Say Hello to Yellow: Toleransi dan Laju Orang Desa
“Ko tidak ada sinyal sih,” keluh Risma sambil mengacungkan handphonenya ke atas langit.
Adegan tersebut begitu familiar bagi kita selaku masyarakat
digital. Golongan masyarakat yang sangat khawatir akan kesulitan mendapatkan sinyal
apabila singgah di suatu desa atau tempat yang jauh dari kota.
Kehadiran sinyal pun telah menjadi salah satu aspek penting dalam
mempertimbakan pemilihan tempat tinggal. Lantaran signal telah menjelma
selayaknya urat nadi yang menopang kehidupan insan manusia. Selain itu, keberadaannya
telah mengubah kebiasaan atau cara bersosialiasi dengan orang lain.
Tak percaya silahkan? Silahkan simpan handphonemu lalu lihat
sekitar.
Melalui film Say Hello to Yello kita akan melihat fragmen-fragmen
perilaku sosial di desa yang bersinggungan dengan teknologi bernama handphone
dan sinyal.
Baca juga: DoReMi & You: Konflik Anak Sekolah
Jika dalam film-film berlatar pedesaan lainnya, kita selalu
disuguhi pemandangan alam yang indah. Jangan berharap menemukannya di film ini.
Pasalnya film karya B. W. Purba Negara satu ini ingin lebih menonjolkan kehidupan
sosial masyarakat yang dicitrakan dalam kehidupan anak-anak.
Pertama penonton digiring untuk mengamini sebuah ketimpangan
sosial budaya antara anak-anak desa dan kota. Hal tersebut diwujudkan dalam
sejumlah adegan seperti anak-anak desa yang memakai telpon kaleng hingga
permainan tradisional.
Anak-anak desa pun ditampikan sebagai pribadi yang ramah,
jujur dan saling membantu. Di mana dalam sejumlah kesempatan, mereka tak pernah
lelah untuk mengajak berkenalan dan bermain dengan Risma, selaku anak kota.
Sementara di sisi anak kota. Digambarkan sebagai sosok yang individualis,
melek teknologi dan terkesan ingin terlihat istimewa. Hal ini tercermin dari
sikap Risma tak pernah lepas dari hp, pura-pura sibuk menelpon. Padahal ia tahu
bahwa di sana tak mendapatkan sinyal. Seolah ia tengah mencari jati diri dan
pembuktian bahwa ia lebih hebat dari anak-anak desa.
Hingga pada akhirnya kita akan melihat bahwa usaha-usaha
untuk terlihat istimewa itu sia-sia belaka.
Satu hal yang harus saya garis bawahi di film ini, ialah
pesan toleransi antar umat beragama yang hendak disampaikan. Dalam sebuah
adegan ketika proses pembelajaran selesai, guru menunjuk tiga orang untuk
memimpin doa. Ketiganya mewakili tiga agama, di mana secara bergiliran mereka
memimpin doa.
Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi
Tak maksud untuk mendikriminasikan, tapi realitanya dalam
kesempatan berdoa di sekolah-sekolah kiwari selalu hampir selalu dipimpin satu
orang. Para minoritas jarang mendapatkan kesempatan.
Melihat adegan dari film tersebut seolah menjadi cambuk
bahwa tolerasi harus kembali digalakkan sedari kecil mulai dari tingkat sekolah
dasar. Terkadang kita terlalu terlena dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga
merasa tak perlu lagi mengajarkan toleransi.
Secara keseluruhan saya harus mengapreasiasi alur cerita dan
eksekusi film ini. Minimnya konflik tidak membuat film kehilangan makna. Saya
kira itu kelebihan yang dimiliki B. W. Purba Negara dalam setiap film pendek
yang digarapnya.
Mengenai ending film, saya kira film ini hendak menyampaikan
atau mengubah paradigma akan kehidupan di desa. Bahwa orang-orang desa adalah
masyarakat yang terus mengikuti perkembangan zaman, walaupun dengan segala kekurangan
dari segi infrastruktur. Mereka terus melaju.
6 Comments
Saya ingat dua dua tahun lalu, saya pernah pergi kampung halaman teman di Payakumbuh, Sumbar. Saya kaget ternyata masih ada desa tertinggal seperti itu, desanya tepat dibawah kaki bukit, yang jumlah KK nya bisa dihitung. Saya tidak pernah terpikir sebelumnya, saya pikir Sumbar sudah lumayan maju desa-desanya, sampai akhirnya saya datang kesana.
ReplyDeleteBeberapa hari di sana saya sempat memperhatikan kehidupan warganya, yang rata-rata petani, sayangnya tidak seperti yang diceritakan disini, para warganya memang ramah, tapi rada terobsesi sama kehidupan di kota. Saya susah mendeskripsikannya gimana. Satu lagi mungkin karena penduduk di desa ini sedikit, jadi ketika ada orang baru lansung katahuan, maka dari itu saya kurang nyaman kalau pergi jalan keluar, karena selalu di liatin. Selebihnya saya menikmati liburan di sana karena memang pemandangannya indah, ngga ada signal (again), cuman spot-spot tertentu di atas bukit yang ada signal.
Jangankan di Sumatra, di Pulau Jawa aja masih banyak desa terpencil. Terutama yang berada di dekat pegunungan.
DeleteYang saya ingat tentang desa itu biasanya rumah² di sana ga ada pagar. Setiap ada tetangga yang keluar pasti terlihat dan dan disapa.
Biasanya karena jumlah KK masih sedikit rasa kekeluargaan di tiap desa masih kental.
Ini nonton dimana yak?
ReplyDeleteNonton di TVRI
DeleteDimana saya bisa tonton lagi film ini? Nampaknya menarik. Anak kota sering digambarkan sebagai anak yang individualis dan egois. Padahal orang tuanya, atau kakek-neneknya, kemungkinan perantau dari desa yang seharusnya membawa serta dan menurunkan tradisi bermasyarakat di desa kepada anak-anaknya. Sementara anak desa, sering digambarkan sebagai anak yang kuno dan norak saat berada di kota.
ReplyDeleteDua karakter itu memang selalu menarik kalau diadu dalam sebuah film. Ada konflik kebiasaan dan yang biasanya akan menjadi favorit adalah saat si anak desa yang 'unggul'. Hehe.
Belum tahu, semoga bisa ditayangkan di youtube atau platform bioskop online.
DeleteBetul sekali, entah karena pengaruh pergaulan di kota sehingga nilai² yang diajarkan orang tuanya pun terkikis.
Dua karakter ini memang sangat menarik bila disandingkan. Bagi orang awam mungkin ada kesan karakter seperti ini hanya rekaaan, tapi kalo dah mampir ke desa atau sebaliknya bisa nemu karakter itu.