Bandung memiliki ribuan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Persebarannya mulai dari jalan Asia Afrika hingga ke Bandung Utara. Kehadiran bangunan-bangunan itu menjadi daya tarik bagi mereka yang berminat pada sejarah dan arsitektur. Nah dalam artikel kali ini, penulis akan bercerita mengenai salah satu bangunan yang dimaksud, yakni Villa Isola atau yang sekarang telah berganti nama menjadi Bumi Siliwangi.
Sebelum pandemi covid-19, saya berkesempatan untuk menyapa
bangunan ikonik di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu saya
diajak oleh Bang Ridwan salah satu dosen luar biasa dan pengelola Komunitas Aleut.
Tentu kesempatan itu tak saya lewatkan, mengingat ini tak akan datang dua kali.
Villa Isola merupakan sebuah vila yang awalnya dimiliki oleh
Dominique Willem Baretty. Pria keturunan Jawa-Belanda yang dikenal sebagai
sosok kaya raya. Kekayaan tersebut berasal dari bisnis media yang ia geluti.
Baca Juga: Resensi Braga Jantung Parijs van Java
Bangunan bergaya art deco ini kabarnya menelan biaya 500.000
gulden. Coba cari tahu kalau dikonversi ke rupiah jadi berapa? Nah bangunan ini
diarsiteki oleh Charles Prosper Wolff Schoemaker. Salah satu arsitek ternama
saat itu di Hindia Belanda. Karyanya di Bandung sangat banyak. Jika kamu lagi
jalan-jalan ke Bandung, tepatnya di Jalan Asia Afrika dan melihat bangunan tua,
coba tengok plakat yang menempel ditemboknya. Pasti kamu menemukan arsitek
bernama C.P. W Schoemaker.
Ada yang saya sayangkan ketika masuk ke dalam Villa Isola.
Dari bacaan dan gambar-gambar yang saya lihat di internet, seharusnya di bagian
depan pintu masuk terdapat tulisan M Isolo E Vivo yang artinya menyendri untuk
bertahan hidup. Kini telah diganti dengan tulisan Bumi Siliwangi.
Saya pun berkeliling naik turun tangga melingkar dengan karpet
merah. Saya pun menemukan tangga yang terlihat sangat vintage dan menemukan
lampu yang mirip di kabin-kabin kapal laut.
Hal yang paling saya takjub adalah ketika menaiki tangga
melingkar dari besi menuju satu ruangan yang kini digunakan sebagai ruang
rapat. Saya juga berkesempatan untuk naik ke kedua menara Villa Isola. Di dua
menara itu, saya menemukan alat seperti alarm yang pernah saya temui juga di menara
Gedung Sate. Namun saya belum mencari tahu, apakah itu benar-benar alarm atau
hanya ornamen.
Dari menara, saya melihat ke bawah. Saya seperti tengah
berada di atas kapal laut. Terlihat air dan ombak yang terbelah olah laju kapal.
Selain itu jika pandanganmu diarahkan ke Utara, bakal tertuju ke Gunung
Tangkuban Perahu.
Kalau untuk dalam ruangan Villa Isola, sudah disesuaikan untuk
kebutuhan terkini sebagai Rektorat. Sehingga sudah ada sekat di tiap meja ke meja.
Mungkin hampir satu jam saya berada di dalam Villa Isola. Melihat dan mengagumi
salah satu bangunan cagar budaya ini.
Hampir lupa, saya juga takjub dengan landskap halaman depan
dan belakang Villa Isola. Karena dipenuhi bunga dan kolam. Saya pun
membayangkan jika kelak sukses bisa membangun sebuah villa seperti ini. So
berharap dulu sambil berusaha.
Setelah kunjungan ini saya pun makin penasaran untuk melihat
daleman bangunan kolonial di Bandung yang masih tersisa. Semoga saja ada kesempatan.