Kisah Nyai di Hindia Belanda
Kisah nyai di Hindia Belanda telah dituturkan dalam sejumlah
karya sastra. Ada yang berusaha merendahkannya dan ada pula yang berusaha
memahami kesakitannya.
Saya berkesempatan menyaksikan kisah nyai dalam media film
yang berjudul Nyai, karya Garin Nugroho. Dalam pembukaan film ini
ditampilkan disclaimer bahwa cerita ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel:
Nyai Isah (1904) karya F. Wiggers; Seitang Koening (1906) karya
R.M Tirto Adhisoerjo; Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek
Hoay; Nyai Dasimah (1960) karya S.M Ardan dan Bumi Manusia (1980)
karya Pramoedya Ananta Toer.
Saya sangat antusias, terlebih ada rasa penasaran mengenai perpektif
soal Nyai yang akan kembangkan oleh Garin. Dalam film ini. Garin menggunakan
pendekatan teater, sehingga dalam 85 menit akan ada satu latar saja. Beranda
rumah joglo bewarna hijau beserta meja bundar berkaki kayu.
Di beranda tersebut, keluar masuk tokoh yang mencari nyai dan suami Belandanya, Meneer William. Mulai dari penghibur penari dan orkes dengan musik timur tengah hingga penari jawa untuk menghibur Meneer yang tengah sakit. Lalu beranda seolah menjadi peradilan bagi nyai, ini tergambarkan dalam adegan seorang pemuka agama dan pribumi yang awalnya datang untuk mendoakan suami nyai, malah berbalik menasehati Nyai dan memintanya pindah agar tak menjadi sasaran kemarahan warga.
Baca juga: Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
Pemilihan beranda rumah sebagai
latar, mengimplitkan bahwa rumah menjadi tempat terkukungnya seorang nyai. Bahwa
nyai tak ubahnya meubel (parabot) di dalam suatu beranda. Seorang nyai
boleh dikatakan tak punya hak apapun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak
atas posisinya sendiri.
Kegetiran tersebut semakin sakit
kala menyaksikan sebuah monolog, Si Nyai bertutur bahwa dirinya dijual oleh
ayahnya sebagai upaya suap kepada meneer untuk kenaikan pangkat. Praktik ini kerap
terjadi di Hindia Belanda saat itu terutama di daerah perkebunan.
Nyai Terhimpit Dua Budaya
Sebagai seorang nyai tentu bisa
menolak tunduk, sebagaimana kisah Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia.
Digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis, dan tata niaga. Ia juga
belajar bahasa Belanda dan Melayu serta budaya dan hukum Belanda. Sehingga dapat
mengelola perusahaan dan dihormati berkat kekayaan yang dimilikinya.
Akan tetapi di mata hukum Belanda, Nyai tetaplah seorang gundik yang haknya sama dengan pribumi lainnya. Hal tersebut digambarkan dalam film nyai ketika seorang pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi miliki istri Belanda William, sesuai dengan Undang-undang Belanda.
Baca juga: Ca Bau Kan, Merekam Kekerasan Perempuan di Hindia Belanda
Sementara di mata pribumi, nyai
seolah sosok perempuan yanng hanya mementingkan materialiastik Dengan menjual
apa yang mereka miliki ke tangan orang Eropa. Padahal realitanya nyai hanyalah
korban yang mungkin bisa disamakan dengan kasus jual beli manusia. Lantaran di
beberapa kisah yang saya temui mereka bisa alihkan dari satu orang Eropa ke
orang Eropa lainnya.
Menyaksikan film Nyai membuat
mata kita terbuka dan merasakan kegetiran hidup seorang Nyai. Bagaiamana ia
terhimpit dua budaya yang membuat mereja menjadi minoritas, diterima sebagai
pembantu di mata orang-orang Eropa dan terasa diasingkan oleh kaum pribumi.
10 Comments
Ulasan menarik.
ReplyDeleteTentang penggambaran sosok seorang nyai, yang paling kuingat karya sastra dari Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.
Buku lain yang disebutkan diatas akan coba kucari dan kubaca.
Terimakasih rekomendasinya, mas.
Makasih mas. Moga bisa segera baca buku tersebut.
DeleteRasanya memang wajar pada zaman itu seorang wanita dijual oleh ayahnya hanya untuk mengejar pangkat. Walaupun sebenarnya bikin geram tapi mau bagaimana lagi. Apalagi saat itu Indonesia masih dijajah Belanda.
ReplyDeleteBegitu juga dengan nyai Ontosoroh, biarpun punya kemampuan berniaga, membaca dan menulis, tetap saja ia kalah status nya di mata orang Belanda.
Ngomong ngomong nyai ini teater apa film? Sepertinya teater ya.
Iya memang lumrah terjadi pada masa itu. Terlebih ketimpangan gender/kelas sangat terlihat.
DeleteFilm yang bergaya teater. Hanya pakai satu panggung
Coba nnti tak carinya.. Paling rekomendasi apa?? dari kelima novel di atas??
ReplyDeleteMonggo mas, saya rekomendasikan mulai dari Nyai Isah. Mungkin karena potret nyai di sini bisa melawan. Kaya Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia.
DeleteDari dulu pengen nonton ini. Belum masuk ke streamung service manapun. Semoga nyusul KTI di Bioskop Online.
ReplyDeleteEh, tapi memang ada yah karya sastra yang berusaha merendahkan citra Nyai? Setau saya memang dibuat begitu karena menangkap gambaran realistisnya
Wah iya sekarang asyik dah ada Bioskop Online. Mutar film² Indonesia berkualitas dengan harga bersahabat.
DeleteSepenangkapan saya ada, seingat daya di buku Reegie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda pernah disebutkan karya sastra buatan orang Belanda di saat itu sangat menyudutkan dan dan membangun citra negatif Nyai. Sebagai contoh Nyai digambarkan sebagai perempuan jahat yang bisa mencelakainya tuannya.
Jadi saya pikir karya sastra tak ubahnya kisah sejarah, dituturkan oleh mereka yang menang untuk satu tujuan di masa tertentu.
Sulit mas kalau beda budaya. Contoh kecilnya aja kalau teman kita beda selera makan dan film yang ditonton, bisa-bisa gak jadi akrab lagi..
ReplyDeleteIya kadang makin banyak beda makin ada jarak. Makanya tak heran bila lebih senang bergaul dengan satu frekuensi.
Delete