Padi mulai
menguning. Seolah tanda bagi burung-burung untuk singgah. Sejauh mata memandang,
sejauh itu yang terlihat hanya warna kuning. Warna kuning yang berpadu dengan sinar
senja menambah keanggunan. Sang padi tetap saja merunduk seolah malu oleh
sapaan sinar senja.
Di
tengah-tengah lahan sawah yang menguning terdapat satu gubuk. Gubuk reyot yang
masih tegak berdiri. Di gubuk tersebut terlihat seorang lelaki sedang duduk.
Lelaki tersebut berbadan tegap, memiliki kumis, memakai celana pendek dengan kaos
bertuliskan pupuk organik. Tangannya terus menggerakan tali yang membentang
keseluruh lahan sawah. Lelaki tersebut sedang mencoba mengusir burung-burung. Sambil
mengisap rokok kretek, lelaki tersebut terus menggerak-gerakan tali tersebut.
Terlihat dari kejauhan burung-burung yang hendak hinggap merasa terganggu
dengan gerak tali yang bergerak tak beraturan. Segigih apapun burung mendekati
padi, segigih itu juga lelaki tersebut akan mengusirnya.
Ketika
menjelang masa panen, gerombolan burung berdatangan dari arah timur. Setiap
tahunnya populasi burung terus meningkat dan hasil panen berangsur menurun. Apa
mungkin ekosistem telah kehilangan keseimbangannya. Atau ulah manusialah yang
menyebabkan keseimbangan itu terganggu. Kedungan salah satu lumbung padi bagi
Kabupaten Blora. Setiap tahunnya menyumbang setengah dari produksi padi
Kabupaten Blora. Di sana jugalah lelaki tersebut lahir. Ia tumbuh dan
dibesarkan dari keluarga sederhana yang hidup dari pertanian. Anak tersebut
kini telah menjadi lelaki perkasa. Ia tengah terduduk di gubuk reyot. Mengusir
burung-burung yang akan hinggap di lahan sawah miliknya. Sedari kecil lelaki
tersebut sudah diajarkan untuk bercocok tanam oleh bapaknya. Maka tak heran
jika ia sangat piawai untuk mengurus sawah. Setiap kali masa panen tiba, sawah
garapan lelaki tersebut mampu menghasilkan hasil panen yang melimpah. Maka tak
heran jika tetangganya berebut meminta bantuan untuk mengurus sawah milik
mereka. Dengan sistem bagi hasil temtunya. Lelaki tersebut tak mampu menolak
permintaan tersebut. Ia selalu teringat akan pesan bapaknya untuk saling membantu,
kelak kamu akan membutuhkan bantuan seseorang.
Namun
sudah dua tahun kebelakang hasil panen garapan si lelaki tak memuaskan. Hasil
panennya selalu di bawah target. Tak heran jika keuntungan yang didapat dari
hasil menjual padi sangatlah tipis. Bukan hanya tipis tapi cenderung mengarah
ke merugi. Orang-orang yang sudah mempercayakan lahan sawahnya untuk digarap si
lelaki mulai kecewa. Semua mulai mempertanyakan keahlian si lelaki untuk
menggarap sawah. Apa mungkin si lelaki telah kehilangan kemampuannya untuk
mengolah sawah? Atau alam sedang tidak berpihak pada dirinya. Si lelaki
berpikir sejenak. Terbersit pesan sang bapak, “Le, bapak pesen sama sampeyan,
kudu bisa jaga tradisi leluhur kita. Le kudu terusin garap sawah, kedua
sampeyan kudu cinta karo kasenian Barongan.” Dua tahun lalu si lelaki memutuskan
untuk berhenti menggeluti kesenian Barongan. Alasannya karena ia jenuh dengan kesenian
Barongan yang hanya mengingatkan pada sosok bapaknya saja. Ia cukup sentimentil
jika harus mengingat kenangan bersama bapak. Sepeninggalnya si lelaki, Kedungan
kehilangan talentanya di kesenian Barongan. Warga Kedungan bersedih. Semarak kesenian
Barongan di Kabupaten Blora tetap berlangsung tapi ada rasa yang berbeda.
Terutama bagi warga Kedungan. Kesedihan mereka pun bertambah seiring dengan
hasil panen yang mengalamai penurunan.
***
“Rong,
udah lupain saja tantangannya!” seru Kohar
“Iya, kita
cuma iseng-iseng ngetes nyali kamu” ujar Komar
“Kadung
Mar, saya akan masuk ke hutan jati dan menyentuh salah satu batang pohon jati
paling besar” teriak Barong.
Rimbunnya
pohon jati tak menciutkan nyalinya. Barong tetap bersikeras untuk masuk ke
sana. Padahal tak ada seorang anak kecil pun yang berani masuk ke hutan jati.
Orang tua mereka sering melarang anaknya untuk mendekati hutan jati konon anak
tersebut bisa hilang dan tidak tahu arah pulang karena disesatkan oleh penunggu
di sana. Begitu juga bapak Barong selalu mewanti-wanti untuk tidak mendekati
hutan jati. Namun Barong terlampau malu jika harus menarik kembali ucapannya.
Ia harus bertanggung jawab dengan apa yang telah diucapkan. Bapaknya
mengajarkan untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang telah diucapkaan, karena
itu ciri lelaki sejati yang kelak menjadi kepala keluarga. Dengan tekad bulat
ia masuk ke hutan jati. Langkah pertamanya sedikit gontai, ada rasa takut jika
cerita yang beredar di masyarakat benar-benar terjadi dan menimpa dirinya. Sinar
matahari mulai terhalang oleh daun-daun jati. Seolah siang telah menjadi sore dan
sore telah menjadi malam di hutan jati.
Baca juga: Kepergian Naya
Barong
tidak lagi terlihat dari pandangan teman-temannya. Teman-teman cemas, apa yang
terjadi pada Barong. Komar sudah menyiapkan seribu alasan yang bisa menguatkan
alibinya jika terjadi sesuatu terhadap Barong. Barong sudah berada di tengah-tengah
hutan pohon jati. Perlu sekitar tiga meter lagi untuk mencapai batang pohon
jati yang paling besar. Langkah barong penuh kewaspadaan dan kehati-hatian.
Barong kini sudah berada di depan pohon tersebut. Ia memegangnya, merasakan
dinginnya kulit pohon jati yang jarang terkena sinar matahari. Dari semak-semak
terdengar desas-desis suara, sepintas terlihat sepasang bola mata dengan
pandangan yang tajam. Seperti mata yang sedang mengawasi mangsanya. Barong cemas. Apa mungkin itulah sosok yang
selalu diperbincangankan masyarakat dan bapaknya. Barong berdoa. Ia berusaha
tetap tenang dan mengotrol dirinya. Perlahan, Barong mulai melangkah menjauhi
pohon jati dan menuju keluar dari hutan pohon jati. Ia tetap waspada. Dari
kejauhan mulai terlihat cahaya dan teman-temnanya. Barong merasa lega. Barong
tidak berani menceritakan apa yang telah ia rasakan tadi pada teman-temannya. Teman-temannya
bertanya seperti apa kondisi di dalam hutan pohon jati? Barong hanya menjawab
dengan singkat, “Gelap, rimbun dan sedikit menyeramkan.” Hari semakin gelap
Barong mengajak teman-temannya untuk pulang, sebab besok mereka akan
memeriahkan acara sedekah bumi.
Sesampainya
di rumah, Barong masih memikirkan sosok apakah yang tadi ia lihat. Barong terus
melamun. Tak seperti biasanya. Barong tidak ingin menceritakan apa yang dialami
tadi. Entah sama teman-temannya ataupun bapaknya sendiri. Padahal biasanya ia
sosok yang senang bercerita, terutama pada bapaknya. Tapi kini lain, Barong
berpikir jika sampai bapaknya tahu, ia akan dihadiahi kemarahan. Kemarahan yang
sebenarnya bentuk kekhawatiran seorang bapak terhadap anaknya. Hal yang wajar.
“Le,
gimana persiapan topeng barongnya?” Ujar bapak.
“Belum beres, pak.”
“Cepat
bantu bereskan yah, besok bapak akan pertunjukan di alun-alun, kamu jadi
ikutkan?.”
“Iya, Barong
ikut pak.”
“Bagus,
kamu harus mulai belajar kesenian Barongan, Le!”
“Iya, pak kenapa
bapak sangat mencintai kesenian Barongan?”
“Jika
ditanya begitu, bapak selalu bingung mau jawab apa. Yang pasti bapak mencintai
kesenian Barongan sama seperti bapak mencintai anaknya. Bapak ketemu ibu saja
karena Barongan.”
Bapak
Barong tampak sibuk mempersiapkan ornamen-ornamen penunjang untuk besok.
Kesenian Barongan biasanya dipertunjukan dalam rangkaian sedekah bumi. Barongan
juga bisa dipertunjukan ketika ada pejabat daerah yang datang atau pun acara
lainnya. Kesenian Barongan bisa dipertunjukan dengan adanya lakon berisi alur
cerita tertentu ataupun sebatas arak-arakan saja. Bapak Barong terkenal sebagai
pemain barongan yang lincah dan enerjik. Kelihaiannya dalam memainkan Barongan
selalu mendapatkan decap kagum dari penonton. Seolah Barongan telah menyatu
dengan dirinya. Setiap kabupaten Blora mengadakan Kesenian Barongan, otomatis bapak
Barong selalu hadir dan ikut memeriahkan. Bapak Barong sudah memainkan kesenian
Barongan semenjak kecil. Ia dibesarkan dari keluarga yang mencintai Barongan. Kelak
harapannya anaknya bisa mencintai kesenian Barongan sama seperti dirinya.
Pagi telah
tiba. Ratusan orang telah memadati kawasan alun-alun Blora. Warga antusias menyambut
arak-arakan. Terlihat dari arakan-arakan tersebut tari tayub, iring-iringan
anak sekolah dengan pakaian tradisional hingga kesenian Barongan. Kesenian
Barongan merupakan kesenian yang digandrungi masyarakat Blora. Kesenian
Barongan telah mengakar dan hidup bersama masyarakat Blora. Barong berada di tengah-tengah
arak-arakan. Ia terus mengikuti ke mana langkah arak-arakan. Suasana semakin
meriah tak kala arak-arakan Barongan memperlihatkan gerakan yang enerjik yang
seolah-olah mengajak penonton untuk ikut dalam kemeriahan. Arak-arakan berakhir
di sekitar pendopo sebelum adzan dzuhur berkumandang. Seluruh peserta
beristirahat di pendopo sambil makan siang. Sambil menyantap nasi kotak yang
telah dipersiapkan panitia. Bapak memanggil Barong.
“Le, kamu tahu
kenapa bapak kasih nama kamu Barong?” tanya bapak.
“Saya
tidak tahu pak, bapak belum menceritakannya.” Jawab si anak.
“Jadi gini
Le, kamu adalah anak bapak satu-satunya. Sewaktu kecil bapak sangat berharap
kamu bisa meneruskan kesenian Barongan. Makanya kamu sama bapak kasih nama
Barong.” Bapak sambil mengusap-ngusap kepala Barong.
“Bapak
harap, harapan bapak itu bisa terlaksana. Barongan adalah tradisi nenek moyang
kita yang harus selalu kita jaga.”
Bapak memeluk
erat Barong. Mereka kembali melanjutkan makannya. Semenjak itu setiap pulang
dari sawah atau pun di waktu-waktu senggang, Barong belajar kesenian Barongan
kepada bapaknya. Agar ia bisa dibanggakan oleh bapaknya. Barong tidak perlu
waktu yang lama untuk menguasai Barongan. Seolah takdirnya telah ditetapkan
bersama Barongan. Meskipun gerakannya belum seluwes gerakan bapaknya, namun terlihat
Barong memiliki bakat di kesenian Barongan.
Baca juga: Kamar Gelap
Masa panen
telah kembali tiba. Tiba saatnya untuk pertama kali Barong akan memainkan
kesenian Barongan di muka umum. Dari raut wajahnya terlihat gugup. Namun bapak
meyakinkannya untuk percaya diri dan fokus. Ingat lakukan apa yang bapak
katakan sewaktu latihan. Arak-arakan Barongan dimulai. Barong terlihat cukup
luwes di bali topeng Barongan. Bapak melihat dari kejauhan. Ketika melihat
Barong dalam balutan Barongan sda perasaan senang, sedih semua campur aduk,
karena kini ada tunas baru yang akan melestarikan kesenian Barongan. Kesenian
Barongan adalah ekspresi bentuk syukur dari masyarakat Blora akan karunia Tuhan
yang dilimpahkan lewat hasil panen. Secara sadar kesenian Barongan telah
membuat masyarakat Blora bahagia hingga mereka secara ikhlas mendoakan agar
para petani menuai panen yang melimpah.
“Le, kamu
tadi bagus sekali main Barongannya” puji bapak.
“Ini
berkat bapak, bapak ngelatih Barong dengan sabar dan telaten” jawab Barong.
Bapak
tersenyum bahagia, begitu juga Barong. Setelah itu Barong semakin rajin latihan
Barongan. Di sela-sela watu senggang, ia bermain Barongan, sesibuk apapun ia
selalu menyempatkan untuk bermain Barongan. Hingga akhirnya ketika pejabat
pusat dari Jakarta sedang melakukan kunjungan ke Kabupaten Blora. Pejabat
Kabupaten Blora mengundang para pemain Barongan untuk mempertunjukan kesenian
Barongan untuk menyambut para pejabat pusat. Tentu ini sebuah kebanggan bagi
seorang anak desa seperti Barong. Barong pun semakin dikenal sebagai pemain
Barongan. Sama seperti bapaknya kesenian Barongan telah mengantarkan mereka
pada kemasyuran dan meningkatkan derajat sosial mereka.
***
Hujan
tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Gubuk yang reyot itu bocor. Tetesan air
bocor tersebut jatuh menimpa kepala si lelaki. Si lelaki terbangun. Ia tersadar
bahwa dari tadi ia sempat tertidur dan mengingat kejadian-kejadian di masa lalu
ketika ia mulai belajar cara menggarap sawah dan mengenal kesenian Barongan.
Barongan telah membuat kedekatan seorang anak dengan bapaknya. Lewat Barongan
juga ia bisa tampil di hadapan pejabat pusat dan menjadi kebanggaan bagi
daerahnya yang bernama Kedungan. Mencintai kesenian Barongan sama saja seperti
cinta seorang bapak terhadap anaknya. Rasa cinta yang terus tumbuh dan harus dijaga
bersama. Keraguan yang hingga di dada perlahan mulai terkikis. Ia bermain
Barongan bukan untuk bapaknya saja, tapi untuk warga Kedungan dan semua
masyarakat yang mencintai kesenian Barongan. Kini tak ada keraguan dalam
dirinya. Ia akan kembali menggeluti kesenian Barongan dan menjalani takdir
sebagai Barong pemain Barongan.
Cerpen ini pertama kali ditayangkan platform baca, Storial dalam rangka mengikuti kompetisi menulis bersama NulisBuku dan Platform Kebudayaan Indonesiana.