Guru Dian: Culture Shock dan Berdamai dengan Diri Sendiri
Tak semua orang bisa menjadi guru, dan semua guru belum
tentu menjadi sebenar-benarnya guru. Pasalnya menjadi guru bukan hanya tentang
mengajar tetapi mampu mengatasi diri sendiri dengan segala permasalahannya.
Hal itu yang saya tangkap dalam film Guru Dian. Film ini
berkisah tentang Dian yang disuruh oleh ayahnya untuk mengajar di desa
terpencil di daerah Cianjur, Jawa Barat.
Tak muda bagi Dian yang awalnya dikelilingi fasilitas lalu
terpaksa pindah ke desa yang minim fasilitas. Dian pun mengalami culture shock
atau gegar budaya. Ia harus mampu beradaptasi dengan segala kondisi dalam
hal ini berdamai dengan keadaan.
Culture shock adalah suatu kondisi psikologis yang
mengalami kekagetan karena harus menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru,
termasuk budaya baru yang mungkin berbeda jika dibandingkan dengan daerah
asalnya.
Hal ini terjadi jika seseorang tiba-tiba dipindahkan ke
lingkungan yang baru yang memiliki kebudayaan yang sangat berbeda dengan
kebudayaan di daerah asalnya. Entah itu desa dengan kota maupun satu negara
dengan negara lainnya.
Baca juga: Say Hello to Yellow: Toleransi dan Laju Orang Desa
Tanda-tanda seseorang tengah dilanda culture shock diantaranya,
berpikiran negatif dan selalu membandingkan antara lingkungan baru dengan
lingkungan lama, mudah marah dan frustasi.
Tanda-tanda yang telah disebutkan di atas sedikit banyak
tercermin di karakter Dian. Dian selalu membandingkan situasi di desa dengan di
kota. Salah satunya contohnya, menuntut anak-anak desa untuk sekolah sebagaimana
anak-anak kota tanpa memikirkan latar belakang para siswanya.
Pada satu sisi terlihat benar, bahwa pendidikan hak dari
semua warga negara, tak terhalang batas administrasi. Akan tetapi ada ruang rumit
yang tak bisa dipecahkan dengan mudah seperti taraf ekonomi, kebiasaan warga setempat
hingga motivasi dari anak-anak itu.
Kemudian Dian mudah marah dan berprasangka negatif terhadap satu
fotografer yang kebetulan bertugas di desa itu. Apa yang dilakukan sang
fotografer dianggap selalu salah, meskipun harus diakui perilaku si fotografer
memang membuat kesal.
Bahkan konflik antara Dian dengan fotografer menjadi sajian
utama, seolah mengesampingkan permasalahan antara Dian dengan murid-muridnya
dalam hal ini yang bernama Galih.
Baca juga: Film Tilik: Internet Itu Buatan Orang Pintar, Ga Bakal Salah
Bahkan nantinya sang fotograferlah yang menjadi jembatan mengatasi masalah yang dihadapi Galih dan Dian. Bermula dari konflik menjadi koalisi. Mau tak mau Dian harus menerima realita itu.
Selain itu, saya ingin menyoroti kesan desa terpecil di film
ini. Saya tak bisa menangkap kesan itu, dari dialog, dan atribut yang dihadirkan,
melunturkan kesan desa terpencil. Tak ada gambaran jelas mengenai seberapa jauh
desa ini dari kota, akses yang buruk, kondisi tempat tinggal warganya.
Sebagai contoh di adegan pentas seni kecapi dan tembang.
Acara tersebut dikelilingi obor sebagai pencahayaan akan tetapi di panggung
terdapat di lampu berkedip dan sound system. Notabenenya lampu berkedip itu ada
alat baru dan modern yang hanya bisa di dapat di kota.
Logika saya pun sedikit terganggu dengan masalah signal. Dalam
satu adegan Dian harus mengerek handphone untuk mendapatkan signal. Akan tetapi
ketika menjelang ujung film, sang fotografer dengan mudahnya membuka internet
melalui laptopnya.
Namun diluar itu saya apresiasi film ini karena memperlihatkan
citra guru dari ruang yang berbeda. Bahwa guru tetaplah manusia biasa, bisa
tertekan secara psikologi dan terkendala banyak masalah. Apalagi bagi seorang
guru muda.
Pengalaman Kuliah Kerja Nyata (KKN) semasa kuliah saja belum
cukup menjadi bekal terjun di masyarakat. Banyak hal lain yang harus
dipelajari.
10 Comments
Cianjur sebelah mana ya? Tapi masih deket lah, bisa banget kalau cuma buat ngejemput bu guru mah.
ReplyDeleteDi kaki gunung Gede, nama kampungnya Cibuluh kang. Akan tetapi bukan Cibuluh Tangguh.
DeleteHahahaha kok saya ketawa baca komennya, jadi guru emang susah-susah gampang sih, susahnya itu dua kali. Kebetulan saya basicnya juga dari pendidikan, jadi guru di Indonesia itu dilemma banget, kurikulumnya udah anjlok dari awal, banyak banget sih yang harus di benahi kalau menurut saya. Makanya besar harapan saya untuk bisa membangun rumah belajar sendiri karena saya nggak suka sama kurikulum pemerintah, saya nggak setuju sama sistem pendidikan di Indonesia, namun untuk merubahnya butuh usaha yang gede banget.
ReplyDeleteDisekolah2 negeri saya perhatikan mereka jarang berusaha membangun kepercayaan diri seorang siswa, sistemnya kayak hukum di Indonesia yang tajam ke bawah tumpul keatas, yang pintar disanjung-sanjung tanpa ada niat buat encourage siswa yang lain (let say kurang pintar) sehingga mereka percaya mereka nggak pintar, sampai akhirnya nggak berani buat bermimpi yang besar yang ujung2nya mereka akan menjalani kehidupan yang lempeng2 aja, besar banget efeknya kegenerasi muda kita. Seorang guru suka banget bangga2in siswa yang pintar di bidang studinya saja, tanpa tahu bahwa nggak semua orang suka MTK, Bhasa Inggris, Kimia, Fisika guru2 kurang memahami itu. Walau masih ada juga kok yang paham akan hal ini. Sewaktu PPL saya sering melihat guru yang marah2 sama siswa karena nggak ahli di mata pelajaran yang dia ajar, mulut saya gatel pengen nimbrung haha, tapi siapalah saya yang hanya numpang PPL hahaha.
Oke saya mulai ngelantur, nice post betewe, nggak tahu kenapa saya selalu tertarik sama issue pendidikan dan perempuan, wkwk.
Makasih mbak, atas effort komentarnya. Problem pendidikan di kita memang sangat pelik, seringkali anak² di tekan dan dipaksa pintar di bidang yang tak disukai.
DeleteSaya pikir kalau ada pengarahan sejak dini sesuai dengan potensi sa kira itu lebih baik deh.
semua kita adalah guru kehidupan eaa..
ReplyDeletesaya belum nonton filmya sih, tapi mungkin bu guru Dian banyak belajar juga dari muritnya ya ?
Quote of day, kita adalah guru kehidupan. Sa kira memang ada timbal balik antar murid dan guru.
DeleteSepertinya kang Upi ini selalu mereview tontonan yang lain daripada yang lainnya. Ini nonton di TVRI lagi, kang?
ReplyDeleteTontonan yang begini seharusnya mudah dinikmati orang, yang konfliknya mungkin tidak jauh dari keseharian kebanyakan masyarakat kita. Bukan melulu tentang konflik percintaan remaja seperti yang banyak diangkat dalam sinetron atau ftv.
Iya saya lihatnya di TVRI. Kebetulan film ini diproduksinya yang dananya dari Kementerin Pendidikan dan Kebudayaan.
DeleteSelain itu YouTube bisa jadi salah satu alternative nonton film gratis. Beberapa sineas lokal kerap meunggah film pendeknya agar bisa dikonsumsi publik. Namun masih minim.
Saya kira perlu sebuah platform yang menampung film² Indonesia layaknya Ipusnas menampung bukul² digital.
hahaha, kadang memang luput sih sutradaranya
ReplyDeletetapi bisa jadi sudah dicek, dicermati ulang, dan si sutradara punya alasan tersendiri untuk tetap menampilkan adegan itu, yang sinyal2an
ya gimana, gak ada film yang sempurna, haha
Tentu sutradara juga manusia tempatnya salah. Dan mungkin ada alasan lagi juga kenapa adegan itu tetep masuk.
Delete