Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop


Eks bioskop Dian, salah satu Bangunan Cagar Budaya (BCB) yang berada di sekitar Alun-Alun Bandung. Meski termasuk dalam BCB Kota Bandung tak menjadi membuat kondisi terawat. Bahkan BCB satu ini bisa dikatakan jauh dari kata terawat alias terbengkalai. 


Pada Minggu, 20 Maret 2022, saya berkesempatan untuk masuk ke bangunan eks Bioskop Dian. Di sana sedang ada pameron seni bertajuk ‘Ajeg Melampaui Diri’. Sejumlah karya seni bersatu dengan material yang melapuk di eks Bioskop Dian. Plafon yang sudah bolong, gelap menyelimuti bangunan ini. 


Memasuki aula eks Bioskop Dian terlihat sebuah layar besar. Saya sedikit membayangkan suasana nonton di sana di masa kolonial. 


Saya juga baru tahu bahwa bangunan ini terjadi memilki lantai dua. Di lantai dua, saya bisa lebih leluasa seluruh bagian eks Bioskop Dian yang melapuk. 


Berikut sejumlah dokumentasi yang saya ambil di eks Bioskop Dian.








Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut. Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.

Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.

Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java 

Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000 gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua, coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek bernama C.P. W Schoemaker.

Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola. Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.

Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.

Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau hanya ornamen.

Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal. Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung Tangkuban Perahu.

Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja. Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi salah satu bangunan cagar budaya ini.

Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So berharap dulu sambil berusaha.

Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan. 



nyai a woman from java garin nugroho

Kisah nyai di Hindia Belanda telah dituturkan dalam sejumlah karya sastra. Ada yang berusaha merendahkannya dan ada pula yang berusaha memahami kesakitannya.

Saya berkesempatan menyaksikan kisah nyai dalam media film yang berjudul Nyai, karya Garin Nugroho. Dalam pembukaan film ini ditampilkan disclaimer bahwa cerita ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: Nyai Isah (1904) karya F. Wiggers; Seitang Koening (1906) karya R.M Tirto Adhisoerjo; Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay; Nyai Dasimah (1960) karya S.M Ardan dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.

Saya sangat antusias, terlebih ada rasa penasaran mengenai perpektif soal Nyai yang akan kembangkan oleh Garin. Dalam film ini. Garin menggunakan pendekatan teater, sehingga dalam 85 menit akan ada satu latar saja. Beranda rumah joglo bewarna hijau beserta meja bundar berkaki kayu.  

Di beranda tersebut, keluar masuk tokoh yang mencari nyai dan suami Belandanya, Meneer William. Mulai dari penghibur penari dan orkes dengan musik timur tengah hingga penari jawa untuk menghibur Meneer yang tengah sakit. Lalu beranda seolah menjadi peradilan bagi nyai, ini tergambarkan dalam adegan seorang pemuka agama dan pribumi yang awalnya datang untuk mendoakan suami nyai, malah berbalik menasehati Nyai dan memintanya pindah agar tak menjadi sasaran kemarahan warga.

Baca juga: Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Pemilihan beranda rumah sebagai latar, mengimplitkan bahwa rumah menjadi tempat terkukungnya seorang nyai. Bahwa nyai tak ubahnya meubel (parabot) di dalam suatu beranda. Seorang nyai boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri.

Kegetiran tersebut semakin sakit kala menyaksikan sebuah monolog, Si Nyai bertutur bahwa dirinya dijual oleh ayahnya sebagai upaya suap kepada meneer untuk kenaikan pangkat. Praktik ini kerap terjadi di Hindia Belanda saat itu terutama di daerah perkebunan.  

Nyai Terhimpit Dua Budaya   

Sebagai seorang nyai tentu bisa menolak tunduk, sebagaimana kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia. Digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga belajar bahasa Belanda dan Melayu serta budaya dan hukum Belanda. Sehingga dapat mengelola perusahaan dan dihormati berkat kekayaan yang dimilikinya.

Akan tetapi di mata hukum Belanda, Nyai tetaplah seorang gundik yang haknya sama dengan pribumi lainnya. Hal tersebut digambarkan dalam film nyai ketika seorang pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi miliki istri Belanda William, sesuai dengan Undang-undang Belanda.

Baca juga: Ca Bau Kan, Merekam Kekerasan Perempuan di Hindia Belanda

Sementara di mata pribumi, nyai seolah sosok perempuan yanng hanya mementingkan materialiastik Dengan menjual apa yang mereka miliki ke tangan orang Eropa. Padahal realitanya nyai hanyalah korban yang mungkin bisa disamakan dengan kasus jual beli manusia. Lantaran di beberapa kisah yang saya temui mereka bisa alihkan dari satu orang Eropa ke orang Eropa lainnya.

Menyaksikan film Nyai membuat mata kita terbuka dan merasakan kegetiran hidup seorang Nyai. Bagaiamana ia terhimpit dua budaya yang membuat mereja menjadi minoritas, diterima sebagai pembantu di mata orang-orang Eropa dan terasa diasingkan oleh kaum pribumi.

*Source photo by imdb
Ilustrasi gambar | Kate Trifo on Unsplah

Pandemi Corona telah membuat jalanan Jakarta lebih sepi ketimbang hati dan udara lebih bebas polusi daripada hari-hari yang lalu. Hal yang sebenarnya jarang terjadi kecuali hari lebaran. Semua itu imbas dari himbauan physical distancing, bekerja di rumah dan kebijakan teranyar tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Kendati begitu, masih saja ada jalanan yang ramai. Pasalnya sebagian masyarakat masih ada yang diharuskan bekerja lantaran bukan tak takut corona, tetapi lebih takut kalau dapur tak ngebul dan dompet kian sepi. Sehingga mereka pun terpaksa menanggung resiko. Bantuan yang dijanjikan pemerintah pun nampak dibuat ribet ala birokrasi khas Indonesia.

Namun selalu ada cara Indonesia lain yang hadir. Sebagian warga yang tergugah dan miliki tabungan lebih, ramai-ramai membuat kegiatan amal, entah itu pembagian sembako dan sebagainya. Ketika pemerintah lambat bergerak, warga bisa ambil tindakan. Sebagaimana kata pemikir asal Slovenia, Slavoj Zizek, “dalam situasi krisis, kita semua adalah Sosialis.”

Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Depok dan Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi menyusul Jakarta sebagai wilayah yang menerapkan PSBB guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kelima wilayah itu mulai PSBB sejak Rabu 15 April 2020 sampai 14 hari ke depan dengan potensi diperpanjang jika virus masih menyebar.
Baca juga: Ada yang Tak Kalah Bahaya Daripada Pandemi Ini
Penetapan kebijakan PSBB haruslah seizin pemerintah pusat. Sehingga para kepala daerah hanya bisa membuat usulan dan menunggu konfirmasi dari pusat. Wilayah Bandung Raya pun sudah disetujui untuk PSBB mulai tanggal 22 April 2019.  

Penerapan PSBB tentu sangat berbeda dengan istilah lockdown. Tak ada penutupan akses di pintu masuk/keluar di batas-batas daerah. Namun ada pemeriksaan, di mana setiap pengendara sepeda motor diwajibkan untuk memakai masker, sarung tangan serta pengecekan suhu. Kendaraan hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas penumpang. 

Untuk ojek online hanya boleh mengantar barang dan makanan. Akan tetapi kabar lain menyebutkan bahwa mereka boleh membawa penumpang asal memenuhi SOP kesehatan, yakni memakai masker, sarung tangan dan penyemprotan desinfektan terhadap kendaraannya. Sementara transportasi pengangkut barang beroperasi seperti biasa.

Tentu dengan kebijakan ini masyarakat kecil menjadi kaum yang paling ringkih. Namun percayalah masih ada orang baik di sekitar kita, mungkin orang baik itu kamu? Iya kamu yang tak jadi pejabat, anggota DPP atau pun stafsus.   

Membayang situasi sekarang di mana akses serba terbatas. Pikiran saya memasuki lorong waktu Pak Haji dan Zidan bertandang ke tanah ibu pertiwi beratus tahun silam.  

Dulu ketika negara Indonesia masih bernama Hindia Belanda, penguasa saat itu yang bernama Belanda menerapkan kebijakan wijkenstelsel, yakni pengaturan pemukiman berdasarkan kelompok etnis. Tujuannya agar mempermudah pengendalian warga jajahan yang terpisah-pisah. Akibat kebijakan ini, akhirnya kiwari kita dapat menemukan kampung arab, pecinan dan sebagainya.

Dalam satu wilayah (wijk) terdapat penanggung jawab ketertiba yang diangkat dari tokoh masyarakat dengan pangkat kehormatan militer: luitenant, mayor, kapitein. Boleh dikatakan serupa Pak RW yang mengatur segala administrasi satu wilayah kecil. Setiap penghuni wijk yang melakukan perjalanan ke luar dengan perjalanan melebihi limit waktu diharuskan membawa surat keterangan: passenstlesel. Kartu yang berfungsi layaknya paspor yang sekarang kita kenal.

Wijkenstelsel merupakan warisan dari VOC yang diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tepatnya sebuah kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal VOC Valkenir. Pasca terjadinya tragedi kerusuhan 1740 yang bernama chineezenmoord. Pemberontakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan para bupati pesisir Mataram terhadap VOC.

Selain alasan politik, dua kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel digunakan sebagai monopoli ekonomi. Di era tanam paksa Priangan sempat tertutup rapat bagi semua etnis, termasuk Tionghoa. Alasannya karena Priangan saat itu tengah tumbuh menjadi daerah perkebunan kopi, dan penguasa ingin memonopoli hasil kopinya. Pasalnya kopi menjadi komoditas yang tengah naik daun dengan harga yang melambung.

Dampak kebijakan Wijkenstelsel & passenstlesel lebih terasa bagi etnis tionghoa dibanding etnis lain. Pasalnya mereka dihisap secara ekonomi, sebab harus diakui mereka adalah penggerak ekonomi yang cukup mahir tetapi dibatasi secara sosial.

Pemusatan etnis ini nyatanya menimbulkan rasa kebersamaan menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok. Dan etnis tionghoa sudah membuktikannya dalam coretan sejarah. Dan moga situasi sulit seperti sekarang dapat meningkatkan solidaritas kelompok, sebab berkaca pada masa lalu kita adalah negara yang saling tolong menolong dan gotong royong, apapun etnisnya.    

Pada akhirnya kebijakan mengenai wilayah yang diambil penguasa selalu berulang dengan pernik yang berbeda tiap masanya. Ada yang karena politik, ekonomi hingga wabah. Namun satu yang tak perlu dirubah, bahwa solidaritas masyarakat tak boleh luntur.



 


Older Posts Home

Postingan Populer

  • Cara Pasang Grip Karet Raket Lining Asli
  • Cara Cek Raket Lining Asli atau Palsu?
  • 3 Tips Menerobos Banjir Bagi Sepeda Motor Matik dan Bebek, Syarat dan Ketentuan Berlaku
  • Jelajahi Villa Isola Dalam Satu Babak
  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog Archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes