ataupun langkah besar. Jangan sampai menunggu alam marah baru kita berusaha menjaganya. 

Maka ayo tunjukan aksi nyata untuk bumi yang kita tinggali ini atau mau nunggu tempatnya dikeramatkan aja biar tetap terjaga alamnya. 





“Aduh lemes gini cung, padahal udah jam makan siang tapi makanan tak kunjung datang” kata Berlin
“Santai aja Lin, disini udah biasa kaya gini, berdoa saja semoga kita bisa makan hari ini” timpal Acung
“Padahal ditempat saya dulu tinggal, makanan selalu sedia tempat waktu, ehm saya terdampar ke tempat yang salah sepertinya” balas Berlin
“Yah itukan di Jerman, dimana semua dikelola dengan professional, kalo disini yah gini-gini aja, makanya saya suka minta-minta sama pengunjung daripada kelaparan” cetus Acung
“yoyoyo saya ngerti perasaan kamu Cung, yang sabarnya nampaknya saya juga akan bernasib seperti kamu” Kata Berlin
***
Percakapan imajiner antara Acung dan Berlin ini merupakan percakapan yang saya ramalkan ketika saya melihat sepasang Si Amang di kandang usang, yang sedang berlehe-lehe berdua di Kebun Binatang Bandung.

Saya kembali menginjakan kaki di kebun binatang Bandung setelah 18 tahun yang lalu saya kesini. Dulu sekitar tahun 90han kebun binatang Bandung menjadi salah satu temoat favorit untuk liburan, terutama bagi anak-anak setelah taman lalu lintas tentunya.  Saya kembali ke kebun binatang bukan untuk bernostalgia atau jadi dokter hewan tapi saya kesini atas prakarsya adik saya yang berusia 5 tahun yang ngotot pengen pergi ke kebun binatang setelah mendengar cerita teman bermainnya menceritakan kebun binatang dan ia jadi kesesem pengen pergi kesana.

Saya pun tak bisa menolak ajakan adik saya, akhirnya saya sekeluargapun pergi kesana untuk sekedar menghabiskan akhir pekan bersama. Saya nyampe disana sekitar pukul 11. Saya memakirkan kendaraan di gerbang baru di dekat pasar seni ITB, selintas dalam pikiran saya, akan banyak perubahan yang terjadi terhadap kebun binatang ini. Karena kalo melihat harga tiketpun bisa dibilang mahal jika dibandingkan dengan tiket Kebun Binatang Ragunan. Jadi sudah tentunya fasilitas dan pelayanannya seharusnya jadilebih baik toh.

Pertama kali masuk adik saya langsung mengajak saya untuk mencari gajah. Maklum saja ia jadi fans berat gajah setelah saya perkenalkan pada sosok gajah merah imut yang bernama Bona di serial majalah bobo. Kurang lengkapnya petunjuk lokasi membuat saya harus berputar-putar terlebih dahulu ditambah saya tak bersama Dora yang rajin membawa peta membuat kebingungan saya bertambah bingung. Selama saya melakukan pencarian kandang gajah, nampak kandang-kandang yang saya lewati tak berpenghuni bagaikan rumah yang akan terkena sita saja. Adapun saya menemukan kandang berpenghuni yang dimiliki sang bapa alligator, hewan yang dikenal diam-diam dan buas diair ini. Tapi tak tercermin sedikitpun oleh alligator di depan saya, malah yang Nampak dan jelas terlihat adalah sosok alligator yang terlihat tua, murung dan tak bernafsu sama sekali. Kedua saya menemukan kandang burung dan monyet dengan kondisi yang cukup memprihatinkan, teralis besinya mulai berkarat dimana-mana. Selama saya berkeliling tak satu pun saya dapat menemukan petugas disana yang berjaga atau berbagi senyum. Setelah bercucuran keringat dan menghabiskan tenaga untuk berjalan kaki sekitar 696 langkah saya dipertemukan dengan apa yang saya cari. Tapi kandang gajah yang saya cari telah berubah, kini telah disulap menjadi tempat orang-orang mengganjel perut. Akhirnya saya beranikan diri bertanya pada mbak-mbak eskrim paddle pop, saya ditunjukan bahwa gajah telah berpindah ke ujung sana. Dan benar saja kini kandang gajah jadi suasana outdoor, beralaskan tanah beratap langit.

Mengingat kebun binatang Bandung, saya selalu teringat kenangan dengan wahana tunggang, seperti menunggang gajah atau unta, lalu ketika naik saya akan diphoto oleh kamera analog yang masih menggunakan film. Tapi itu tak bisa dirasakan lagi mengingat gajah atau unta disana sudah uzur dan tak ada regenerasi. 18 tahun yang lalu dengan sekarang kebun binatang bandung rasanya seperti berjalan ditempat atau mungkin lebih tepatnya berjalan mundur. Nampaknya perkembangan ilmu teknologi di jaman modern tak pernah singgah di kebun binatang Bandung. Tak banyak binatang yang bisa dikembang biakan atau di konservasi ditempat ini, seolah binatang yang ada disini hanya menunggu tua ditempat usang penuh kotoran mereka sendiri. Hanya ada satu yang masih sama hingga kini, yakni tempat ini menjadi tempat botram keluarga yang enakeun di bawah teduhnya pohon. [Up1]    


Pohon terbesar di dunia

Banyak sebagian orang mungkin belum mengetahui bahwa hari ini tanggal 21 November adalah hari pohon sedunia. Entah karena ga tercantum dikalender dan ga jadi tanggal merah makanya orang-orang jarang mengetahuinya.
Gue sempat berpikir kenpa sih penyebabnya sampai ada hari pohon sedunia? Lalu gue coba cari jawabannya dengan nanya sama mbah Google, Pencarian pun dilakukan dan ternyata tujuan dari diperingatinya hari pohon sedunia  adalah untuk mengingatkan kembali umat manusia bahwa peran besarnya sebuah pohon demi kelangsungan umat manusia ini, karena hanya pohonlah yang bisa menyediakan oksigen untuk kita bernafas dan menyerap karbondioksida. Bayangkan kalo di masa depan ga ada pohon mungkin bisa jadi kita saling berebut hanya untuk bisa bernafas. Gue pun merenung sebentar seketika gue ingat sama filmnya Avatar, di Avatar ini sangat menghargainya  pohon itu terlihat dengan adanya pohon kehidupan dan keterjagaan ekosistemnya. Berbeda sekali dengan sekarang  banyak ribuan hectare hutan yang beralih fungsi dan tanpa memikirkan keseimbangan alam.

Apasih penyebabnya orang susah untuk menanam pohon, sebenarnya kalo dipikir-pikir menanam pohon itu mudah, yang susah itu adalah bagaimana kita konsisten dalam menjaga agar pohon itu bisa tumbuh sampai besar. Ada juga  kalimat yang bisa kita jadikan sebuah renungan ‘’Janganlah kamu merusak pohon bila kamu belum mampu untuk  menanamnya’’ . Semoga Hari Pohon sedunia ini bukan hanya sekedar ceremonial belaka tapi harus ada langkah nyata guna bumi kita yang kita pijak ini tetap hijau dan anak cucu kita masih bisa menikmati keindahannya.
Home

Postingan Populer

  • Cara Pasang Grip Karet Raket Lining Asli
  • Cara Cek Raket Lining Asli atau Palsu?
  • 3 Tips Menerobos Banjir Bagi Sepeda Motor Matik dan Bebek, Syarat dan Ketentuan Berlaku
  • Jelajahi Villa Isola Dalam Satu Babak
  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog Archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes