Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop

Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.

Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut. Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.

Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.

Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java 

Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000 gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua, coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek bernama C.P. W Schoemaker.

Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola. Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.

Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.

Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau hanya ornamen.

Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal. Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung Tangkuban Perahu.

Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja. Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi salah satu bangunan cagar budaya ini.

Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So berharap dulu sambil berusaha.

Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan. 



Taman Bunga Sindangsari Paseh Bandung

Siang itu, ibu secara dadakan mengajak saya pergi ke Taman Bunga Indah Sindangsari. Katanya taman bunga ini baru saja dibuka. Masih kata ibu, letaknya tidak jauh dari lapang katel. Sebuah lapang bola yang cukup fenomenal bagi anak-anak SSB (Sekolah Sepak Bola) di sekitar Majalaya. Berhubung saat itu memang tidak ada kegiatan, saya pun mengiyakannya.

Berangkatlah saya ke sana dengan dua motor, saya, ibu, ayah dan adik. Dari Majalaya melaju ke arah jalan raya Talun, belok ke Jalan Panggilingan, kontur jalan mulai menanjak, melewati Kampung Pasir Angin, terus mengikuti jalan ini sampai menemukan perempatan Sudi. Dari sana barulah belok kiri menuju jalan tanah dan batu. Namun tenang jalan tanahnya pendek sekitar 500 meter saja, setelah itu bakal segera menemui jalan beton.

Jika sudah menemui jalan tersebut, bakal terlihat pagar bambu menjulang dan sebuah monumen bambu. Itu adalah Taman Bunga Indah Sindangsari yang ibu maksud. Taman yang menjadi satu destinasi wisata yang berada di jalan Pakacangan Desa Sindangsari Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung.

Kami pun segera masuk dan memarkirkan kendaraan. Saat itu masih belum banyak pengunjung. Karena memang kami datang ketika matahari lagi panas-panasnya. Untuk masuk ke taman bunga dikenakan karcis, sepuluh ribu untuk dewasa dan lima ribu untuk anak-anak.       

Tiket Taman Bunga Sindangsari Paseh

Memasuki area taman, saya disuguhi sejumlah hiasan bambu warna-warni. Terlihat juga spot-spot foto instagrameble. Area taman ini berada di lembah sehingga memiliki kontur turun naik. Kami pun berkeliling sambil melihat-lihat. Situasinya taman ini tergolong kering jika dikategorikan dalam wisata taman bunga. Lantaran varian-varian bunga ada belum beragam dan ada beberapa yang terlihat kekeringan. Kemudian belum ada pohon besar sebagai peneduh.

Baca juga: Berbagi Kecerian Bersama Open Trip

Kami pun memutuskan untuk bertunduh di sebuah gubuk yang tersedia. Saat itu ada 6-7 gubuk yang tersedia beserta tiga warung. Jadi jangan takut kelaparan yang penting sediakan uang aja, apalagi kalau bawa anak-anak. Jajanan pun tergolong murah meriah di warung yang saya singgahi paling mahal jatuh ke makanan bernama mie paket lengkap dengan harga sepuluh ribu. Worth it banget deh.

Spot Taman Bunga Sindangsari Paseh

Menurut penjaga karcis, Taman Bunga Indah Sindangsari ini memang baru saja buka. Sehingga beberapa fasilitas masih dibangun dan terus ditambah. Hal itu memang benar adanya, ketika saya di sana ada seorang tukang yang tengah membuat satu bangunan dari bambu. Selain itu ia bercerita bahwa di sini agak susah air jika masuk musim kemarau. Karena air harus gantian dengan yang lain. Sehingga tak heran bila saat itu ada beberapa tanaman yang mengering.

Melihat fasilitas yang tersedia saat ini, saya beranggapan bahwa dengan harga karcis sepuluh ribu dirasa cukup mahal. Karena dalam bayangan saya tempat wisata kaya gini menjual kesan dan pesan. Kesan yang bikin ingin balik lagi, lagi dan lagi serta pesan untuk menyampaikan bahwa tempat tersebut harus dikunjungi para pelancong.  

Artikel Populer: Museum Gedung Sate, Museum yang Kekinian 

Saya juga menyarankan untuk menambah spot jual beli tanaman hias atau bunga. Selain menambah asri tentu bisa jadi pemasukan dan menggerakan ekonomi setempat terutama mereka yang bergelut di bidang tanaman hias.  

Saya pun berharap di kunjungan berikutnya, yang entah kapan. Taman Bunga Indah Sindangsari dapat memenuhi ekpestasi saya mengenai wisata taman bunga. Sejauh mata memandang hanya ada hijau hijau dan hijau yang diselipkan warna—warni bunga. Setelah ini kabarnya ibu mau mengajak kami mengunjungi taman bunga berikutnya yang ada di daerah Cijapati, kabarnya di sana ada kincir-kincir raksasa.



jalan kaki walking Jogja

Sejarah mencatatkan berbagai kisah perjalanan manusia dengan berjalan kaki. Tentu perjalanan pertama manusia ditempuh oleh Nabi Adam dan Hawa. Keduanya berjalan kaki untuk saling bertemu di suatu tempat yang telah ditakdirkan.  

Dalam konteks masa lalu berjalan kali diidentikkan sebagai salah satu cara untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Cara ini dilakukan mengingat belum ada transportasi yang diciptakan, paling joss yah pakai kuda. Itu pun tidak sembarang orang yang bisa pakai.      

Di Jawa Barat sendiri khususnya Bandung, saya mengenal kejadian jalan kaki yang cukup syarat emosi dan peluh. Pertama Peristiwa Bandung Lautan Api, meninggalkan secarik kisah tentang pengungsian warga Bandung saat itu. Warga Bandung diharuskan berjalan kaki berpuluh kilometer ke arah selatan (sampai Majalaya) untuk mengungsi dari pembumihangusan Bandung.

Peristiwa tersebut masih dapat ditelusuri oleh kita. Salah satu bukti bahwa perjalanan ini benar-benar terjadi adalah sepanjang jalan raya Bandung menuju Majalaya dinamai Jalan Laswi (Laskar Wanita Indonesia). Salah satu laskar bentukan Yati Aruji (Istri Arudji Kartawinata), yang turut mengungsi ketika peristiwa tersebut. 

Kedua kisah longmarch Siliwangi, pasukan divisi III Siliwangi harus hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta.  Ini berkaitan dengan perjanjian Renville yang menyepakati pihak Republik harus menyerahkan Jawa Barat pada Belanda.

Peristiwa ini sangat fenomenal bagi Indonesia, karena tak hanya prajurit Siliwangi saja yang hijrah tapi diikuti oleh keluarga, istri dan anak mereka. Dari Jawa Barat ke Yogyakarta kemudian kembali lagi ke Jawa Barat.

Baca juga: Aku, Kalian dan Pengalaman Menuju Dewata

Kedua peristiwa tersebut bisa menjadi cerminan bahwa berjalan kaki tak bisa dilepaskan dari kisah manusia. Namun di tengah arus modern seperti sekarang, berjalan kaki jarak jauh, dirasa hal tak lumrah. Lantaran kini sudah tercipta berbagai macam moda transportasi yang bisa mengangkut seseorang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Akan tetapi percayalah bahwa masih ada yang terpaksa berjalan kaki dengan berbagai alasan dan motif tertentu. Semua bermula dari perbicangan di grup WhatsApp. Seorang kawan mengshare informasi tentang kakek yang minta ongkos untuk pulang dari Bandung menuju Sumedang.

Lalu seorang anggota grup menimpali bahwa seperti ada yang aneh dengan hal tersebut. Kemudian seorang kawan lain berbagi pengalaman bahwa kejadian seperti itu pernah menimpa dirinya dan itu hanya modus untuk mencari uang. Menjual iba.

Dari sana sontak perbincangan melebar, hingga menemui titik temu bahwa sebagian anggota grups pernah melakukan jalan kaki jarah jauh (dalam hal ini lebih dari 10 km). Ada yang berjalan kaki dari kampus di daerah Bandung utara hingga ke Bandung Selatan, ada juga yang jalan kaki dari Nagrek menuju Soreang. Bagi yang ga tahu sama daerah ini, waktu dan tempat kami persilahkan untuk buka google maps.   

Mayoritas dari alasan kenapa bisa berjalan kaki sejauh itu adalah tak adanya ongkos. Maklum saat itu mereka adalah pemuda-pemudi yang masih mengandalkan subsidi dari orang tua. Sehingga uang masih tergolong seret, dan mudah tergoda dengan jajanan.  

Saya pun memiliki pengalaman berjalan kaki jarak jauh di kota orang. Tepatnya di Yogyakarta. Saat itu saya beserta kedua teman mengunjungi Yogyakarta untuk mengantar seorang kawan pamit ke kantornya sambil membawa barang-barangnya ke Bandung.

Baca juga: Sepanjang Jalan Dewa(ta)

Saya sengaja ikut untuk nebeng jalan-jalan di kota Gudeg tersebut. Pasca turun dari Stasiun Lempungan, saya diajak berjalan kaki menuju Malioboro. Saya kira jaraknya dekat, ternyata lumayan jauh bagi saya yang tidak biasa jalan kaki. Malam harinya dari Malioboro beranjak menuju Pasar Condronegaran Gedong Kiwo memakai trans Yogyakarta. Di sana kami berencana makan dimsum. Karena terlampau malam dari Pasar Condronegaran Gedong Kiwo tak ada trans Yogyakarta. Akhirnya kami harus berjalan kaki menuju Malioboro. Iki perjalanan bikin dengkul aus rek. Beruntung Jogja saat itu masih sejuk-sejuk dingin sehingga keringat tak bercucur terlalu deras.

Saya tak mencatat berapa kilometer yang sudah kami tempuh, tapi ketika melihat google maps. Saya kira sudah jaraknya cukup lumayan rek. Saya merasa dikerjain oleh teman saya, tapi apa daya seorang kawan emang harus begini saling mengerjain biar ada cerita. Sisi baiknya saya hemat ongkos, lumayan ongkosnya bisa dipake jajan enak, bakpia tugu dan ngopi senja. Singkat malam hari itu juga kami pun pulang ke Bandung memakai kereta. Selama di kereta kami tertidur lelap.

Tentu dari hal ini saya berasumsi bahwa pada kondisi tertentu manusia akan disisipi kisah tentang jalan kaki. Entah itu dalam kondisi terjepit hingga dikerjain oleh kawan. Seperti kata iklan susu kesehatan, ayo jalan kaki sepuluh ribu langkah setiap hari.



Ilustrasi gambar elf | Sumber: Coretan Sang Putri
Pada sebagian masyarakat pedesaan, antar kota di Jawa Barat dan pelaku bisnis travel, pasti sudah familiar dengan mobil berbadan besar yang bernama isuzu Elf. Kemasyurannya di bisnis jasa angkutan umum atau travel bukan lagi isapan jempol belaka. Namun dibalik itu semua, isuzu Elf menyimpan kisah dan kenangan yang menyertai sanubari para penumpangnya. Jadi begini ceritanya!

Cerita keakraban saya dengan elf (mobil peri) beserta sopirnya terjadi semasa SMK pada tahun 2008. Selepas lulus SMP, saya ditawari dua pilihan oleh orang tua, pertama meneruskan SMA di desa (sebut saja Majalaya) atau hijrah ke kota (sebut saja Bandung) tapi harus mendaftar SMK. SMK bisa!

Sebagaimana citra sebuah kota, sebuah tempat peraduan dan perubah nasib. Pasalnya segala hal selalu terlihat lebih baik di kota. Dengan pemikiran hal itu, saya menjatuhkan pilihan untuk masuk SMK di kota Bandung.  

Selanjutnya, saya dihadapkan dua pilihan berikutnya. Pertama jadi anak kost atau anak jalanan (pulang pergi Majalaya-Bandung). Saya tidak memilih untuk ngekost, alasan saya sengaja PP (pulang-pergi) berharap bakal dibelikan motor. Harapan anak di usia saya saat itu.  

Namun kenyataan memang pahit, permohonan motor kepada orang tua tak digubris. Salah dua alasannya yakni belum lunasnya kredit motor bapak dan saya masih di bawah umur untuk menggunakan sepeda motor ke kota. Akhirnya dengan berat hati, saya harus rela PP menggunakan elf.

Setiap hari saya harus bangun jam 4 pagi, supaya saya bisa naik elf kloter pertama pada pukul 4.30 – 5.00 pagi. Dengan menggunakan kloter pertama jaminan saya tidak akan terlambat sekolah sangat besar. Di dalam elf saya akan melanjutkan tidur dan terbangun ketika sudah berada di terminal Kebon Kelapa. Lalu naik angkot hijau bernomor 02 satu kali, baru tiba di sekolah.

Jarak Majalaya-Bandung sekitar 26 KM. Dengan menggunakan elf, bisa dijangkau sekitar 40 menit. Padahal normalnya sekitar 1 jam. Pencapaian yang hanya bisa diraih oleh elf, sebab angkutan lain belum tercatat menorehkan pencapaian serupa.
Baca juga: Kisah Si Byson yang Terlupakan Layaknya Mantan
Soal kecepatan, sopir elf ahlinya. Mereka kerap memaju mobil mini bus ini dengan kecepatan kilat, manuver di tengah sempitnya jalan pinggiran kota yang hanya dua lajur. Tak percaya coba sesekali naik elf! Adrenalinmu akan berpacu Madonna.
     
Saya pun sempat bertukar cerita dengan salah satu sopir angkot. Bahwa kebanyakan sopir elf adalah mantan sopir bus malam antar kota antar provinsi. Sehingga mereka kerap memiliki hasrat untuk memacu pedal gas lebih dalam, dalam, dan dalam lagi, ditambah elf menjembatinya. Duarr kolaborasi hebat terjadi.

Selain itu, sopir elf adalah pribadi yang kreatif dan banyak akal. Kursi depan yang seharusnya dua berubah menjadi tiga penumpang. Orang paling kanan (dekat dengan sopir) akan ngangkangin tuas pengoper gigi. Hati-hati dengan barangmu. Ruang duduk sopir menjadi amat sempit, ia harus duduk miring dengan posisi pantat yang lebih dekat ke pintu mobil.

Dalam kondisi seperti itu sang sopir masih bisa melajukan mobilnya dengan enjoy, seolah tak terganggu dengan posisi berkendara. Padahal saya yang pernah berada di antara tuas pengoper gigi merasa terancam dan tak enak.

Isuzu Elf pertama kali diperkenalkan di pasar otomotif tanah air pada tahun 1995 dengan mengusung dua tipe yakni light truck dan minibus. Berbekal mesin berkapasitas 2800cc diesel direct injection. Dengan cc sebesar itu membuatnya tangguh di kelasnya, tenaga yang dihasilkan bisa mencapai 100 tenaga kuda. Selain itu, mini bus ini termasuk ringan sehingga memudahkan untuk berakselarasi di berbagai kondisi jalanan.

Meski konsumsinya solar, mobil ini tak kalah irit daripada mobil carry yang biasa dijadikan angkot. Pantas saja banyak elf jadi transportasi antar kota di daerahh-daerah. Wong bensinya irit.  
Pada satu waktu dan tempat berbeda, mobil elf layaknya pesawat hercules milik TNI yang siap membawa logistik ke desa terpencil dan terisolasi. Saya menyadari hal itu ketika melihat mobil elf jurusan Dewata-Ciwidey. Eits Bukan Pulau Dewata loh.

Dewata adalah desa terujung yang berada di Perkebunan Teh Dewata, Kabupaten Bandung. Untuk sampai di sana setidaknya kita harus melewati hutan lindung Gunung tilu lalu perkebunan Teh Dewata. Kondisi jalan tergolong terjal dan sempit, di mana masih terdapat jalan makadam di beberapa ruas.
Baca juga: Sepanjang Jalan Dewa(ta)
Berdasarkan cerita warga, Elf hanya beroperasi satu minggu sekali untuk mengangkut warga dan logistik dari kota Ciwidey. Setiap beroperasi tak jarang dua sampai tiga karung beserta satu kasur terjerat tali di atas dak elf. Sementara di bawahnya penumpang yang berdesakan yang tambah desak dengan barang bawaannya.

Secara struktur rangka badan mobil elf tergolong sangat kuat. Pasalnya cassing mobil dan badannya terbuat terpisah. Sehingga bagian badannya bisa di buat secara custom, sejumlah juragan elf lebih senang menggunakan karosesi buatan dalam negeri.

Sama halnya dengan elf Majalaya-Bandung, elf Dewata-Ciwidey tergolong dalam kendaraan keluaran tua. Di mana sudah terjadi karat dan keropos di sejumlah bagian serta terdapat pipa besi di pintu samping mobil. Pipa yang kerap jadi pegangan kondektur ataupun pijakan untuk menaikan barang ke atap mobil.     

Mayoritas generasi tua elf masih dipakai sebagai angkutan umum antar kota terpencil di Jawa barat sementara generasi elf yang lebih muda lebih sering dipakai menjadi mobil biro travel ke tempat wisata. Dari sana kita bisa belajar bahwa setiap generasi mengukir kisahnya sendiri, entah itu suatu barang atau manusia.

Sekali dua tiga kali saya sengaja menggunakan elf dari Majalaya ke Bandung. Demi mengenang cerita masa lalu dan merasakan keperkasaan mobil ini yang tak lekang oleh waktu. 

Photo by Jeremy Bishop on Unsplash
Yamaha Byson 150 cc, motor dengan tampang gahar, kekar tapi ringkih dari dalam dan mulai dilupakan seperti mantan.

Memiliki motor sport adalah impian saya dari dulu. Saya selalu membayangkan memakai motor sport dengan helm fullface, berlenggak-lengkok seperti Valentino Rossi di ajang Moto GP. Namun impian saya itu selalu terkendala mengingat harga baru motor sport cukup tinggi. Teramat tinggi bagi saya yang berpenghasilan di atas UMR sedikit.

Sebenarnya ada dua alternatif yang bisa saya tempuh. Pilihan pertama mengajukan cicilan meskipun bakal membuat hidup saya tak tenang, lantaran dihantui debt collector. Kedua membeli motor sport bekas dari pemilik yang lagi BU (butuh uang). Namun untuk pilihan kedua diperlukan kesabaran dan setitik keberuntungan, karena tak semua penjual motor tengah BU tapi tengah mencari untung.

Setelah berpikir keras dan bemusyawarah secara mufakat dengan orang tua. Akhirnya saya memutuskan membeli motor sport bekas secara cash dari pemilik yang tidak BU. Meninjau budget hasil pengumpulan dan sedekah dari orang tua, terdapat dua pilihan yakni Honda Megapro atau Yamaha Byson karburator.

Menimbang dari segi harga, Honda Megapro lebih tinggi daripada Yamaha Byson. Selain masalah harga yang tidak cocok, menurut saya Megapro tuh terlalu kebapak-an, terlebih saya melihat motor ini kerap dipakai para orang tua berstastus PNS (termasuk paman saya) atau pengendara ojek pengkolan pasar yang sering menerima order ngangkut sayur.

Saya sedikit heran dengan murahnya harga Yamaha Byson. Kabarnya harga yang teramat murah itu dikarenakan minat masyarakat terhadap motor ini sangat minim. Konon motor ini memiliki sejumlah masalah sehingga tidak menjadi pilihan pertama. Tetapi bisa menjadi pilihan awal bagi pengendara yang mencoba hirjah dari motor bebek ke motor sport.    

Motor Byson memiliki aura motor besar. Hal tersebut tercermin dari perawakan yang besar, suspensi type monocross, ban tebal maka tak salah jika nama kuda besi ini Byson. Saya sebagai orang yang lebih kepincut tampang luar daripada dalam tentu akan memilih Yamaha Byson.  

Secara pamor pun Byson kalah bersaing dengan saudaranya yang bercc sama, V-ixion. Sejak kemunculannya V-ixion sudah mengadopsi teknologi injeksi yang membuat ruang mesin berpacu lebih efektif sehingga konsumsi bahan bakar lebih efektif dan tarikan lebih bertenaga.

Namun soal keiritan saya pikir Byson cukup irit, rata-rata pemakaian satu liter bisa menempuh 40 km untuk type karburator. Daya tampung bahan bakar yang bisa mencapai 12 liter membuat saya jarang mampir ke SPBU. Kalau dihitung-hitung saya hanya singgah satu kali dalam seminggu untuk memberi minum si Byson. Itu untuk pemakaian dalam kota saja.

Untuk perkara tenaga, saya terpaksa setuju bahwa motor Byson memiliki tarikan yang loyo. Terutama di tarikan awal. Pernah saat itu, saya berhenti di lampu merah, sebelah saya ada motor beat. Ketika lampu hijau, si Byson kalah start dibanding motor beat yang miliki tagline si gesit irit. Sementara si Byson memiliki filosofi ‘Keperkasaan Tiada Tanding’ sehingga soal tenaga adalah hal lain. Oleh karena itu saya tak kuat dan berani membandingkan kecepatan dengan motor sport lainnya.
    
Untuk mengatasi hal tersebut, saya membobok knalpot yang diharapkan tenaga si Byson tidak ngeden, tapi resikonya suara knalpot lebih bising, tapi kalau mata merem serasa motor moge loh. Masalah lain yang muncul adalah motor saya menjadi tak ramah lingkungan dan polisi. Pernah satu ketika saya kena tilang lantaran knalpot yang tidak standar.  

Akan tetapi pasca dibobok, tenaga yang dikeluarkan tidak terlalu signifikan, mungkin sedikit naik daripada sebelumnya. Berdasarkan riset dari internet, kabarnya saya harus mengganti karburator Byson dengan Scorpio Z agar lebih gahar. Namun saya mengurungkan niat karena terbatasnya budget sehingga saya harus lebih sabar dengan si gemuk yang loyo ini.

Saya pun sering mengobati diri dengan cara berpikir bahwa berkendara di kota yang lebih sering macet daripada lengang lebih membutuhkan irit daripada tenaga. Akan tetapi obat itu hanya fana di kala momotoran ke luar kota saya haus akan gas kencang apalagi di jalanan sepi. Seperti kata teman saya bahwa membawa motor sport selalu ada keinginan untuk ngebut. Yah saya setuju dengan hal itu.
 
Masalah mulai muncul ketika pemakaian tahun kedua. Si Byson bekas yang saya beli sudah tergolong tua, usianya hampir menyentuh 9 tahun. Si Byson mulai sering meronta dan ngadat. Pernah suatu ketika saya yang tengah pulang dari Bandung ke Majalaya, si Byson ngadat, mati mendadak di jalan. Saya pikir habis bensin, ternyata tidak. Dengan berat hati dan beratnya si Byson, saya mendorongnya. Beruntung malam itu, saya mendapatkan step dari pengendara lain sampai rumah.

Besoknya si Byson dibawa ke bengkel, ternyata masalahnya ada di kampas kopling yang sudah haus. Saya pun harus menggantinya dengan milik scorpio z lantaran stok kampas Byson di bengkel itu kosong.   

Pada fase ini akhirnya saya menyadari bahwa membeli motor sport bekas itu seperti membeli kucing dalam karung. Selalu ada resiko yang akan ditanggung si pembeli entah itu harus ganti onderdil hingga perbaikan besar-besaran. Meskipun begitu saya tidak terlalu kecewa karena dengan hal itu saya setidaknya jadi lebih tahu soal dunia si kuda besi.

Selain kalah teknologi dari V-ixion, ternyata si Byson kalah terkenal juga dengan motor sport lama keluaran yamaha yaitu Scorpio. Motor Scorpio sudah lebih dulu beredar sejak tahun 2002. Ini terbukti dari kawan saya yang lebih mengenal Scorpio daripada Byson. Padahal di motor Byson saya sudah jelas tertera tulisan Byson.

“Motor maneh teh Scorpionya?

“Bukan, motor urang Byson”

“Lah urang kira Scorpio”

Oleh karena itu boleh dikatakan Byson seperti motor yang terlupakan, sosoknya kala bersaing dari V-ixion dan tak selegendaris Scorpio. Meskipun begitu saya tetap bangga dengan si Byson karena kiwari sudah sangat jarang menemukannya di jalanan. Kalau pun ada bisa dihitung jari.

Sehingga saya boleh lebih berbangga karena si Byson menjadi kuda besi langka yang hampir punah. Sebagaimana Byson di Afrika yang mulai terancam dari kepunahan. Punah ko bangga. Byson pun bukan mantan yang layak di lupakan. Mari pengguna Byson bersatu.



Gunung Tilu Dewata
Pedati kerbau berjalan di jalanan tengah hutan Gunung Tilu. Roda besi pedati menggilas tajamnya bebatuan. Benturan roda besi dengan bebatuan menghasikan dentuman suara. Suara yang memecah kesunyian hutan Gunung Tilu. Pedati itu membawa teh hijau hasil dari perkebunan teh Dewata menuju Rancabolang. 17 Km harus ditempuh menembus lebatnya hutan Gunung Tilu melalui jalan berbatu. Hamparan batu tersebut sengaja dihampar sebagai pelapis perkuatan jalan. Jalan tersebut dikenal sebagai jalan makadam. 

Mendengar jalan makadam sontak melambungkan ingatan saya kepada mata pelajaran konstruksi jalan. Salah satu mata pelajaran yang saya ikuti ketika menempuh jurusan teknik sipil. Makadam dan saya jelas mempunyai keterikatan. Bukan hanya sebagai materi perkuliahan, tetapi makadam telah memberi banyak cerita dalam karir momotoran saya. Salah satu cerita terbaru yang saya lewati bersama makadam, berasal dari jalan makadam Gunung Tilu. Makadam Gunung Tilu bukan hanya menyiksa ban motor saya, lebih dari itu ia telah banyak berjasa meninggalkan pegal-pegal di badan.

Nyatanya teknologi shockbreaker yang tertanam di sepeda motor, terlalu sungkan untuk menekan keganasan jalan makadam. Makadam berjaya, McAdam pun tersenyum. Ketahanan jalan makadam dalam kondisi apapun telah mengantarkan ia menjadi teknologi yang masih digunakan hingga kini. Bahkan jalan-jalan di Indonesia yang menghubungkan satu kampung ke kampung lainnya masih menggunakan jalan makadam sebagai tulang punggung utama. Sedangkan di perkotaan makadam telah bertransformasi menjadi struktur bawah dari kontruksi jalan raya sebelum di hamparkannya cairan hitam pekat bernama aspal.
Baca juga: Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata
Saya tentu tak dapat membayangkan betapa tersiksa jika saya harus melewati jalan makadam di Gunung Tilu dengan pedati. Tanpa ban berteknologi karet, shockbreaker hingga jok empuk, badan ini mungkin akan habis terkoyak-koyak. Motor dengan teknologi terbaru pun dibuat kepayahan. Perjalanan kemarin menembus jalan makadam dan rimbunnya hutan Gunung Tilu menuju Perkebunan Teh Dewata banyak menuai cerita. Beberapa teman bahkan langsung mengabadikannya menjadi catatan perjalanan yang dimuat dalam blog. 

Makadam Perkebunan teh Dewata

Jalan Menuju Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut
Perkebunan Teh Dewata yang sudah berdiri sejak 1932, memiliki daya pikat tersendiri. Perkebunan yang menghasilkan teh hijau ini dikelola oleh swasta. Salah satu daya pikat dari Perkebunan Teh Dewata ialah panorama alamnya yang memanjakan mata. Ini memang benar adanya kala kiriman video dari seorang kawan yang menegaskan keindahan bumi Dewata. Rasa penasaran dan belum tuntasnya janji untuk menginjakan kaki di bumi Dewata, membawa saya dan rombongan bertekad untuk menuntaskan momotoran menuju Dewata.

Pabrik teh Dewata Ciwidey

Pabrik Teh Dewata | © Komunitas Aleut
Namun matahari pulang lebih cepat dari biasanya hingga kami sampai di tanah Dewata dengan kondisi gelap, dingin dan basah. Tapi bukan masalah. Kami hanya perlu menurunkan sedikit ekspetasi agar tak terlampau kecewa. Sebab dengan menurunkan ekspetasi sepiring lotek yang dicampur baso pun terasa nikmat tiada duanya. Terlebih kami harus mengingat perjuangan menuju ke Perkebunan Teh Dewata bukanlah hal yang mudah. Kami harus menempuh jalan makadam, lebatnya hutan Gunung Tilu dan beberapa accident yang menimpa rekan seperjalanan.

Kini pemandangan alam Dewata tak begitu berarti.Hanya hitam pekat terlihat. Kami harus segera memikirkan caranya pulang. Sebab bukan hanya sekedar jalan makadam yang menjadi tantangan. Tapi perjalanan menembus gelapnya hutan menjadi momok yang menakutkan. Hutan belantara yang masih menjadi habitat macan tutul dan surili, membuat kami harus selalu waspada dalam perjalanan pulang. Ketakutan akan binantang buas dan tajamnya batu menjadi bayang-bayang yang enggan pergi. Ketakutan itu menjadi hantu yang bersemayam dalam pikiran masing-masing.  Meminjam kata-kata Abdullah Harapap dalam buku Misteri Perawan Kubur: “Hantu hanya ada dalam khayalan manusia-manusia penakut. Semakin mereka takut, semakin mereka percaya.”
Baca juga: Perjalanan yang Hakiki di Kertasari
Melewati gelapnya hutan Gunung Tilu memunculkan imajinasi saya akan munculnya makhluk-makhluk liar yang keluar dari dalam pikiran saya. Mulai dari munculnya kelinci berwajah babi dari semak belukar, babi berwajah kelinci hingga dinosaurus bergigi kelinci yang mungkin saja dilemparkan dari periode Flintstones. Beruntunglah saya dibuat waras dengan mengingat buku "On The Road" Jack Kerouac yang belum saya tuntaskan. Dan tentunya nona manis asal kebon kopi yang saat itu menjadi boncengan saya yang tetap menjaga kewarasan dalam berkendara.

Ketakutan, kecemasan dan kengerian itu terus berangsur hilang kala saya melihat seberkas cahaya kuning yang terpancar dari bohlam sebuah rumah warga. Terlihat remang memang. Tapi sudah cukup membuat hari lega. Cahaya remang lampu bagaikan harapan yang menyambut saya akan berakhirnya jalan makadam, gelapnya hutan gunung tilu dan bayang-bayang mahkluk dalam pikiran saya. Hingga saya benar-benar lega ketika melihat indomaret.  

Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia
Berbagi kecerian bersama Open Trip © Upi
Aku dan tiga teman dari Aleut, yakni Windi, Putri dan Rizka diundang dalam kegiatan Cheerful Trip yang diadakan oleh start up bernama Open Trip. Start up yang bergerak di bidang teknologi sedang mengembang sebuah aplikasi berupa market place yang akan mempertemukan si pembuat trip dan si travelers. Dalam rangka memperkenalkan aplikasi ini, Open Trip menggandeng tour agency Ekspedisi Nusantara untuk mengadakan kegiatan ini.
Museum Gedung Sate Jawa barat
Museum Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin

Apa yang ada dalam pikiran kalian jika mendengar kata museum? Sepi, takut, kuno, membosankan atau kalian tak terpikirkan sepatah kata pu untuk museum. Jujur saja saya pun berpikiran seperti itu pada mulanya. Namun bayangan itu mulai terkikis ketika saya mengunjungi Museum Gedung Sate. Museum Gedung sate ini merupakan museum baru yang dibangun di  area kompleks Gedung Sate. Awal mula didirikannya museum ini untuk memperkenalkan sejarah panjang dibangunnya Gedung Sate ke masyarakat Jawa Barat dan Indonesia. Terlebih setelah Gedung Sate menjadi kantor Gubernur Jawa Barat memberikan sedikit jarang antara Gedung Sate dan warga Jawa Barat. 

Tak akan ditemui kesan seram, kuno, remang-remang di Museum Gedung Sate. Sebab Museum Gedung Sate di desain dengan menyasar para kaum milineal agar tertarik mengunjungi museum. Sehingga dibuatlah sebuah museum dengan tata letak dan pencahayaan yang memadukan teknologi di dalamnya. Tata letak yang dibuat lebih menarik, menampikan timeline perkembangan Bandung hingga dibangunnya Gedung Sate. Kemudian ada maket yang bisa terbuka, dan pengunjung bisa melihat ruangan-ruangan apa saja yang terletak di Gedung Sate. Salah satu teknologi yang diadopsi di museum ini adalah teknologi layar sentuh seperti layar sentuh milik Tony Stark si Iron Man. Maka saya sendiri dibuat kagum dengan penerapan teknologi ini. Tak cuma itu saja, di museum ini pun terdapat ruangan untuk memutar film singkat mengenai sejarah perkembangan Bandung dan Gedung Sate khususnya. 

Baca juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java

Tak cukup sampai disitu karena museum ini menyediakan wahana berupa Augment Reality. Pengunjung bisa merasakan dan melihat sendiri kondisi Gedung Sate dan sekitarnya dari balon udara. Untuk kalian para pencara spot instagrammeble, terdapat beberapa spot yang sangat kece untuk mengisi feed instagram kalian. Seperti ruangan Virtual Reality dan tembok yang dipenuhi dengan mural-mural kece buatan anak-anak kreatif Bandung. 

Maka tak ayal Museum Gedung Sate sangat pantas untuk menjadikan percontohan museum ini salah satu contoh untuk pengembangan museum-museum di Indonesia agar tercipta sebuah branding baru mengenai museum. Museum harus mampu bertranformasi dengan menerapkan teknologi-teknologi terbaru, agar kelak museum menjadi tempat untuk belajar hal-hal berbau sejarah dan merefleksikan masa depan. 

Mari kita lihat beberapa sudut Museum Gedung Sate yang saya abadikan dalam lensa ponsel. 

Timeline Perkembangan Gedung Sate
Suasana di Museum Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Gedung Sate Bandung
Besi tulangan yang digunakan pada Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Gedung Sate Bandung
Proses pembangunan Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin
Struktur Atap Gedung Sate Bandung
Atap yang digunakan Gedung Sate | Foto Rulfhi Alimudin



Seberapa seringkah kalian mengunjungi café? Setiap hari, seminggu sekali atau sebulan sekali. Keberadaan café untuk saat ini bukan lagi sekedar tempat nongkrong. Saat ini beberapa café telah mengusung konsep perpaduan café dengan buku. Menyediakan buku dan memberikan ruang yang nyaman untuk membaca.

Memang masih dapat dihitung dengan jari konsep café yang memadukan dengan buku. Konsep seperti ini memang bisa dikatakan masih kurang diminati. Terlebih stigma bahwa membaca buku itu hal yang membosankan.  Tetapi ada sebuah café di Bandung yang tetap bertahan dengan konsep seperti ini. Yakni Little Wings Café & Library

Little Wings Café & Library berada di daerah Bandung Utara. Tepatnya di jalan raya Cigadung no 2. Sebuah kawasan yang mayoritasnya digunakan sebagai rumah tinggal. Maka tak heran jika cafe ini menawarkan suasana yang tenang dan udara yang cukup segar.

Akses menuju Little Wings Café & Library bisa dibilang sangat mudah dijangkau karena tak terlalu jauh dari pusat kota. Hanya sekitar 20 menit dari jalan raya PH.H Mustofa bila menggunakan kendaraan pribadi.

Ketika week end kemarin saya dan ketiga teman mengunjungi Litte Wing Café & Library. Sesampainya saya dilokasi, saya langsung melihat bangunan tiga lantai dengan gaya vintage. Sekilas dari luar café ini tak menyerupai layaknya café malah cenderung seperti rumah tinggal dengan halaman yang cukup luas.

Kami melangkah memasuki bangunan Little Wings Café & Library. Ketika pertama kali masuk langsung disambut dengan boneka teddy bear besar dan sebuah sofa cantik. Terdapat juga rak-rak kayu yang berisi puluhan buku yang bisa dibaca di tempat. Suasana lantai 1 ini seperti ruang tamu yang berkonsep girly. 

Karena kami membutuhkan meja yang cukup besar. Maka pelayan cafe merekomendasikan untuk menggunakan lantai 2 karena ada meja yang cukup besar dan nyaman untuk digunakan. Langkah kakipun melangkah menuju tangga. Setibanya di lantai 2 kesan Vintage langsung muncul ketika melihat kursi-kursi dan meja kayu tersusun rapi. Uniknya lagi terdapat  kursi dan meja yang memakai kayu rotan yang diletakan persis di samping jendela. Di dekat mejapun  terdapat sebuah lemari yang di isi beberapa buku keterampilan yang bisa dibaca untuk menghabiskan waktu.

Lantas kami memilih sebuah meja dengan 4 kursi kayu sebagai tempat duduk kami. Suasana di lantai 2 ini bisa dikatakan memakai konsep ruang keluarga dengan beberapa meja besar dan kursi-kursi tempat berkumpul. Terdapat juga sebuah dapur mini lengkap dengan perkakasnya dan hiasan-hiasan oldies. 

Selepas menyimpan tas kami memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Makanan dan minuman disini memiliki menu yang bisa dibilang sangat rumahan dan cukup terjangkau. Sembari menunggu pesanan datang kami penasaran dengan konsep yang dipakai di lantai 3.
Baca Juga: Ngaleut ke Blok Tempe yang Bukan Tahu
Maka kami segera menaiki tangga menuju lantai 3. Dilantai 3 Little Wing Café & Library ternyata membuat kami semakin betah dengan café ini. Karena di lantai 3 dibuat seperti kamar tidur lengkap dengan kasur, lampu zaman colonial, koper dan beberapa kursi dari kayu yang terlihat cukup tua.

Menariknya lagi setiap furniture yang ada di Little Wing Café & Library sangat kental dengan nuansa vintage. Bahkan beberapa furniture terlihat cukup langka dan rasanya hanya dapat di beli di luar negeri. 

Menurut informasi dari pelayan café, setiap lantai di Little Wing Café & Library bisa di sewa untuk mengadakan sebuah acara. Dan yang selalu menjadi tempat favorit adalah lantai 3. Terutama di sewa untuk mengadakan pesta ulang tahun.

Tidak cuma itu saja yang menarik dari café ini. Dibagian luar bangunan terdapat sebuah rumah joglo yang sangat cantik dengan beberapa ornament ukiran khas jawa. Tentunya itu masih bagian dari Little Wing Café & Library yang bisa digunakan.

Selepas puas berkeliling ke setiap sudut ruangan. Kami kembali ke meja di lantai  2 menunggu pesanan datang dan membuka buku yang kami ambil dari rak-rak buku dekat meja. Rasanya kami akan betah untuk berlama-lama membaca buku disini karena suasana yang sangat homey, sejuk dan tenang. 




Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes