Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut. Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.

Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.

Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java 

Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000 gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua, coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek bernama C.P. W Schoemaker.

Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola. Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.

Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.

Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau hanya ornamen.

Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal. Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung Tangkuban Perahu.

Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja. Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi salah satu bangunan cagar budaya ini.

Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So berharap dulu sambil berusaha.

Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan. 





Mendekati hari raya lebaran, kami sekeluarga hampir selalu mendapatkan kiriman sarung. Entah itu dari rekan kerja ayah atau dari saudara yang kebetulan menggeluti usaha tekstil khususnya kain sarung. Mayoritas sarung yang kami terima bukanlah brand terkenal tapi sebuah brand lokal atau indie.

Kain sarung itu berasal dari Majalaya, sebuah wilayah di Bandung Selatan, secara administratif termasuk ke Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sangat mudah untuk mengenali kain sarung indie Majalaya. Motifnya monoton kotak-kotak atau perpaduan lurik horizontal-vertikal, serat benangnya cendrung kasar dan bila diajak tidur akan mudah berbulu. 

Saya tentu bersyukur atas Tunjangan Hari Raya (THR) berupa kain sarung. Pasalnya saya bisa mengalokasi dana yang tadinya untuk beli sarung ke sektor lain seperti beli sendal Fila atau Bata. Saya pun tak sungkan untuk memanjangkan mata rantai pahala si pemberi sarung. Andai sarung yang saya terima terlampau banyak, saya akan menyalurkannya lagi kepada kerabat yang datang ke rumah, dengan begitu semakin banyak kebaikan yang mengalir untuk kamu, saya, dan si pemberi sarung.

Namun ada anggapan bahwa tak elok bila barang pemberian dari orang malah di kasih lagi ke orang lain. Nanti dikira tak tahu terima kasih, saya paham dengan hal itu, tapi itu hanya persepsi sosial yang kadang bikin kita gagap. Patut diketahui bahwa kita perlu menimbangkan keberdayaan nilai sebuah barang daripada rasa tidak enak. Jika barang itu bisa berguna lebih banyak bagi orang lain kenapa tidak dikasih saja. 

Kembali ke sarung, saya dan barang ini bagai kerabat dekat. Alasannya bukan karena saya santri dan sering pakai sarung untuk shalat, tapi saya tumbuh dan besar di daerah Majalaya, di mana salah satu sentra produksi kain sarung di Indonesia. Saya masih ingat bagaimana deru mesin tekstil yang meruntuhkan kotoran di telinga, bau pewarna kain yang menyengat ke hidung hingga kain sarung yang menjadi sumber penghidupan masyarakat banyak termasuk saya.

Berbicara perkembangan kain sarung di Indonesia. Mau tidak mau harus menyinggung Majalaya. Sebagaimana dilansir dari wawasansejarah.com, pada tahun 1929 pabrik tenun besar untuk pertama kalinya didirikan di Majalaya. Pabrik itu memiliki 30 alat tenun. Alat tenun yang digunakan saat itu ialah produksi Institut Tekstil Bandung (TIB) yang didirikan G. Dalenoord pada tahun 1922.

Geliat laju tekstil di Majalaya mengalami perkembangan naik turun, mengingat saat itu sektor ini masih dipandang sebelah mata dibandingkan sektor perkebunan yang menjadi komoditas utama. Memasuki awal 1940-an, para penguasa Tionghoa mulai merambah ke bisnis ini.

Namun jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang pada tahun 1942 membuat industri tekstil mengalami kemunduran. Para pengusaha saat itu dipaksa untuk memproduksi karung gunny dibanding kain sarung yang menjadi komoditas utama. Bahkan menjelang tahun 1944, banyak alat tenun yang dirampas oleh Nipon untuk dikirim ke negara lain seperti Malaya, Burma. 

Baca juga: Isuzu Elf Mobil Sekuat Pesawat Herkules Pengangkut Sembilan Bahan Pokok

Setelah kemalangan terbitlah kesenangan. Benar saja, tak memakan waktu lama para pengusaha tekstil Majalaya bangkit. Masa keemasan bagi Majalaya terjadi pada tahun 1950-an sampai 1960-an, di mana Majalaya menyumbang 40% dari total produksi tekstil di Indonesia. Pencapaian itu menyebabkan kota Majalaya disebut sebagai kota Dollar dan tahun-tahun tersebut merupakan masa keemasannya (Antlov dan Svensson, 1991:118).

Pasca julukan tersebut diraih, hingga kini Majalaya tak pernah lagi menjadi kota dollar. Terlebih di masa serba sulit seperti sekarang, di mana pandemi covid-19 meruntuhkan segala sektor. Dari berita lokal yang saya baca, kabaryan para pelaku industri kreatif kain sarung mengeluh pemasarannya pada ramadan kali menurun drastis. Barang menumpuk di gudang. Padahal bulan ramadan adalah bulan harapan untuk menghabiskan barang dagangan. Namun apa daya realitas berkata lain. 

Saya pun semakin sedih kala orang-orang lebih mengenal Majalaya karena banjir dan debu yang menyelimuti daerahnya. Padahal daerah ini masih menyimpan potensi untuk kembali harum dan bernilai sebagaimana nilai mata uang dollar di bursa efek Indonesia. Naik naik dan naik.

Jangan lupa lihat sarungmu, mungkin itu berasal dari Majalaya. 

Ilustrasi gambar | Kate Trifo on Unsplah

Pandemi Corona telah membuat jalanan Jakarta lebih sepi ketimbang hati dan udara lebih bebas polusi daripada hari-hari yang lalu. Hal yang sebenarnya jarang terjadi kecuali hari lebaran. Semua itu imbas dari himbauan physical distancing, bekerja di rumah dan kebijakan teranyar tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kendati begitu, masih saja ada jalanan yang ramai. Pasalnya sebagian masyarakat masih ada yang diharuskan bekerja lantaran bukan tak takut corona, tetapi lebih takut kalau dapur tak ngebul dan dompet kian sepi. Sehingga mereka pun terpaksa menanggung resiko. Bantuan yang dijanjikan pemerintah pun nampak dibuat ribet ala birokrasi khas Indonesia.

Namun selalu ada cara Indonesia lain yang hadir. Sebagian warga yang tergugah dan miliki tabungan lebih, ramai-ramai membuat kegiatan amal, entah itu pembagian sembako dan sebagainya. Ketika pemerintah lambat bergerak, warga bisa ambil tindakan. Sebagaimana kata pemikir asal Slovenia, Slavoj Zizek, “dalam situasi krisis, kita semua adalah Sosialis.”

Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok dan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi menyusul Jakarta sebagai wilayah yang menerapkan PSBB guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kelima wilayah itu mulai PSBB sejak Rabu 15 April 2020 sampai 14 hari ke depan dengan potensi diperpanjang jika virus masih menyebar.
Baca juga: Ada yang Tak Kalah Bahaya Daripada Pandemi Ini
Penetapan kebijakan PSBB haruslah seizin pemerintah pusat. Sehingga para kepala daerah hanya bisa membuat usulan dan menunggu konfirmasi dari pusat. Wilayah Bandung Raya pun sudah disetujui untuk PSBB mulai tanggal 22 April 2019.  

Penerapan PSBB tentu sangat berbeda dengan istilah lockdown. Tak ada penutupan akses di pintu masuk/keluar di batas-batas daerah. Namun ada pemeriksaan, di mana setiap pengendara sepeda motor diwajibkan untuk memakai masker, sarung tangan serta pengecekan suhu. Kendaraan hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas penumpang. 

Untuk ojek online hanya boleh mengantar barang dan makanan. Akan tetapi kabar lain menyebutkan bahwa mereka boleh membawa penumpang asal memenuhi SOP kesehatan, yakni memakai masker, sarung tangan dan penyemprotan desinfektan terhadap kendaraannya. Sementara transportasi pengangkut barang beroperasi seperti biasa.

Tentu dengan kebijakan ini masyarakat kecil menjadi kaum yang paling ringkih. Namun percayalah masih ada orang baik di sekitar kita, mungkin orang baik itu kamu? Iya kamu yang tak jadi pejabat, anggota DPP atau pun stafsus.   

Membayang situasi sekarang di mana akses serba terbatas. Pikiran saya memasuki lorong waktu Pak Haji dan Zidan bertandang ke tanah ibu pertiwi beratus tahun silam.  

Dulu ketika negara Indonesia masih bernama Hindia Belanda, penguasa saat itu yang bernama Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel, yakni pengaturan pemukiman berdasarkan kelompok etnis. Tujuannya agar mempermudah pengendalian warga jajahan yang terpisah-pisah. Akibat kebijakan ini, akhirnya kiwari kita dapat menemukan kampung arab, pecinan dan sebagainya.

Dalam satu wilayah (wijk) terdapat penanggung jawab ketertiba yang diangkat dari tokoh masyarakat dengan pangkat kehormatan militer: luitenant, mayor, kapitein. Boleh dikatakan serupa Pak RW yang mengatur segala administrasi satu wilayah kecil. Setiap penghuni wijk yang melakukan perjalanan ke luar dengan perjalanan melebihi limit waktu diharuskan membawa surat keterangan: passenstlesel. Kartu yang berfungsi layaknya paspor yang sekarang kita kenal.

Wijkenstelsel merupakan warisan dari VOC yang diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal VOC Valkenir. Pasca terjadinya tragedi kerusuhan 1740 yang bernama chineezenmoord. Pemberontakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan para bupati pesisir Mataram terhadap VOC.

Selain alasan politik, dua kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel digunakan sebagai monopoli ekonomi. Di era tanam paksa Priangan sempat tertutup rapat bagi semua etnis, termasuk Tionghoa. Alasannya karena Priangan saat itu tengah tumbuh menjadi daerah perkebunan kopi, dan penguasa ingin memonopoli hasil kopinya. Pasalnya kopi menjadi komoditas yang tengah naik daun dengan harga yang melambung.

Dampak kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel lebih terasa bagi etnis tionghoa dibanding etnis lain. Pasalnya mereka dihisap secara ekonomi, sebab harus diakui mereka adalah penggerak ekonomi yang cukup mahir tetapi dibatasi secara sosial.

Pemusatan etnis ini nyatanya menimbulkan rasa kebersamaan menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok. Dan etnis tionghoa sudah membuktikannya dalam coretan sejarah. Dan moga situasi sulit seperti sekarang dapat meningkatkan solidaritas kelompok, sebab berkaca pada masa lalu kita adalah negara yang saling tolong menolong dan gotong royong, apapun etnisnya.    

Pada akhirnya kebijakan mengenai wilayah yang diambil penguasa selalu berulang dengan pernik yang berbeda tiap masanya. Ada yang karena politik, ekonomi hingga wabah. Namun satu yang tak perlu dirubah, bahwa solidaritas masyarakat tak boleh luntur.



 


Sore hari itu langit menangis membasahi bumi. Memberikan kesegaran di setiap helai rumput yang tumbuh subur di pekarangan rumah. Saya sedang duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi jagung yang sudah mulai mendingin. Hanya satu dua orang melintas di jalan depan rumah, hujan telah membuat orang-orang nyaman untuk tetap berada dirumah menjaga kehangatan suhu tubuhnya. Nampaknya itu tak berlaku bagi anak-anak. Kala hujan datang anak-anak tumpah ruah ke jalan  yang hanya muat satu mobil untuk menyambut hujan dan bersenang-senang dibawah hujan. Melihat anak-anak ceria dibawah hujan membawa lamunan saya tentang masa kecil saya.

Saya dilahirkan berkat kerjasama apik antara ibu dan ayah saya. Ayah saya berprofesi sebagai pedagang buah-buah di Pasar Majalaya dan ibu saya seorang ibu rumah tangga yang sesekali menemani ayah saya berjualan di pasar. Tepat pada malam sabtu 10 April  dikamar rumah telah lahir seorang bayi dengan bantuan seorang bidan yang dipanggil ke rumah. Tangisan yang bergelora seisi rumah menandakan babak awal perjalanan bocah laki-laki ini. Bayi laki-laki dengan bobot 3,5 Kg itu dinamai Rulfhi Alimudin Pratama Sunarya. Anak pertama dari tiga bersaudara.

Saya tumbuh dan dibesarkan di Majalaya, sekitar 30 Km ke arah selatan dari Kota Bandung. Dimana suasana khas pedesaan dengan sawah, kolam-kolam ikan dan keretek (delman) masih sangat gampang dijumpai. Sawah yang ketika musim kemarau datang akan berubah menjadi Giuseppe Meazza yang garenjul, tempat mengadu kemahiran mengocek si kulit bundar. Rumah saya terletak tak jauh dari lapang bola, hanya beberapa ratus meter dari sana. Rumah saya beralaskan hamparan adukan semen tanpa keramik, dengan tembok batu bata, beratap  genteng dari tanah liat dengan halaman yang tak terlalu luas, tempat berteduh dari terpaan angin dan panas matahari. Rumah saya dikelilingi oleh rumah sanak saudara. Disebelah timur dibatasi oleh rumah kakek dan disebelah barat dibatasi rumah paman .

Sewaktu kecil saya adalah sosok anak yang penakut, penurut dan juga cengeng. Saya sangat jarang sekali untuk keluar rumah. Saya lebih senang melihat anak-anak bermain dibalik kaca jendela dan lebih sibuk dengan mainan yang ada dirumah. Kalaupun saya main keluar itu karena diajak sepupu saya bernama Reza atau lebih sering saya panggil Akang. Saya dan Akang selalu bermain bersama, bahkan saya selalu ngintil dengan Akang, kemanapun akang pergi pasti saya ikut. Sewaktu Akang masuk TK rukun Wanita yang tak terlalu jauh dari rumah, saya menangis karena merasa ditinggalkan dan tidak ada teman bermain. Hingga akhirmya ibu saya mendaftarkan saya Ke Tk Rukun Wanita di usia 4 tahun. Di bangku Tk pun saya tak mau bergaul atau sebangku dengan orang lain. Saya hanya mau sebangku dengan kakak sepupu saya. Ketika saya di pindahkan ke bangku bersama orang lain saya akan menangis sejadi-jadinya. Dan saya akan berhenti menangis jika saya kembali duduk di sebelah Akang. Ketika di Tk ada temen saya bernama Eky yang sering sekali menjahili dan meledek saya karena saya anak yang cengeng, sampai suatu ketika saya menghajar Ekky dikelas sambil nangis. Entah datang keberanian darimana saya bisa mendaratkan pukulan ke wajah Ekky yang berkulit putih. Sejak dari itu Ekky tak pernah meledek saya. Bahkan ketika besar kelak Ekky jadi temen saya yang cukup akrab.
 
Saya dan Kakak Sepupu (Dari kiri Upi, Akang, Uji, Farhani)
Kenangan yang masih  saya ingat adalah kenangan bersama kakek. Kakek saya adalah seorang Kepala Sekolah di salah satu sekolah dasar di Majalaya. Jadi hampir dipastikan dikala tanggal muda datang, beliau akan mendapatkan gaji yang berasal dari pemerintah. Ketika gajian kakek saya selalu mengajak cucu-cucunya termasuk saya untuk pergi mengambil gajinya disalah satu bank. Kami kesana naik becak yang sudah dipesan oleh kakek. Saya pun selalu meminta untuk “di lahun” oleh kakek. Ketika sampai di bank kami selalu berlari kesana kemari karena ruangan yang luas menggoda sekali untuk kami berlari-lari. Dan yang paling saya tunggu adalah ketika hendak pulang setelah beres mengambil gaji, kakek saya selalu mampir dulu ke toko kelontong Ucong. Toko kelontong Ucong ini bisa dikatakan jadi toko kelontong yang lengkap di Majalaya. Ada Eskrim, yogurt, sampai kue-kue basah lengkap tersedia. Kami dibebaskan untuk berkeliaran dan mengambil makanan apapun yang kami mau.  Sehingga apapun yang berwarna cerah selalu kami bawa. Alhasil becak yang kami naiki penuh dengan keresek-keresek belanjaan yang isinya jajanan. Sesampai dirumah kami buka semua jajanan , wajah kakek begitu senang ketika cucunya bisa menikmati jajanan yang dibelinya. 
Upi, Akang, Teteh Farhani bersama Kakek dan Nenek

Diluar hujan mulai reda. Anak-anakpun sudah kembali kerumahnya masing-masing. Dan lamunan tentang masa kecilku mulai memudar seiring dengan datang pelangi yang menghiasi langit.

Rulfhi yang lebih sering dipanggil Upi sedang menyelesaikan kuliahnya dibidang Teknik. Sesekali jadi freelance alias tukang gambar rumah dan sedang menyibukan dirinya di Komunitas Aleut.


                                        



Perkebunan Kina Kertasari Bandung

Pagi ini saya disapa dengan rintikan hujan yang seolah memanggil saya untuk kembali menarik selimut, karena hujan tak sendiri dia membawa serta kedinginan. Namun saya nampaknya harus menghiraukan ajakan dia untuk kali ini. Karena saya sudah mempunyai kegiatan bersama Komunitas Aleut untuk pagi ini. Yah saya bersama anak-anak aleut akan menjelajahi daerah di Bandung selatan dan ada 3 tempat yang akan akan ditelusuri yaitu Tjikembang-Kertasari dan Situ Cisanti.

Namun untuk ngaleut kali ini saya tidak berkumpul di kedai jalan Solontongan 20D, saya menunggu di daerah Ciparay yang kebetulan akan terlewati oleh para penggiat Aleut. Jam Menunjukan pukul 9.00 dan saya sudah tiba didepan Masjid Raya Ciparay tempat dimana saya melakukan sebuah perjanjian dengan mimin Aleut, sebagai tempat saya bergabung dengan rombongan. Sesekali saya meneropong kearah ujung jalan memastikan hilal sudah terlihat apa belum, eh memastikan rombongan aleut sudah terlihat apa belum. Tak lama kemudian saya mendengar suara bisikan memanggil nama saya, ternyata panggilan itu dari penggiat aleut yang memberitahu saya untuk bergabung bersama rombongan. 

Cukup 20 km/jam saja
Segeralah saya bergabung dengan rombongan, jalanan ciparay- pacet pun dilewati. Jalanan khas perbukitan yang berkelok yang diiringi tanjakan dan turunan dilewati. Sepanjang perjalananpun saya disuguhkan dengan pemandangan yang cukup menyegarkan mata, hamparan perkebunan dan pohon menghijaukan mata saya. Diperjalanan rombongan berhenti sejenak di sebuah warung pinggir bukit sembari istirahat, disana rombongan dijelaskan oleh abang kita tercinta Ridwan Hutagalung mengenai kondisi alam sekitar sana yang dulunya hutan sekarang dijadikan ladang warga, dan menyempitnya aliran sungai citarum disekitarnya, bahkan dari sudut warung terlihat juga gunung rakutak yang  dulu sempat dijadikan tempat persembunyian gerombolan Kertosuwiryo. Setelah istirahat dan penjelasan dirasa cukup, para penggiat melanjutkan perjalanan lagi. 

Sejam terlewati saya dan rombongan tiba di penjelajahan pertama, yap di Tjikembanglah tujuan pertama kami. Disini dulunya dijadikan perkebunan Kina dan pabrik pengolahan kina yang dulu sempat berjaya di seantero priangan. Namun sekarang Tjikembang dijadikan tempat pembibitan dan pengolahan kopi robusta yang lebih menjanjikan secara ekonomis. Hanya tinggal reruntuhan tembok bangunan pabrik pengolahan kina yang setia menjadi saksi  dimasa lampau dan sekarang tentang kina Di Tjikembang. Namun ada yang saya sesali di Tjikembang ini saya tak menemukan Kembang Desa yang akan memanggil saya aa, saya hanya menemukan ibu-ibu perkasa yang bersiap keladang dan memanggil saya ujang.

Tembok Pabrik Kina , Tjikembang
Tembok Pabrik Kina , Tjikembang
Setelah dipuaskan di Tjikembang saya melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya Kertasari. Kertasari ini tidak punya hubungan intim dengan kue Kartika Sari ataupun Artis seksoy Kartika Putri yah. Ini nama kecamatan  yang berada Bandung Selatan yang mayoritas warganya sebagai petani ataupun buruh tani. Tujuan kita ke kertasari adalah mengunjungi pabrik teh yang sudah berdiri sejak tahun 1920. Kuat banget yah saya aja berdiri sejam udah pegal ini dari tahun 1920 sampai sekarang masih berdiri, super sekali. Okay lanjut ya, kita ke pabrik ini bukan untuk melihat produksi teh itu sendiri, tapi di pabrik ini masih menyimpan benda-benda yang mempunyai nilai history . Namun sangat disayangkan kami tidak bisa melihatnya. Kamipun hanya bisa berkeliling di luar pabrik teh ini saja.

Pabrik Teh Kertasari Jawa Barat
Pabrik Teh Kertasari, berdiri sejak 1920

Setelah kami puas berphoto ria disekitaran pabrik ini, kami melanjutkan perjalanan menuju situ Cisanti. Situ yang menjadi hulu dari sungai terbesar di Jawa Barat in. Di situ ini juga terdapat petilasan Dipatiukur, Beliau adalah bupati Bandung pada abad 17 dibawah kerajaan Mataram. Setibanya di situ ini kami berkumpul sejenak untuk mendengarkan penjelasan singkat mengenai Cisanti ini. Nama Cisanti ternyata nama sungai kecil dibelakang situ ini, entah kenapa nama itu yang dipakai bukan Citarum. Setelah penjelasan dirasa cukup rombongan berpencar, ada sudah yang mengicar spot dermaga yang jadi tempat ciamik buat berpoto apalagi bersama pasangan. Saya lebih memilih memutari situ untuk menuju tempat mata air situ ini muncul. Ceuk sunda na mah tempat ngaburialna cai. Lokasi mata air itu terdapat di ujung situ ini, mata air ini dijaga oleh seorang putra daerah  yang sudah turun temurun menjaga kelestarian sumber mata air ini. Dan mata air ini bisa langsung diminum dan sangatlah menyegarkan. Terlihat juga ditengah situ beberapa warga memakai ban sembari memancing ikan. Tak terasa sore telah tiba rombongan berkumpul dulu di sebuah gubug untuk sharing pengalamannya selama perjalanan kali ini. Setelah beres sesi sharing kami pun bergegas untuk bersiap pulang karena matahari pun telah bersiap untuk berganti shift dengan sang bulan. 
Situ Cisanti Kabupaten Bandung
Situ Cisanti




Curug Omas Lembang Bandung

Ketika hari minggu tiba itulah waktu yang pas untuk liburan atau sekedar berjalan-jalan. Aku dan teman-teman sudah punya rencana untuk menghabiskan hari libur ini dengan cara hiking ke curug omas. Yah Curug Omas berada dikawasan Tahura atau dago pakar, yang berada di utara kota Bandung, Dalam Bahasa Sunda Curug itu adalah Air Terjun. 

Minggu Pagi telah tiba dan kami berjanjian untuk kumpul sekitar pukul 8.00 disekitar Gor Citra, agar kami berangkat bersama-sama menuju tempat tujuan. Setelah 7 orang dari kami yang mau ikut sudah berkumpul, kami langsung tancap gas menuju tujuan. 

Perjalanan menuju Dago pakar kami tempuh sekitar setengah jam , karena kami melewati jalan memotong yaitu jalan Cigadung. Setelah kami sampai di lokasi, kami segera bergegas membeli tiket untuk 1 Sepeda Motor yang ditumpangi 2 orang dikenai tiket Rp.26.000,- sedangkan kalau 1 orang tiket dikenai Rp.12.500.-

Setelah membeli tiket masuk saya dan teman-teman memarkirkan kendaraan , untuk langsung masuk ke Dago Pakar dan memulai start hiking. Perjalanan Hiking saya dan teman-teman dimulai dengan rute menyusuri dari Goa Jepang Goa Belanda dan ke Curug Omas. Estimasi jarak dari start sampai Curug Omas ± 6,00 km, yang bisa memakan waktu 3 jam untuk sampai tujuan. Perjalananpun dimulai dan kondisi track jalan cukup bagus karena sudah di renovasi dan mempermudah akses kita untuk menuju tempat tujuan. Track pun tidak terlalu curam atau menajak . Sepanjang perjalan kami mengobrol dan saling bercerita hingga tidak terasa kami sudah sampai di check Point pertama yaitu di Goa Jepang.

Tahura Bandung

Goa Jepang adalah Goa Peninggalan di masa penjajahan jepang yang digunakan untuk pertahanan jepang semasa berada di Tanah Pasundan, Goa Jepang ini juga memiliki 3 Gerbang yang menjadi pintu masuk ke goa. Goa Jepang sendiri merupakan hasil kerja paksa oleh penjajah Jepang yang sering disebut Romusha.

Setelah kami menikmati Goa Jepang dan sudah cukup beristirahat, kami lanjutkan perjalanan lagi yang masih cukup jauh sekitar 5 km lagi. Jarak antara Goa Jepang dengan Goa Belanda Tidak terlalu jauh, sehingga kamipun sudah sampai di Goa Belanda, dan kami pun harus masuk dan melewati Goa Belanda, karena Goa ini bisa jadi jalan memotong ke Curug Omas daripada kami harus mutar mengelilingi goa.

Goa Belanda sendiri merupakan bekas pertahanan Belanda semasa Penjajahan, yang dibangun dengan kerja paksa yang disebut Rodi. Penyelesaian goa ini hanya mengandalkan tenaga manusia, sehingga kita dapat melihat dari dalam bahwa goa ini merupakan hasil pahat dari tangan manusia. Setelah kami melihat lihat goa Belanda dan kami sudah cukup beristirahat kami lanjutkan perjalanan yang kurang lebih 2 jam lagi.

Perjalanan menuju lokasi memang cukup capek tapi kita bisa melihat keindahan yang dimiliki dari hutan tropis kita, sepanjang perjalanan juga kita bisa mempelajari berbagai macam flora seperti Mahoni Uganda, Anggsana, dan kebanyakan disini ditumbuhi oleh pohon berjenis mahoni. Dengan suasana yang sejuk dan di iringi suara dari serangga dan burung yang seolah bernyanyi. Dan disana kami juga dapat menemui bekas bendungan yang sudah tidak dipakai lagi.

Sungai di tahura bandung

Setelah 2 jam berlalu kami pun sudah sampai di Jembatan yang dimana kita bisa lihat patahan lembang, dari patahan Lembang ini hanya berjarak ± 100 meter ke Curug Omas.

Kami pun tiba di Curug Omas, dan segera melihat pemandangan sekitar yang cukup indah. Curug Omas sendiri merupakan curug yang mengalir aliran dari sungai Cikapundung, Aliran ini juga digunakan untuk Pembangkit Listrik untuk daerah Jawa Barat. Disana juga kita bisa menjumpai beberapa monyet yang hidup yang sekitar curug.

Dan buat kalian yang lapar disini juga tersedia warung warung makan yang menyajikan makanan. Curug Omas juga sering dijadikan tempat rekreasi bersama keluarga. Kami pun bersantai sambil menikmati suasana yang menenangkan pikiran yang jauh dari hiruk pikuk kota Bandung yang cukup padat. Tak Terasa ternyata waktu hampir mendekati jam 2, maka kamipun bergegas pulang karena cuaca pun sudah mendung walaupun rasanya betah disana karena suasananya yang nyaman. Di sini juga tersedia ojek untuk mengantar anda ke bawah bila anda sudah terlalu capek.

Curug Omas Lembang Bandung





Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Jelajahi Villa Isola Dalam Satu Babak

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes