Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop
Sang Barong kisah seorang lelaki GUNDAH yang ingin melestarikan kesenian Barongan.

Padi mulai menguning. Seolah tanda bagi burung-burung untuk singgah. Sejauh mata memandang, sejauh itu yang terlihat hanya warna kuning. Warna kuning yang berpadu dengan sinar senja menambah keanggunan. Sang padi tetap saja merunduk seolah malu oleh sapaan sinar senja.

Di tengah-tengah lahan sawah yang menguning terdapat satu gubuk. Gubuk reyot yang masih tegak berdiri. Di gubuk tersebut terlihat seorang lelaki sedang duduk. Lelaki tersebut berbadan tegap, memiliki kumis, memakai celana pendek dengan kaos bertuliskan pupuk organik. Tangannya terus menggerakan tali yang membentang keseluruh lahan sawah. Lelaki tersebut sedang mencoba mengusir burung-burung. Sambil mengisap rokok kretek, lelaki tersebut terus menggerak-gerakan tali tersebut. Terlihat dari kejauhan burung-burung yang hendak hinggap merasa terganggu dengan gerak tali yang bergerak tak beraturan. Segigih apapun burung mendekati padi, segigih itu juga lelaki tersebut akan mengusirnya.

Ketika menjelang masa panen, gerombolan burung berdatangan dari arah timur. Setiap tahunnya populasi burung terus meningkat dan hasil panen berangsur menurun. Apa mungkin ekosistem telah kehilangan keseimbangannya. Atau ulah manusialah yang menyebabkan keseimbangan itu terganggu. Kedungan salah satu lumbung padi bagi Kabupaten Blora. Setiap tahunnya menyumbang setengah dari produksi padi Kabupaten Blora. Di sana jugalah lelaki tersebut lahir. Ia tumbuh dan dibesarkan dari keluarga sederhana yang hidup dari pertanian. Anak tersebut kini telah menjadi lelaki perkasa. Ia tengah terduduk di gubuk reyot. Mengusir burung-burung yang akan hinggap di lahan sawah miliknya. Sedari kecil lelaki tersebut sudah diajarkan untuk bercocok tanam oleh bapaknya. Maka tak heran jika ia sangat piawai untuk mengurus sawah. Setiap kali masa panen tiba, sawah garapan lelaki tersebut mampu menghasilkan hasil panen yang melimpah. Maka tak heran jika tetangganya berebut meminta bantuan untuk mengurus sawah milik mereka. Dengan sistem bagi hasil temtunya. Lelaki tersebut tak mampu menolak permintaan tersebut. Ia selalu teringat akan pesan bapaknya untuk saling membantu, kelak kamu akan membutuhkan bantuan seseorang.

Namun sudah dua tahun kebelakang hasil panen garapan si lelaki tak memuaskan. Hasil panennya selalu di bawah target. Tak heran jika keuntungan yang didapat dari hasil menjual padi sangatlah tipis. Bukan hanya tipis tapi cenderung mengarah ke merugi. Orang-orang yang sudah mempercayakan lahan sawahnya untuk digarap si lelaki mulai kecewa. Semua mulai mempertanyakan keahlian si lelaki untuk menggarap sawah. Apa mungkin si lelaki telah kehilangan kemampuannya untuk mengolah sawah? Atau alam sedang tidak berpihak pada dirinya. Si lelaki berpikir sejenak. Terbersit pesan sang bapak, “Le, bapak pesen sama sampeyan, kudu bisa jaga tradisi leluhur kita. Le kudu terusin garap sawah, kedua sampeyan kudu cinta karo kasenian Barongan.” Dua tahun lalu si lelaki memutuskan untuk berhenti menggeluti kesenian Barongan. Alasannya karena ia jenuh dengan kesenian Barongan yang hanya mengingatkan pada sosok bapaknya saja. Ia cukup sentimentil jika harus mengingat kenangan bersama bapak. Sepeninggalnya si lelaki, Kedungan kehilangan talentanya di kesenian Barongan. Warga Kedungan bersedih. Semarak kesenian Barongan di Kabupaten Blora tetap berlangsung tapi ada rasa yang berbeda. Terutama bagi warga Kedungan. Kesedihan mereka pun bertambah seiring dengan hasil panen yang mengalamai penurunan. 

***

“Rong, udah lupain saja tantangannya!” seru Kohar

“Iya, kita cuma iseng-iseng ngetes nyali kamu” ujar Komar

“Kadung Mar, saya akan masuk ke hutan jati dan menyentuh salah satu batang pohon jati paling besar” teriak Barong.

Rimbunnya pohon jati tak menciutkan nyalinya. Barong tetap bersikeras untuk masuk ke sana. Padahal tak ada seorang anak kecil pun yang berani masuk ke hutan jati. Orang tua mereka sering melarang anaknya untuk mendekati hutan jati konon anak tersebut bisa hilang dan tidak tahu arah pulang karena disesatkan oleh penunggu di sana. Begitu juga bapak Barong selalu mewanti-wanti untuk tidak mendekati hutan jati. Namun Barong terlampau malu jika harus menarik kembali ucapannya. Ia harus bertanggung jawab dengan apa yang telah diucapkan. Bapaknya mengajarkan untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang telah diucapkaan, karena itu ciri lelaki sejati yang kelak menjadi kepala keluarga. Dengan tekad bulat ia masuk ke hutan jati. Langkah pertamanya sedikit gontai, ada rasa takut jika cerita yang beredar di masyarakat benar-benar terjadi dan menimpa dirinya. Sinar matahari mulai terhalang oleh daun-daun jati. Seolah siang telah menjadi sore dan sore telah menjadi malam di hutan jati.

Baca juga: Kepergian Naya

Barong tidak lagi terlihat dari pandangan teman-temannya. Teman-teman cemas, apa yang terjadi pada Barong. Komar sudah menyiapkan seribu alasan yang bisa menguatkan alibinya jika terjadi sesuatu terhadap Barong. Barong sudah berada di tengah-tengah hutan pohon jati. Perlu sekitar tiga meter lagi untuk mencapai batang pohon jati yang paling besar. Langkah barong penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Barong kini sudah berada di depan pohon tersebut. Ia memegangnya, merasakan dinginnya kulit pohon jati yang jarang terkena sinar matahari. Dari semak-semak terdengar desas-desis suara, sepintas terlihat sepasang bola mata dengan pandangan yang tajam. Seperti mata yang sedang mengawasi mangsanya.  Barong cemas. Apa mungkin itulah sosok yang selalu diperbincangankan masyarakat dan bapaknya. Barong berdoa. Ia berusaha tetap tenang dan mengotrol dirinya. Perlahan, Barong mulai melangkah menjauhi pohon jati dan menuju keluar dari hutan pohon jati. Ia tetap waspada. Dari kejauhan mulai terlihat cahaya dan teman-temnanya. Barong merasa lega. Barong tidak berani menceritakan apa yang telah ia rasakan tadi pada teman-temannya. Teman-temannya bertanya seperti apa kondisi di dalam hutan pohon jati? Barong hanya menjawab dengan singkat, “Gelap, rimbun dan sedikit menyeramkan.” Hari semakin gelap Barong mengajak teman-temannya untuk pulang, sebab besok mereka akan memeriahkan acara sedekah bumi.

Sesampainya di rumah, Barong masih memikirkan sosok apakah yang tadi ia lihat. Barong terus melamun. Tak seperti biasanya. Barong tidak ingin menceritakan apa yang dialami tadi. Entah sama teman-temannya ataupun bapaknya sendiri. Padahal biasanya ia sosok yang senang bercerita, terutama pada bapaknya. Tapi kini lain, Barong berpikir jika sampai bapaknya tahu, ia akan dihadiahi kemarahan. Kemarahan yang sebenarnya bentuk kekhawatiran seorang bapak terhadap anaknya. Hal yang wajar.  

“Le, gimana persiapan topeng barongnya?” Ujar bapak.

 “Belum beres, pak.”

“Cepat bantu bereskan yah, besok bapak akan pertunjukan di alun-alun, kamu jadi ikutkan?.”

“Iya, Barong ikut pak.”

“Bagus, kamu harus mulai belajar kesenian Barongan, Le!”

“Iya, pak kenapa bapak sangat mencintai kesenian Barongan?”

“Jika ditanya begitu, bapak selalu bingung mau jawab apa. Yang pasti bapak mencintai kesenian Barongan sama seperti bapak mencintai anaknya. Bapak ketemu ibu saja karena Barongan.”

Bapak Barong tampak sibuk mempersiapkan ornamen-ornamen penunjang untuk besok. Kesenian Barongan biasanya dipertunjukan dalam rangkaian sedekah bumi. Barongan juga bisa dipertunjukan ketika ada pejabat daerah yang datang atau pun acara lainnya. Kesenian Barongan bisa dipertunjukan dengan adanya lakon berisi alur cerita tertentu ataupun sebatas arak-arakan saja. Bapak Barong terkenal sebagai pemain barongan yang lincah dan enerjik. Kelihaiannya dalam memainkan Barongan selalu mendapatkan decap kagum dari penonton. Seolah Barongan telah menyatu dengan dirinya. Setiap kabupaten Blora mengadakan Kesenian Barongan, otomatis bapak Barong selalu hadir dan ikut memeriahkan. Bapak Barong sudah memainkan kesenian Barongan semenjak kecil. Ia dibesarkan dari keluarga yang mencintai Barongan. Kelak harapannya anaknya bisa mencintai kesenian Barongan sama seperti dirinya.  

Pagi telah tiba. Ratusan orang telah memadati kawasan alun-alun Blora. Warga antusias menyambut arak-arakan. Terlihat dari arakan-arakan tersebut tari tayub, iring-iringan anak sekolah dengan pakaian tradisional hingga kesenian Barongan. Kesenian Barongan merupakan kesenian yang digandrungi masyarakat Blora. Kesenian Barongan telah mengakar dan hidup bersama masyarakat Blora. Barong berada di tengah-tengah arak-arakan. Ia terus mengikuti ke mana langkah arak-arakan. Suasana semakin meriah tak kala arak-arakan Barongan memperlihatkan gerakan yang enerjik yang seolah-olah mengajak penonton untuk ikut dalam kemeriahan. Arak-arakan berakhir di sekitar pendopo sebelum adzan dzuhur berkumandang. Seluruh peserta beristirahat di pendopo sambil makan siang. Sambil menyantap nasi kotak yang telah dipersiapkan panitia. Bapak memanggil Barong.

“Le, kamu tahu kenapa bapak kasih nama kamu Barong?” tanya bapak.

“Saya tidak tahu pak, bapak belum menceritakannya.” Jawab si anak.

“Jadi gini Le, kamu adalah anak bapak satu-satunya. Sewaktu kecil bapak sangat berharap kamu bisa meneruskan kesenian Barongan. Makanya kamu sama bapak kasih nama Barong.” Bapak sambil mengusap-ngusap kepala Barong.

“Bapak harap, harapan bapak itu bisa terlaksana. Barongan adalah tradisi nenek moyang kita yang harus selalu kita jaga.”

Bapak memeluk erat Barong. Mereka kembali melanjutkan makannya. Semenjak itu setiap pulang dari sawah atau pun di waktu-waktu senggang, Barong belajar kesenian Barongan kepada bapaknya. Agar ia bisa dibanggakan oleh bapaknya. Barong tidak perlu waktu yang lama untuk menguasai Barongan. Seolah takdirnya telah ditetapkan bersama Barongan. Meskipun gerakannya belum seluwes gerakan bapaknya, namun terlihat Barong memiliki bakat di kesenian Barongan.

Baca juga: Kamar Gelap

Masa panen telah kembali tiba. Tiba saatnya untuk pertama kali Barong akan memainkan kesenian Barongan di muka umum. Dari raut wajahnya terlihat gugup. Namun bapak meyakinkannya untuk percaya diri dan fokus. Ingat lakukan apa yang bapak katakan sewaktu latihan. Arak-arakan Barongan dimulai. Barong terlihat cukup luwes di bali topeng Barongan. Bapak melihat dari kejauhan. Ketika melihat Barong dalam balutan Barongan sda perasaan senang, sedih semua campur aduk, karena kini ada tunas baru yang akan melestarikan kesenian Barongan. Kesenian Barongan adalah ekspresi bentuk syukur dari masyarakat Blora akan karunia Tuhan yang dilimpahkan lewat hasil panen. Secara sadar kesenian Barongan telah membuat masyarakat Blora bahagia hingga mereka secara ikhlas mendoakan agar para petani menuai panen yang melimpah.

“Le, kamu tadi bagus sekali main Barongannya” puji bapak.

“Ini berkat bapak, bapak ngelatih Barong dengan sabar dan telaten” jawab Barong.

Bapak tersenyum bahagia, begitu juga Barong. Setelah itu Barong semakin rajin latihan Barongan. Di sela-sela watu senggang, ia bermain Barongan, sesibuk apapun ia selalu menyempatkan untuk bermain Barongan. Hingga akhirnya ketika pejabat pusat dari Jakarta sedang melakukan kunjungan ke Kabupaten Blora. Pejabat Kabupaten Blora mengundang para pemain Barongan untuk mempertunjukan kesenian Barongan untuk menyambut para pejabat pusat. Tentu ini sebuah kebanggan bagi seorang anak desa seperti Barong. Barong pun semakin dikenal sebagai pemain Barongan. Sama seperti bapaknya kesenian Barongan telah mengantarkan mereka pada kemasyuran dan meningkatkan derajat sosial mereka.

***

Hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Gubuk yang reyot itu bocor. Tetesan air bocor tersebut jatuh menimpa kepala si lelaki. Si lelaki terbangun. Ia tersadar bahwa dari tadi ia sempat tertidur dan mengingat kejadian-kejadian di masa lalu ketika ia mulai belajar cara menggarap sawah dan mengenal kesenian Barongan. Barongan telah membuat kedekatan seorang anak dengan bapaknya. Lewat Barongan juga ia bisa tampil di hadapan pejabat pusat dan menjadi kebanggaan bagi daerahnya yang bernama Kedungan. Mencintai kesenian Barongan sama saja seperti cinta seorang bapak terhadap anaknya. Rasa cinta yang terus tumbuh dan harus dijaga bersama. Keraguan yang hingga di dada perlahan mulai terkikis. Ia bermain Barongan bukan untuk bapaknya saja, tapi untuk warga Kedungan dan semua masyarakat yang mencintai kesenian Barongan. Kini tak ada keraguan dalam dirinya. Ia akan kembali menggeluti kesenian Barongan dan menjalani takdir sebagai Barong pemain Barongan.

Cerpen ini pertama kali ditayangkan platform baca, Storial dalam rangka mengikuti kompetisi menulis bersama NulisBuku dan Platform Kebudayaan Indonesiana.   


Terasing dan tersingkir di Kota Jakarta | Photo by Uray Zulfikar on Unsplash

Sudah tiga hari aku tinggal di kontrakan bang Mulim. Kontrakan berukuran tak lebih luas daripada toilet mall Senayan City, tapi cukup untuk dua orang bisa tidur nyaman dengan berubah-ubah posisi. Kontrakan bang Mulim berada di Tambora, Jakarta Barat. Bang Mulim adalah seorang satpam yang aku kenal di sebuah warung kopi di daerah Pekojan.

Aku mesti banyak bersyukur telah dipertemukan dengan bang Mulim. Pria yang memiliki perawakan besar, otot keras dan kepala pelontos benar-benar menolongku di kala susah seperti saat ini. Di mata warga sekitar, bang Mulim terkenal sebagai warga baik, ia gemar memberi pertolongan kepada orang lain, entah itu sekedar memberi jajan anak tetangga atau anaknya sendiri. Percayalah dia sosok yang baik. Boleh jadi bang Mulim adalah potret warga Jakarta yang keras tapi santun kepada pendatang seperti aku.

Aku bernama Suroso, seorang pemandu di Kota Tua Jakarta. Sehari-hari aku bekerja menemani turis dalam negeri maupun luar negeri yang menggunakan jasa biro wisata tempatku bekerja. Belum genap satu tahun aku merantau ke ibukota. Aku lahir dan besar di bawah kaki gunung Sindoro. Kala masih di kampung, Senin sampai Jumat aku bekerja membantu ayah di kebun, dan jika akhir pekan aku bekerja sebagai pemandu wisata di dataran tinggi Dieng.

Keputusanku untuk hijrah ke kota Jakarta murni dari keinginanku sendiri. Aku ingin merasakan denyut kota besar, di mana orang-orang terlihat sibuk dan tergesa. Di kampungku waktu seolah berjalan lebih lambat, orang-orang masih sempat ngopi dan bercengkrama dengan tetangga sebelum bekerja ke kebun.

Jakarta memang asing bagiku, ia tidak menaruh seorang pun yang aku kenal ketika pertama kali menyambangi. Meski begitu aku berusaha akrab dengan Jakarta. Namun mencoba akrab saja tak cukup. Hari pertama aku menginjak tanah ini, kesialan datang begitu cepat. Merusak tas dan menguras uang di dompet. Tak mudah untuk merelakannya, tapi tak mengapa, aku anggap itu santuan bagi warga Jakarta yang lebih sial.

Habis sial terbitlah beruntung. Dua minggu bekerja di biro wisata, aku mendapatkan pemasukan lebih alias tip dari para turis, terutama turis luar negeri. Total nominalnya sudah melebih uang yang tercopet di waktu lalu. Oh iya biro wisataku memperbolehkan karyawannya mendapatkan tip dari turis. Karena jujur saja, tempatku bekerja ini memberikan gaji dibawah UMR. Sehingga banyak yang mengandalkan pemasukan dari tip sukarela. Namun namanya sukarela, kita harus rela juga andai tidak mendapatkannya.

Namun beruntungku hanya berlaku sebentar saja. Menginjak bulan ketiga aku bekerja, yakni bulan Maret. Aku mendapatkan kabar bahwa seluruh pekerja berstatus kontrak akan dirumahkan sementara hingga waktu yang belum ditentukan. Artinya ini bulan terakhir aku dapatkan gaji. Tentu semua hal ini dampak dari menurunnya bisnis wisata akibat pandemi corona. Sehingga biro wisata kecil tempatku bekerja harus bertaruh demi perusahaannya tetap sehat dengan memangkas sejumlah karyawan. Kabar tersebut jelas membuatku kaget, ia bagai tikus berkepala anjing. Aku kaget dan harus percaya bahwa di dunia ini ada tikus berkepala anjing.

Baca juga: Preman Jaga Jarak

Harus diakui pandemi ini bukan hanya melemahkan sektor pariwisata tetapi sektor lainnya. Berjuta karyawan terancam kena PHK, ada juga yang terancam kena potongan gaji. Bekerja sebagai pemandu bukanlah pekerjaan yang bergaji besar, apalagi statusnya cuma kontrak.  

Tiga bulan gaji yang lalu habis untuk sekedar haha hihi mengobati kepenatan kota. Gaji lebih cepat berpacu daripada waktu. Uang menjadi penebus bagi waktu yang hilang. Namun itu tak selalu cukup. Sehingga di penghujung bulan hanya nestapa berlandaskan kesabaran.

Di saat seperti ini aku bertemu lagi dengan bang Mulim, sekedar curhat dan mencoba mengatasi kemalangan. Pasalnya belum ada kepastian kapan lagi biro travel wisata tempatku bekerja akan buka. Andai aku tetap kekeuh di sini aku mungkin hanya akan luntang-lantung. Sebab aku hanya bisa memandu dan memacul tanah. Sementara di Jakarta hanya ada tanah berbeton yang tak bisa dipacul oleh tangan. Hanya bisa dipacul dengan kekuasaan. Oleh karena itu aku lebih baik kembali pulang, dan mewartakan pada kawan di kampung bahwa Jakarta tak selalu ramah kepada pendatang. Sehingga menggarap kebun di kampung lebih masuk akal bagi kami.        

Ini ceritaku yang mungkin juga kamu rasakan. Mari bergandeng tangan, peluk tubuhku erat-erat bahwa kita tidak sendiri, masih ada harapan yang tersembunyi di balik semua ini. Sudah selayaknya kamu yang memiliki asa harapan lebih terang untuk memberi setitik cahaya kepada mereka yang asa harapannya mulai terlihat temaram. Aku menulis kisah ini dari kaki Gunung Sindoro, di mana ku kembali menjadi petani meneruskan warisan orang tua.

| Photo by Uray Zulfikar on Unsplash

 



Pukul satu siang, Bandrun baru tiba di tempat kerjanya. Sebuah tempat kerja di ruang terbuka di mana kendaraan roda dua dan empat berjajar rapi. Yap sebuah lahan parkir. Badrun adalah penguasa lahan parkir di ruko Sarimah. Sebuah pusat perbelanjaan elektronik yang menjadi salah satu penggerak roda ekonomi di kota itu
Matahari bersinar terik, Badrun belum beranjak dari motornya, badannya yang besar masih menempel di jok motor. Motor sport tua yang tampak mengecil bila ditunggangi Badrun. Selaku motoris ia tak seperti motoris kebanyakan pasalnya ia sangat jarang memakai jaket, ke mana-mana hanya memakai kaos berwarna hitam bertuliskan “aing”. Masih di atas jok motor, pandangannya melihat lahan parkir disekelilingnya yang terlihat lebih luas daripada biasanya, dan jajaran ruko pada tutup.  
Melihat hal itu, Badrun kaget. Pasalnya tiga hari yang lalu ia mendapati aktifitas jual beli masih berlangsung seperti biasa. Bahkan saat itu lahan parkir sangat padat, sampai-sampai ia harus memasang tulisan “Maaf, parkir penuh.”
Badrun beranjak dari motor lalu berjalan ke warung kopi yang tutup. Wajar saja bila tutup karena hari ini adalah hari kesebelas di bulan puasa. Bandrun melihat kanan kiri, seolah tengah mencari sesuatu.
“Nah ini dia kursi singgahna aing,” ucapnya.
Pantatnya telah menempel di kursi kayu lusuh, lalu Badrun merogoh handphone di sakunya. Dibuka hape tersebut, jempol besarnya bergerak lincah mencari nomor kontak bernama Kudrin. Dia adalah satu-satunya anak buah Badrun yang masih tersisa. Tiga anak buah Badrun telah lama berpindah profesi menjadi penjual buah-buahan di kota asalnya di Garut.
Handphone menempel di telinga, terdengar nada dering. Tak lama kemudian tersambung.
“Drin, di mana? Sini ke kantor segera!
Handphone ditutup lalu kembali dimasukan ke dalam saku. Badrun kembali mengarahkan pandangannya ke lahan parkir dan jajaran ruko yang tutup. Ia masih heran, karena selama ia menjaga hanya ketika hari lebaran saja toko-toko di sini tutup. Dan hari ini bagai anomali, dan Badrun merasa sangat bodoh karena tidak mengetahuinya.
Baca juga: Kepergian Naya
Masih terduduk di kursi singgasananya, Badrun kini melamun, sembari memikirkan banyak hal, mulai dari ingin membeli motor baru, renovasi rumah, hingga mau buka puasa nanti pilih kolek atau sop buah. Belum sempat memutuskan, lamunan itu buyar ketika seorang lelaki berkumis tebal dengan pakaian luyuh berada di depannya.
“Punten kang, bisa berdiri sebentar!” ucap lekaki itu sambil melihat Badrun.
“Kamu siapa? Saya penguasa di wilayah ini. Berani-beraninya kamu nyuruh saya,” kata Badrun dengan tangan dikepal, seolah mau meninju si lelaki itu.
“Maksud saya bukan begitu, saya hanya minta akang buat berdiri. Karena karung berisi botol bekas milik saya keinjak sama kaki kursi yang akan dudukin,” sambil menunjuk ke arah karung.
“Bilang donk kalau begitu, pahala puasanya saya ga perlu berkurang karena saya marah” ketus Badrun.
“Punten kang,” lelaki itu mengambil karung dan hendak pergi. Namun Badrun memanggilnya dan menyuruhnya untuk diam sebentar.
“Kamu tahu hari ini, hari apa?” tanya Badrun
“Hari Senin kang,” jawabnya.
“Iya saya tahu, maksud saya mau tanya. Apakah kamu tahu kenapa toko-toko itu pada tutup?” tanya Bandrun.
“Enggak tahu kang,” lelaki itu sambil menunduk.
“Yaudah sana!” Badrun menyuruh lelaki itu untuk pergi.
Setengah jam kemudian Kudrin, tiba di kantor. Tentu kantor di sini bukanlah ruangan dengan AC dan meja-meja yang dihiasi monitor berlogo jeruk disertai bulir-bulirnya. Kantor di sini hanya berupa kursi sofa yang sudah terdapat sejumlah lubang tetapi masih bisa digunakan, kursi kayu milik Badrun dan meja plastik. Kudrin tiba dengan memakai celana pendek dan kaos oblong sobek dan dekil bertuliskan Marsinah. Wajahnya tertutupi oleh masker scuba berwarna merah jamu.
“Kudrin, kenapa kamu pakai masker dan tak memakai pakai pakaian dinas?” Tanya Badrun
“Maaf boss, ini anjuran dari pemerintah. Saya juga tak pakai pakaian dinas karena hari ini libur,” jawab Kudrin.,
“Anjuran dari pemeritah mana?” Belum sempat Kudrin menjawan, Badrun sudah melemparkan pertanyaan lagi.
“Lagian tadi aing sudah tanya ke tukang rongsok, katanya hari ini ga libur. Sok mana yang betul?” Badrun terlihat geram.
“Asal kamu itu kerja di bidang seperti kita ini, kalender operasionalnya hitam semua,” tambahnya sambil melihat tajam ke arah Kudrin.
“Maaf boss. Apa boss enggak liat berita di tv atau baca berita di facebook soal kebijakan pemerintah untuk menerpakan peraturan PSBB per hari ini,” jawab Kudrin.
“PSBB itu apa? Persatuan Sepakbola Bandung Barat,” Badrun jawab ngasal.
“Bukan atuh boss, tapi Penerapan Sosial Berskala Besar, yakni kebijakan dari pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona. Di mana salah satu isinya adalah menutup toko non sembako selama 14 hari terhitung dari sekarang,” tutur Kudrin.  
Badrun terlihat takjub dengan penjelasan dari Kudrin. Maklum saja, Badrun adalah preman gaptek dan minim informasi. Semua informasi yang ia dapat hampir selalu dari kabar burung entah itu obrolan dengan penjual kop keliling, hingga tukang ojok online. Kendati takjub dengan Kudrin, Badrun tak pernah memuji anak buahnya lantaran takut wibawanya turun.
Salah satu alasan Badrun menjadikan Kudrin sebagai tangan kanannya lantaran dia adalah informal yang handal. Dia bisa menutupi kelemahan yang dimiliki Badrun yang orang lain tak ketahui selain gaptek yakni buat aksara.
“Satu lagi boss, hindari kerumunan, selalu jaga jarak bila bertemu dengan orang lain dan usahakan untuk kerja dari rumah,” Kudrin menambahkan.
“Kalo begitu sekarang kamu pergi ke sebrang, kita harus jaga jarak biar aman,” Badrun sambil menunjuk ke tempat di sebrang.  
“Saya kan ga corona, lagian ini sudah ada jarak sekitar satu meter dengan boss” jawab Kudrin.
“Iya, tapi bau badan kamu bikin, aing merana. Sana!” kata Badrun


Ilustrasi gambar by SamWilliamPhoto dari Pixabay 
x


Siang itu pria berkacamata tebal memacu motornya di Jalan Suci. Motornya ia bawa dengan laju cukup kencang. Salip kanan salip kiri. Sesekali ia menengok jam di tangan kirinya. Jamnya sudah menunjukan waktu pukul satu. Ia sudah telat. Seharusnya pukul satu ia sudah berada di kampus yang berada di Jalan Ganesha itu. Menghadiri undangan diskusi. Apadaya ia tersangkut dengan urusan perut yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. 

Terpaksa ia harus menambah kecepatan laju motornya, guna tak terlalu terlambat. Ditariklah tuas gas di tangan kanannya, belum juga tuas itu ditarik habis, ia sudah terpaksa menginjak rem. Ia sedikit mengumpat. “Anjing, karek ge rek di gas full rem saeutik, geus panggih deui wae jeung macet.”

Siang itu persis di depan lapangan Gasibu terjadi kepadatan arus lalu lintas yang cukup mengular. Entah karena apa. Polisi pun tak berada disana atau memang polisi tak pernah berjaga disana. Hampir sekitar 15 menit ia bergelut dengan kemacetan. Debu-debu jalanan yang bercampur pecahan ban, tahi kucing, bangkai tikus kian menempel di wajahnya yang berkeringat. Wajah berseri mirip Donny Damara bintang film era 90-an tak nampak lagi dari wajahnya. 

Di tengah banyaknya kendaraan yang padat merayap, Ia banyak melafalkan kata-kata penyejuk hati: anjing, bagong, jancu dan masih banyak lagi. Sembari itu juga ia melakukan manuver berkelas: salip kanan, salip kiri. “Sial memang hidup dizaman now, macet dimana-mana, mau di dunia nyata atau dunia maya sama saja bisa terjadi kemacetan.” 

Sepeda motornya menyalip beberapa kendaraan di depannya. Hingga akhirnya ia dapat menemui penyebab kemacetan, yakni sebuah mobil sedan merah yang mogok di tengah-tengah tanjakan Jalan Layang Pasupati. Mobil sedan yang dikendarai oleh sepasang suami istri. Pasangan suami istri yang belum lama ini melangsungkan pernikahan. Terlihat dari rangkaian bunga di bagian depan kap mesin yang masih belum dilepas.  

Sebagai mahasiswa teknik mesin tentu ia sangat gatal ingin bertanya kepada pasangan suami istri tersebut penyebab mobilnya bisa mogok, lalu segera memperbaikinya. Namun ia mengurungkan niat mulianya, sebab ia kini sudah semakin terlambat untuk menghadiri diskusi di kampus ITB. Hingga ia hanya bisa berdoa dalam sanubari: semoga saja dengan ijin Tuhan mobil tersebut kembali nyala. Tentu nyala bukan karena dilalap api tapi cukup mesinnya saja yang nyala. 

Dengan berat hati layaknya prajurit meninggalkan medan perang, ia menarik tuas gas sepeda motornya. Disisirnya jalanan di bawah Jalan Layang Pasupati. Setiba di lampu merah Jalan Taman Sari, ia disambut oleh musisi jalanan: pemuda yang memainkan biola. Belum dua kali reff, pemuda itu sudah menyodorkan topi ke arahnya, lantas ia dengan kalemnya membalas dengan senyum. Tentu ia lelaki yang memegang teguh mahzab “senyum itu ibadah”. Maka dari itu ia selalu mengedepankan senyum daripada uang.  

Gawai yang diletakan dalam celana jeansnya tak berhenti bergetar. Ia tahu mungkin getar tersebut dihasilkan dari puluhan notifikasi yang hinggap digawainya. Ia pun sudah bisa menebak apa isi dari notifikasi-notifikasi tersebut. Maka ia pun tak punya niatan untuk segera membuka gawainya, ia tarik kembali tuas gas sepeda motornya. 

Kali ini tak terdengar sedikitpun lantunan kata-kata penyejuk hati yang keluar dari mulutnya. Sebab setelah melewati kemacetan depan lapangan Gasibu. Jalannan aman sentosa. Maka tak perlu waktu lama ia sudah tiba di Jalan Ganesha. Di parkirkanlah sepeda motornya di depan Taman Kubus. Belum semenit memarkirkan motornya, tiba-tiba di belakang ia sudah berdiri lelaki berkumis dengan gestur menagih uang parkir. Kali ini ia tak memakai mahzabnya, sebab ia tahu senyum tersebut tak akan berhasil pada seorang juru parkir. 

Disodorkanlah uang pecahan dua ribu. “Nih mang.” Lantas ia langsung masuk ke area kampus menuju gedung pembangunan. Namun ia ingat, ia tidak tahu persis lokasi gedung tersebut berada. Akhirnya ia menanyakan pada satpam yang kebetulan sedang melintas di depannya. “Kang, bade tumaros, pami gedung pembangunan palih mananya?” 
“Oh, ini mah ada di deket gedung UPT Bahasa, akang dari sini tinggal lurus aja ikuti lorong, setelah melewati tangga masih lurus aja, setelah itu naik tangga lagi, lalu pas tidak ada tangga lagi akang belok kanan lalu belok kiri, nah sebelah kanan gedung tersebut berada.” Jawab Pak Satpam.
“Muhun, kang hatur nuhun.” Ia pun bergegas mengikuti arahan pak satpam.

Baru saja berjalan sekitar 100 meter ia menemukan jalan cagak, yang tak disebutkan oleh si satpam. Sontak jalan cagak tersebut membuat distraksi pada otaknya yang menyebabkan seketika saja ia lupa akan arahan pak satpam. Terpaksa dan sungguh terpaksa ia harus mencari orang dan bertanya lagi mengenai letak gedung tersebut. 
Baca Juga: Terima Kasih Tuanku
Kali ini seorang mahasiswi berwajah padang pasir menjadi incarannya. “Assalammuallaikum yah ukhti, maaf mengganggu sebentar, bolehkan saya bertanya? Apakah ukhti tahu lokasi gedung pembangunan ini dimana?” ia berkata. 
“Walaikumsalam, maaf mas saya tidak tahu saya bukan mahasiswi sini, saya lagi diajak temen saya kesini, untuk liat-liat kampus barunya, maaf yah mas.” Jawab gadis tersebut. 
“Oh baiklah maaf sudah mengganggu yah, silahkan melihat-lihat lagi.”

Ia tak menyerah. Kini sasarannya tertuju kepada gadis oriental.
“Mbak maaf ganggu waktunya sebentar, mbak tahu letak gedung pembangunan di sebelah mana?” Ia berkata. 
“Maaf saya tidak tahu mas, coba tanyakan ke bagian TU yang ada disana.” Jawab gadis oriental tersebut. Mungkin hari ini ia benar-benar sedang tak beruntung. 

Bukannya bertanya kepada petugas TU, pandangannya malah melimpir ke gadis berkulit langsat yang nampak ayu dari kejauhan. Berjalanlah ia menuju gadis tersebut. Belum sampai lima meter, ia mengurungkan niatnya. Perasaannya mengatakan Ia harus bertanya kepada petugas taman. Beruntunglah dekat dari gadis tersebut ada sebuah taman yang kebetulan juga terdapat sebuah lampu taman yang di bawah lampu tersebut ada petugas taman yang sedang jongkok dan mencabuti rumput liar di taman. 

“Permisi mas, ganggu sebentar, saya mau tanya lokasi gedung pembangunan di sebelah mana yah?” Oh itu mas di ujung sebelah sana, mas tinggal ikutin saja jalan ini deh.” 
“Baiklah mas terima kasih banyak yah.” 

Ia segera melihat jam di tangan kirinya, jamnya sudah menunjukan pukul dua. Ia kini sudah sangat terlambat untuk menghadiri diskusi. Saat itu juga gawainya masih terus bergetar. Namun ia tak menghiraukannya. 
Segeralah ia melangkah kaki menuju gedung tersebut. Sebab ia tak ingin lagi menghabiskan waktu sebab ia sudah sangat terlambat. Setibanya di depan gedung pembangunan ia cukup kaget, sebab gedung tersebut pintu depannya terkunci oleh gembok. Kata-kata penyejuk hati mulai keluar lagi. “Pasti ini ada yang tidak beres, jangan-jangan si Roni ngibulin urang.” Lantas ia membuka gawainya. Ia membuka surat elektronik di gawainya, kemudian membuka surat undangan diskusi tersebut, ia melihat dengan seksama. Tertera di undangan tersebut lokasi undangan Kampus ITB Jalan Raya Jatinangor. “Kampret saya salah baca, kayanya harus ganti kacamata yang lebih tebal.” (upi)
  


Sebelum membaca cerita dibawah ini, disunahkan untuk membaca dulu cerita dengan judul Kamu Datang dan Pergi Terlalu Cepat. Biar lebih nyambung bacanya siapa tahu udah nyambung mah bisa dibawa ke jenjang yang lebih serius. 

Hari ini akhirnya tiba juga; saat Raya harus rela ditinggal Naya untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Bisa jadi Raya akan ditinggalkan dengan berhari-hari, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun atau mungkin Naya tak akan kembali. Kepergian Naya ini sangatlah mengejutkan Raya. Hanya berselang satu minggu sebelum Naya pergi, ia mengabari Raya.

Ia kira Naya hanya bergurau soal kepergiannya. Tenyata dia benar-benar serius. Saat itu waktu terasa terhenti sejenak. Raya tak bisa berkata apa-apa. Harus diakui pertemuan mereka memang terlalu singkat. Tapi setiap kejadian bersama yang mereka lalui akan selalu hidup dalam ingatan Raya. Naya memang seorang wanita yang nyaris sempurna, yang telah berhasil membuat lelaki itu jatuh hati. Setiap hari Raya selalu ingin kembali ke waktu itu, kemasa dimana mereka habiskan waktu bersama.

Bandara Husein Sastranegara tak pernah lebih menyesakkan daripada hari ini. Bukan, karena ramainya pengunjung dan suara gaduh puluhan roda troli yang diseret kesana-kemari oleh para pramugari, tapi di tempat inilah ia akan ditinggalkan oleh Naya. Disinilah kata perpisahan dengan iringian sendu dan air mata akan tercipta dari dua insan yang hidup di bumi.

Sebelum berangkat, ia peluk erat Naya, dalam hati kecilnya ia berkata “Tuhan untuk hari ini saja ijinkan aku jadi hamba yang cengeng, air mataku tak bisa dibendung lagi”. Seketika itu juga punggung Naya mulai terbasahi tetes air mata Raya.

“jaga dirimu baik-baik. Aku selalu merindukanmu,” bisik Raya ke telinga kecil Naya.

Tubuhnya semakin erat memeluk Naya. Ia tau mau pelukan itu berakhir. Ia ingin lebih lama merasakan hangatnya tubuh Naya dan wangi parfumnya yang semerbak. Tapi waktu tak menyetujuinya.

Dilepaskanlah pelukan itu dengan lembut, Naya memasang wajah yang seolah tegar dengan keadaan ini. Dia tak mau menambah beban kesedihan yang dirasakan oleh Raya. 

“Aku akan selalu menunggu dan menyambut kepulangmu.” Pelan dan sedikit tersendu-sendu ia katakan pada Naya. Beberapa kata perpisahan pun terlontar dari mulutnya yang lambat laun semakin kabur tertutupi tangisnya yang semakin keras namun terasa lembut.

Lambaian tangan itu, tangisan itu, ucapan itu mengiringi kepergian Naya. Dia perlahan menghilang di tengah ramainya bandara. Sosoknya semakin hilang tak berbekas di balik pintu keberangkatan domestik.
                                                                                 
Kepergian Naya ke kota Khatulistiwa dengan waktu yang belum pasti kepulangannya, adalah sebuah jalan hidup yang telah dia ambil. Raya tak bisa melarangnya karena saat ini ia bukan alasan untuk Naya tetap bertahan disini. 

Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam dan hari demi hari terasa berputar lebih lama semenjak kepergian Naya. Komunikasi mereka memang masih terjaga. Setiap malam selalu ada kabar yang datang, entah kabar dari Raya terlebih dahulu atau sebaliknya.

Semua masih terasa sama dan terjaga seperti sebelum kepergian Naya. Hingga 6 bulan kemudian, kerinduan mereka semakin memuncak. Apalagi mereka tak bertemu secara nyata setelah hari itu di bandara, hanya lewat aplikasi smartphone dengan modal kuota mereka saling berkomunikasi. Kadang mereka melakukan video call semalaman suntuk sampai salah satu dari mereka tertidur, hanya untuk melepas dahaga rindu.
Baca Juga: Aku dan Bandit Kecil
Namun dahaga rindu memang tak akan hilang begitu saja hanya dengan menatap wajah seseorang di layar smartphone. Malah kerinduan itu akan semakin merindu atau semakin memudar. Merindu karena rasa rindu ingin bertemu yang tetap terjaga atau malah memudar karena salah satu dari mereka mulai terbiasa tanpa kehadiran seseorang. Memang sudah paling benar obat rindu yang paling mujarab adalah bertatap muka langsung yang dibumbui dengan pelukan hangat yang akan membuat hati nyaman dan damai.

Saat ini jarak memang jadi persoalan serius bagi mereka. Karena sebuah komunikasi tanpa kontak langsung lambat laun akan mulai meregang. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya komunikasi mereka semakin hambar. Bak sayur tanpa garam. Tapi mereka tetap berusaha untuk saling menjaga komunikasi. Kadang mereka hanya menyapa dipagi hari dan membalasnya di sore atau malam hari.

Semua berjalan terasa lebih lambat dari sebelumnya, hingga kabar terakhir yang didapatkan Raya adalah: Naya memberitahukan bahwa dia disana sudah menemukan teman yang hampir selalu ada untuk dia. Namanya Riga, dia bercerita Riga adalah sosok yang selalu menebar senyum dan selalu bersikap manja kepada Naya.

Sontak kabar ini membuat shock Raya. Raya berpikir bahwa Naya telah menemukan sosok pengganti dia disana. Ia mulai berkecil hati, tak ada tempat lagi di hati Naya untuk dia. Ia memang saat ini tak bisa selalu ada disamping Naya. Bukan karena tak ingin tapi jarak dan kesibukannya menjadi persoalan nyata baginya.

Setelah kejadian itu, Naya malah semakin sering menceritakan tentang Riga. Namun Raya selalu ragu untuk menanyakan siapakah sebenarnya Riga itu. Apa hubungan yang dia jalin dengan sosok yang bernama Riga itu. Ia pikir, ketika ia bertanya tentang hal itu, hanya akan membuat semakin runyam dan semakin berjaraknya komunikasi diantara mereka. Apalagi raya adalah sosok yang cukup temperamental dan agak keras kepala tapi ia selalu merasa bersalah diakhir dan menyalahkan diri sendiri.  

Naya mulai merasakan ada perubahan terhadap diri Raya. Balesan chatnya kini tak sehangat dulu. Ia sekarang jadi tak asik lagi, chatnya dibalas dengan singkat-singkat. Melihat perubahan ini Naya berpikir apakah penyebabnya karena sosok Riga yang selalu dia bicarakan. Padahal bagi Naya, Raya masih tetap menjadi orang yang dia cinta dan sayangi, karena cinta dan sayang Naya ke Riga tak lebih hanya kepada sesosok orang utan yang dilindungi negara yang kebetulan dia temui di penangkaran orang utan dekat kantor dia bekerja.

Photo Credit to bostonherald.com



Malam yang begitu dingin menusuk kesetiap inchi tulang. Memaksa lelaki dan perempuan itu untuk masuk ke sebuah warung kopi di bilangan Pasirkaliki. Tentu warung kopi tempat yang tepat, murah dan bisa menghangatkan tubuh dari dinginnya malam.

Lelaki itu memakai baju merah bergambar kartu joker, celana jeans lusuh dengan robekkan tepat dilututnya, dan sandal capit warna hijau. Dari raut wajahnya menunjukan ia berumur sekitar tiga puluh tahunan. Sedangkan si perempuan terlihat lebih muda mungkin berumur sekitar dua puluh dua tahunan. Dia punya rambut hitam panjang terurai, tubuh putihnya ia balut dengan tank top dan paha mulus tanpa bulu ia tutupi dengan rok merah jambu, lima centimeter di atas lutut. Dia juga pakai gincu merah di bibir manisnya.

“Mau minum apa?" Tanya si perempuan
“Aku mau minum wedang jahe aja,” kata si lelaki
“Baiklah, kalau aku mau pesan kopi saja”
“Sejak kapan kamu suka kopi? Ko aku ga tau sih"
“Makanya banyakin waktu bareng aku” cetus si gadis
“Hushhh” Si Lelaki dengan nada cukup kesal

Dipanggilah penjaga warung. Penjaga warung kopi itu seorang ibu paruh baya dengan gelang emas di tangannya. Lalu si lelaki menyebutkan dengan fasih pesanannya. Tak perlu menunggu waktu lama, pesanan mereka datang. Secangkir kopi panas dan segelas wedang jahe.

“Hari ini aku belum dapat uang sepeserpun” keluh si perempuan
“Sabar, kalau sudah rezekimu pasti bakalan datang, banyakin senyum aja”
“Yaelah, apa hubungannya rezeki sama senyum”
“Ada donk, tapi aku malas beritahu kamu. Pikir aja sendiri!”

Si gadis menyeruput kopi yang ia pesan dengan nikmat. Sementara di luar hanya terlihat satu dua kendaraan yang lewat. Sinar lampu remang-remang memberikan penerangan yang seadanya di jalan sempit itu.

Berselang sepuluh menit kemudian terlihat seorang pria berdiri di dekat tiang lampu. Tentu si perempuan penasaran dengan apa yang sedang di cari si pria dekat tiang lampu tersebut.

“Aku pergi dulu yah, siapa tahu orang yang disana bisa membawa aku pada pundi-pundi uang, kamu bayarin kopi aku yah!”
“Oke, jangan lupa kunci kamarnya yah”
“Tenang aja, semua udah aman”

Lantas ia pamit pada si lelaki yang berada disampingnya dan bergegas menghampiri pria itu. Sementara si lelaki masih duduk di warung kopi, menghabiskan wedang jahenya.

“Mas, ada yang bisa saya bantu” Si perempuan sambil melempar senyum nakalnya
“Eh, mbak. Saya lagi bingung cari penginapan murah sekitar sini”
“Kebetulan sekali saya punya penginapan murah yang bisa disewa jam-jamanan atau harian”
“Boleh saya lihat dulu, mbak!”
“Boleh banget, yuk ikut saya!”

Si perempuan mengajak si pria itu untuk menuju penginapan. Mereka berjalan kaki menuju penginapan, si pria terlihat cukup heran melihat banyak sekali wanita seksi berjajar, bak semua mannequin si etalase toko. Ia ingin menanyakan pada si perempuan tapi ragu.
  
Akhirnya mereka sampai di penginapan. Lantas si perempuan membuka kunci penginapan tersebut. Terlihat seekor kucing sedang tidur di salah satu sofa, entah masuk lewat mana. Si perempuan tak mau tahu dan langsung mengusir kucing dari tidurnya yang nyenyak. Penginapan tersebut merupakan rumah dengan satu ruang tamu dan empat kamar tidur. Mereka berdua masuk ke rumah, dan kamar-kamar yang semula gelap dinyalakan.

Si pria melihat-lihat kamar yang bisa ia pilih untuk di tempati malam ini. Karena sudah terlalu capek si pria langsung memilih salah satu kamar. Setelah memilih kamar lantas si pria nego harga sewa kamar dengan si perempuan. Negosiasi berjalan cukup alot, karena si pria sudah malas keluar mencari penginapan lain, akhirnya ia menyetujui juga harganya.

Si perempuan memberikan kunci kamar kepada si pria. Dan ia meloyor keluar rumah, sambil berkata “Mas kalau cari kehangatan bisa telpon saya aja, itu nomor saya ada di meja.” Si perempuan pulang ke rumahnya yang sebenarnya tak terlalu jauh dari penginapan tadi. Dimana si lelaki di warung kopi yang merupakan suaminya sudah menunggu ia dirumah. 
Photo Credit to allsportsjewelry.info   
Older Posts Home

Postingan Populer

  • Jelajahi Villa Isola Dalam Satu Babak
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan
  • Cara Pasang Grip Karet Raket Lining Asli
  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog Archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes