Preman Jaga Jarak
Pukul satu siang,
Bandrun baru tiba di tempat kerjanya. Sebuah tempat kerja di ruang terbuka di
mana kendaraan roda dua dan empat berjajar rapi. Yap sebuah lahan parkir.
Badrun adalah penguasa lahan parkir di ruko Sarimah. Sebuah pusat perbelanjaan elektronik
yang menjadi salah satu penggerak roda ekonomi di kota itu
Matahari bersinar
terik, Badrun belum beranjak dari motornya, badannya yang besar masih menempel
di jok motor. Motor sport tua yang tampak mengecil bila ditunggangi Badrun.
Selaku motoris ia tak seperti motoris kebanyakan pasalnya ia sangat jarang
memakai jaket, ke mana-mana hanya memakai kaos berwarna hitam bertuliskan “aing”.
Masih di atas jok motor, pandangannya melihat lahan parkir disekelilingnya yang
terlihat lebih luas daripada biasanya, dan jajaran ruko pada tutup.
Melihat hal itu,
Badrun kaget. Pasalnya tiga hari yang lalu ia mendapati aktifitas jual beli
masih berlangsung seperti biasa. Bahkan saat itu lahan parkir sangat padat,
sampai-sampai ia harus memasang tulisan “Maaf, parkir penuh.”
Badrun beranjak
dari motor lalu berjalan ke warung kopi yang tutup. Wajar saja bila tutup
karena hari ini adalah hari kesebelas di bulan puasa. Bandrun melihat kanan kiri,
seolah tengah mencari sesuatu.
“Nah ini dia kursi
singgahna aing,” ucapnya.
Pantatnya telah
menempel di kursi kayu lusuh, lalu Badrun merogoh handphone di sakunya. Dibuka
hape tersebut, jempol besarnya bergerak lincah mencari nomor kontak bernama Kudrin.
Dia adalah satu-satunya anak buah Badrun yang masih tersisa. Tiga anak buah
Badrun telah lama berpindah profesi menjadi penjual buah-buahan di kota asalnya
di Garut.
Handphone menempel
di telinga, terdengar nada dering. Tak lama kemudian tersambung.
“Drin, di mana?
Sini ke kantor segera!
Handphone ditutup
lalu kembali dimasukan ke dalam saku. Badrun kembali mengarahkan pandangannya
ke lahan parkir dan jajaran ruko yang tutup. Ia masih heran, karena selama ia
menjaga hanya ketika hari lebaran saja toko-toko di sini tutup. Dan hari ini
bagai anomali, dan Badrun merasa sangat bodoh karena tidak mengetahuinya.
Baca juga: Kepergian Naya
Masih terduduk di
kursi singgasananya, Badrun kini melamun, sembari memikirkan banyak hal, mulai
dari ingin membeli motor baru, renovasi rumah, hingga mau buka puasa nanti
pilih kolek atau sop buah. Belum sempat memutuskan, lamunan itu buyar ketika
seorang lelaki berkumis tebal dengan pakaian luyuh berada di depannya.
“Punten kang, bisa
berdiri sebentar!” ucap lekaki itu sambil melihat Badrun.
“Kamu siapa? Saya
penguasa di wilayah ini. Berani-beraninya kamu nyuruh saya,” kata Badrun dengan
tangan dikepal, seolah mau meninju si lelaki itu.
“Maksud saya bukan
begitu, saya hanya minta akang buat berdiri. Karena karung berisi botol bekas
milik saya keinjak sama kaki kursi yang akan dudukin,” sambil menunjuk ke arah
karung.
“Bilang donk kalau
begitu, pahala puasanya saya ga perlu berkurang karena saya marah” ketus
Badrun.
“Punten kang,”
lelaki itu mengambil karung dan hendak pergi. Namun Badrun memanggilnya dan
menyuruhnya untuk diam sebentar.
“Kamu tahu hari
ini, hari apa?” tanya Badrun
“Hari Senin kang,”
jawabnya.
“Iya saya tahu,
maksud saya mau tanya. Apakah kamu tahu kenapa toko-toko itu pada tutup?” tanya
Bandrun.
“Enggak tahu
kang,” lelaki itu sambil menunduk.
“Yaudah sana!”
Badrun menyuruh lelaki itu untuk pergi.
Setengah jam
kemudian Kudrin, tiba di kantor. Tentu kantor di sini bukanlah ruangan dengan
AC dan meja-meja yang dihiasi monitor berlogo jeruk disertai bulir-bulirnya.
Kantor di sini hanya berupa kursi sofa yang sudah terdapat sejumlah lubang
tetapi masih bisa digunakan, kursi kayu milik Badrun dan meja plastik. Kudrin
tiba dengan memakai celana pendek dan kaos oblong sobek dan dekil bertuliskan
Marsinah. Wajahnya tertutupi oleh masker scuba berwarna merah jamu.
“Kudrin, kenapa
kamu pakai masker dan tak memakai pakai pakaian dinas?” Tanya Badrun
“Maaf boss, ini
anjuran dari pemerintah. Saya juga tak pakai pakaian dinas karena hari ini
libur,” jawab Kudrin.,
“Anjuran dari
pemeritah mana?” Belum sempat Kudrin menjawan, Badrun sudah melemparkan
pertanyaan lagi.
“Lagian tadi aing
sudah tanya ke tukang rongsok, katanya hari ini ga libur. Sok mana yang
betul?” Badrun terlihat geram.
“Asal kamu itu
kerja di bidang seperti kita ini, kalender operasionalnya hitam semua,”
tambahnya sambil melihat tajam ke arah Kudrin.
“Maaf boss. Apa
boss enggak liat berita di tv atau baca berita di facebook soal kebijakan pemerintah
untuk menerpakan peraturan PSBB per hari ini,” jawab Kudrin.
“PSBB itu apa?
Persatuan Sepakbola Bandung Barat,” Badrun jawab ngasal.
“Bukan atuh boss,
tapi Penerapan Sosial Berskala Besar, yakni kebijakan dari pemerintah untuk
memutus mata rantai penyebaran virus corona. Di mana salah satu isinya adalah
menutup toko non sembako selama 14 hari terhitung dari sekarang,” tutur Kudrin.
Badrun terlihat
takjub dengan penjelasan dari Kudrin. Maklum saja, Badrun adalah preman gaptek
dan minim informasi. Semua informasi yang ia dapat hampir selalu dari kabar
burung entah itu obrolan dengan penjual kop keliling, hingga tukang ojok
online. Kendati takjub dengan Kudrin, Badrun tak pernah memuji anak buahnya
lantaran takut wibawanya turun.
Salah satu alasan
Badrun menjadikan Kudrin sebagai tangan kanannya lantaran dia adalah informal
yang handal. Dia bisa menutupi kelemahan yang dimiliki Badrun yang orang lain
tak ketahui selain gaptek yakni buat aksara.
“Satu lagi boss,
hindari kerumunan, selalu jaga jarak bila bertemu dengan orang lain dan
usahakan untuk kerja dari rumah,” Kudrin menambahkan.
“Kalo begitu
sekarang kamu pergi ke sebrang, kita harus jaga jarak biar aman,” Badrun sambil
menunjuk ke tempat di sebrang.
“Saya kan ga
corona, lagian ini sudah ada jarak sekitar satu meter dengan boss” jawab
Kudrin.
“Iya, tapi bau
badan kamu bikin, aing merana. Sana!” kata Badrun
Ilustrasi gambar by SamWilliamPhoto dari Pixabay
x
2 Comments
Bagus mas cerpenya saya suka , kenapa tak dikirim aja ke penerbit ?!
ReplyDeleteMakasih mbak, belum pede jika harus ke penerbit, masih banyak yang perlu diperbaiki biar makin bagus.
Delete