Resensi Braga Jantung Parijs Van Java
Tepat 24 September 2017 lalu, Bandung
merayakan ulang tahunnya yang ke 207. Usia yang bisa dibilang masih sangat muda
untuk ukuran sebuah kota. Meskipun begitu sudah banyak peristiwa yang dilalui oleh
kota dengan sebutan Parijs van Java ini. Bandung kini tumbuh menjadi kota besar
tempat semua suku dan budaya tumpah ruah.
Kota yang dikelilingi gunung-gunung
seolah tak pernah sepi dari hiruk pikuk manusia. Ada yang singgah untuk menimba
ilmu, ada yang singgah untuk bekerja dan ada pula yang singgah lalu menetap
untuk benar-benar menetap. Semua menjadi bagian dari Bandung dan itulah orang
Bandung.
Selain itu Bandung kini menjadi kota
tujuan wisata pelancong domestik dan pelancong mancanegara. Salah satu wisata
yang paling digemari para pelancong adalah wisata belanja. Potensi wisata
belanja ini tak datang begitu saja. Di dalam buku Braga Jantung Parijs van Java
dijelaskan Bandung di medio 1920-an mulai dibangun jajaran pertokoan yang
terletak di Jalan Braga. Jajaran
pertokoan ini kelak akan ramai dikunjungi oleh noni dan tuan Belanda.
Cikal bakal lahirnya Jalan Braga
bermula pada awal abad ke-19, yaitu seorang PreangerPleanters (tuan kebun Priangan
kaya bernama Andries de Wilde menguasai tanah di hampir seluruh wilayah Kota
Bandung saat ini. Ditanah miliknya, Andries de Wilde banyak membuka perkebunan,
terutama perkebunan kopi. Ia pun membuat gudang penyimpanan kopi di area yang
sekarang menjadi kompleks Balai Kota.
Untuk mendistribusikan kopi di
gudangnya ia memerlukan jalan yang menghubungkan ke Jalan Raya Pos yang
merupakan jalan utama di Pulau Jawa saat
itu. Kemudian secara bertahap jalan yang menghubungkan Jalan Raya Pos dengan
gudang kopi de Wilde diperluas dan diperbaiki.
Awal mulanya jalan ini hanya jalan
setapak. Namun seiring berkembangnya wilayah tersebut. Jalan tersebut
semakin ramai dan banyak dilalui
oleh angkutan pedati yang merupakan sarana transportasi paling banyak
digunakan saat itu. Sebab banyak dilalui pedati, orang-orang menyebut Jalan
Pedati atau istilah Belandanya Karrenweg.
Nama Jalan Braga sendiri mulai
dipergunakan pada tahun 1882. Nama Braga sendiri konon diambil dari kelompok
kesenian bernama Toneelvereeniging Braga. Kelompok kesenian yang sering melangsungkan
pertunjukan-pertunjukannya di Gedung Societeit Concordia atau yang kita kenal
sebagai Gedung Merdeka.
Dari sanalah nama Braga terus dipakai
hingga kini. Berada di tusuk sate antara Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika
berdiri Toko de Vries. Toko de Vries toko berdiri paling selatan di Jalan
Braga. Toko ini menjual segala macam kebutuhan sehari-hari mulai dari peralatan
dapur, makanan, dan minuman, kain, sepatu, alat-alat tulis dan buku hingga
obat-obatan.
Seiring berkembangnya kota, de Vries
harus bersaing dengan toko-toko lain yang mulai bermunculan di sekitar
Alun-alun hingga sepanjang Jalan Braga. Maka, pada dekade berikutnya de Vries
tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan.
Melangkah lebih utara Jalan Braga.
Terdapat Toko A.S Roth & Co. Toko ini mempunyai cerita menarik yang
berhubungan dengan julukan Kota Bandung. Sebuah tulisan mengatakan bahwa A.S
Roth sebagai pemilik toko adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah
“Parijs van Java” untuk mempromosikan produk jualannya di pasar malam tahunan Jaarbeurs 1920. Konon setelah
peristiwa tersebut, Bosscha sering mengutip istilah ini dalam berbagai
kesempatan sehingga menjadi popular sebagai julukan Bandung hingga kini.
Citra Bandung sebagai Parijs van Java
semakin dikuatkan, karena di medio tersebut ada toko Au Bon Marche Modemagajizn yang sangat terkenal sebagai
toko mode terkemuka. Mode pakaian yang dijual di toko ini berkiblat pada trend
mode di Paris. Maka tak ayal membuat Kota Bandung semakin kental dengan aroma
Paris.
Selain terdapat pertokoan yang menjual
pakaian. Di lintasan Braga pun terdapat restoran yang terkemuka saat itu, yakni
Maison Bogerijen. Kafe-restoran ini memiliki bangunan bergaya rumah tradisional
Eropa yang megah.
Restoran ini menjadi restoran paling
elit seantero kota. Konon restoran ini mendapat piagam-restu langsung dari Ratu
Belanda. Terdapat kalimat “Hofleverancier
van h.m de Koningin der Nederlanden en Zijne Exellentie G.G. van Ned. Indie” dalam
iklan Maison Bogerijen. Ini menunjukan bahwa Kerajaan Belanda dan Gubernur Jendralnya
di Hindia Belanda berlanggan pada restoran ini. Maka tak heran jika Maison
Bogerijen menjadi satu-satunya restoran yang diizinkan untuk menyajikan
hidangan istimewa khas kerajaan seperti Koningin
Emma Taart dan Wilhemina Taart yang
tidak bisa dijumpai disembarang tempat.
Kini tak bisa lagi menjumpai bangunan
tradisional Eropa tersebut, karena di
tahun 1960-an bangunan ini dipugar. Selanjutnya dilanjutkan oleh restoran Braga
Permai yang merupakan terusan dari Maison Bogerijen. Namun Braga Permai masih
mempertahankan beberapa panganan ringan dengan resep tempo dulu.
Baca juga: Borges dan Cerpen Realism Magicnya
Wajah Jalan Braga sudah banyak
mengalami perubahan. Beberapa bangunan sudah tergantikan dengan bangunan yang
lebih baru. Hanya tinggal beberapa saja yang masih meninggalkan gaya arsitektur
era kolonial.
Membaca buku Braga Parijs van Java
karya Ridwan Hutagalung dan Taufanny Nugraha akan membawa kita menyelami
kejayaan Jalan Braga di masa lalu. Selain itu lewat buku ini kita dapat
melihat, menelusuri dan mempelajari mengenai pengelolaan sebuah kota. Bagaimana
sebuah kota dibangun dengan jajaran pertokoan yang rapi, asri dan nyaman.
Jalan Braga kini tetap mempesona walau
sudah melewati masa kejayaannya. Peninggalan-peninggalan sejarah di sepanjang
Jalan Braga sudah seharusnya kita jaga bersama. Peninggalan sejarah tersebut
merupakan artefak yang mengingatkan bahwa Bandung telah melewati sejarah
panjang. Sejarah panjang itu menjadi identitas untuk mengembangkan Kota Bandung
menjadi lebih maju.
0 Comments