Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata
Minggu
pagi di saat matahari masih malu-malu untuk menampakan diri. Saya dan
rekan-rekan Komunitas Aleut sudah bersemangat untuk momotoran ke Dewata.
Dewata kali ini bukanlah sebuah tempat berpantai dengan pasir putih dan ratusan
bikini berjemuran. Dewata yang akan kami singgahi kali ini adalah sebuah
perkebunan teh yang terletak di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Kami
berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20-D, sekitar pukul 7.30.
Sebelum berangkat tentunya alangkah baiknya memastikan lagi semua perlengkapan
tak ada yang ketinggalan. Setelah kawan-kawan datang semua dan telah dapat partner
untuk mengarungi perjalanan kali ini, maka bersiaplah petualangan akan
dimulai. Saya pun mendapat partner Teteh dari Gagak yang datang sedikit
terlambat karena menunggu mamang Gojek. Total 20 motor yang ikut momotoran kali
ini dengan massa sejumlah 38 orang.
Sesuai
dengan rute yang telah ditentukan sebelumnya, jalan yang kami tempuh bukan
jalan protokol atau jalan yang familiar di telinga saya. Tepat pada pukul 08.00
kami berangkat dan mengisi bahan bakar terlebih dahulu di SPBU Sekelimus, lalu
kami memutar balik menuju jalan di permukiman Batununggal yang nantinya akan
keluar di daerah Mengger lalu bisa tembus di Jalan Dayeuhkolot tempat di mana
cokelat Delfi diproduksi. Tapi sayang saat itu tak tercium sedikitpun aroma
cokelat yang biasanya membuat saya lapar. Kemudian kami berbelok ke Jalan
Cisirung, jalanan yang di kanan-kirinya hanya terlihat tembok-tembok pabrik
berdiri. Jalanan yang kami lewati hingga kini masih relatif bagus dan masih
enak untuk motor kota.
Selepas
Jalan Cisirung kami menuju arah Sayuran kemudian menuju Jalan Rancamanyar. Di
jalan ini jalanan yang kami tempuh mulai menyempit dan terdapat lubang-lubang.
Kami melaju beriringin dengan laju yang konstan. Setibanya di kawasan
sekitaran Rancatungku, beberapa kawan membeli kue balok yang berada di pinggir
jalan. tiba-tiba muka beberapa kawan Aleut berubah drastis ekspresi wajahnya
menjadi raut kaget dan setengah tidak percaya. Bukan karena melihat Marilyn
Monroe sedang jalan-jalan di sekitar Banjaran, tetapi karena kue balok yang
mereka beli ternyata begitu murah. Hanya dengan Rp 6.000,- saja bisa di tukar
dengan sekantong kresek penuh kue balok yang pastinya bikin melag kalau
tidak didampingi dengan minuman.
Setelah
urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan ke arah Bandasari. Di sinilah
jalan dengan tanjakan demi tanjakan mulai menyambut kami. Begitu sampai di
puncaknya di daerah Leuweung Datar kami semua disuguhkan dengan tanjakan yang
aduhai nanjaknya. Beberapa kawan dipaksa untuk menurunkan penumpangnnya agar si
kuda besinya dapat mendaki tanjakan dengan lebih bertenaga. Bahkan sekelas
motor trail yang saya kira akan melaju tanpa hambatan, ternyata
mengalami kendala hingga harus dibantu oleh beberapa kawan agar sampai ke
puncak. Semua reflek bergerak membantu seketika jika ada motor kawannya yang
kelihatan tidak bakal naik.
Kami
melewati beberapa turunan dan tanjakan dengan kondisi jalan bebatuan yang
mungkin bisa disebut jalan sungai saat (kering). Mengingat waktu sudah
menunjukan jam makan siang, kami beristirahat di sebuah masjid di Pasir Jambu.
Untunglah tukang batagor datang tepat waktu tak banyak bicara seketika serbuan barudak
Aleut yang sudah keroncongan mengerumuni mang batagor, bahkan beberapa kawan
yang membawa bekal dari rumah pun mencampurnya dengan batagor. Di sini sangat
terasa kenikmatannya ketika makan bersama walau hanya dengan sepiring batagor
yang sederhana.
Tak
terasa waktu istirahat kami di Masjid Pasir Jambu harus segera usai, karena
waktu sudah menunjukan pukul 13.00 dan kami tak mau sampai terlalu larut ketika
berada di perkebunan Dewata. Dari Pasir Jambu kami bisa keluar ke Jalan
Cisondari, dan di jalan inilah saya mengalami pengalaman yang sedikit aneh dan
membingungkan. Ketika saya mengganti rekan saya Irfan untuk menunggu kawan yang
ada di belakang, saya dan Delvi mengalami deja vu yang pernah dialami
beberapa kali orang kawan sepi saya ketika perjalanan ke Bayah. Saya melihat
motor Gistha 2 kali melewati saya. Pertama kami melihat Gistha dengan Mbak
Nurul, lalu tak lama kemudian saya melihat lagi Gistha melintas bersama Yance
dan Agus. Saya sangat kaget sekaligus bingung, apakah saya mengkhayal atau
tidak. Tapi hal ini jelas terasa nyata bagi saya dan Delvi.
Dari
Jalan Cisondari kami masuk ke jalan raya Ciwidey lalu belok ke arah Citiwu dan
sejenak menunggu satu kawan kami yang ke bengkel, namun kami tak tahu pasti
bengkel sebelah mana tepatnya. Sambil sejenak beristirahat, beberapa kawan ada
yang membeli es krim Aice yang begitu melanglangbuana hingga ke pelosok, namun
saya lebih memilih mengobrol dengan rekan lainnya. Langit kala itu mulai
menghitam hingga Bang Ridwan menyuruh kawan-kawan Aleut untuk memakai jas hujan
sebelum hujan membasahi raga. Tak lama berselang hujan pun turun dan kami
segera melanjutkan perjalanan.
Baca Juga: Perjalanan yang Hakiki di Kertasari
Kami
kembali disuguhkan dengan jalan bebatuan, dan baru menemui jalan beton ketika
masuk di kawasan Geo Diva. Di samping kanan dan kiri jalan ini adalah hutan
Gunung Tilu yang terlihat begitu rimbun, sesekali juga terlihat tulisan
“habitat babi hutan”. Setelah melewati kawasan Gunung Tilu yang cukup
panjang kami tiba di daerah simpang Dewata atau kawasan perkebunan Rancabali.
Di kawasan ini kami semua memarkirkan motor dan langsung terjadi huru-hara
semua rariweuh mengambil foto dari gawainya masing-masing. Memang tak
dapat dipungkiri kawasan ini punya pemandangan yang aduhai yang sangat sayang
jika tak diabadikan.
Perkebunan
Dewata sudah begitu dekat dari posisi kami, namun kami harus mengurungkan niat
setelah berbincang-bincang dengan warga lokal. Menurutnya, kondisi jalanan
menuju Dewata sangat sangat sangat rusak, hanya motor trail dan jeep yang bisa
mencapai ke sana. Setelah berdiskusi, kami memilih pulang dengan mengambil
jalur ke arah Patuhawatee yang akan tembus di Kawah Putih.
Selepas
perkebunan Rancabali terdengar suara suara keretak-keretek dari motor saya.
Bagian knalpot motor rupanya sedikit mengalami patah dan ada beberapa baut yang
lepas, sepertinya karena terhantam bebatuan yang cukup tajam. Si Biru masih
bisa melaju walau kadang ia terdengar seperti menjerit, seolah-olah tak mau
mengecewakan saya.
Tak
terasa langit sudah diwarnai bintang dan kami masih berada di area lapang
kosong di Patuhawatee. Situasi semakin gelap dan kondisi jalanan sudah tidak
bisa di tembus dengan motor biasa hingga akhirnya kami harus kembali ke arah
perkebunan Rancabali. Di sini semua saling menguatkan mengingat kondisi yang
jauh dari mana-mana. Hanya ada kami dan alam sekitar.
Kondisi
yang sudah sangat gelap kami melaju dengan sangat rapat, dan selalu saling
mengawasi satu sama lain. Sebelum melewati kawasan Gunung Tilu kami semua
mengisi tenaga di warung yang tak jauh dari tempat tadi sore kawan-kawan
berfoto.Karena perjalanan pulang kali ini akan cukup menguras tenaga dan
pikiran yang lebih ekstra. Kawan-kawan Aleut sudah mengisi perut yang kosong,
sekitar 9 malam kami memulai perjalanan pulang setelah Bang Ridwan
mengkordinasikan, mengatur posisi motor dan mengingatkan kawan-kawan Aleut
untuk tetap fokus dan juga saling mengawasi satu sama lain.
Jika
menemui kendala, kami bersepakat bahwa pengendara motor harus memencet klakson
yang akan diikuti kawan lainnya hingga semua berhenti sejenak dan membantu
rekan yang mengalami kendala. Beberapa kali motor kawan Aleut mengalami rem
blong di sekitar jalan Gunung Tilu karena panasnya piringan cakram yang harus
disiram dan di dinginkan sejenak agar kembali berfungsi normal. Beruntung semua
masih bisa dikendalikan berkat kerjasama dari semuanya dan kami melanjutkan
perjalanan dengan melaju sangat rapat dan penuh kehati-hatian. Sehabis jalanan
Gunung Tilu kami masuk ke jalan raya Ciwidey. dan tidak kembali melewati turunan
dan tanjakan di Pasir Jambu karena kami memilih untuk melalui jalanan perkotaan
ke arah Ciwidey – Soreang – Kopo dan berakhir di Solontongan.
Alhamdulilah
dan puji syukur perjalanan pulang dapat dilewati dengan selamat. Kami tiba di
Bandung sekitar pukul 11.30 malam. Beberapa kawan Aleut ada yang harus menginap
di Kedai Preanger dan pulang pada besok paginya karena kami tiba di Bandung
larut malam.
Catatan Perjalanan ini dimuat juga di komunitasaleut.com
0 Comments