Rupaca
Powered by Blogger.
  • Beranda
  • Portofolio
  • Profil
  • Kategori
    • Catatan Perjalanan
    • Celoteh
    • Cerpen
    • Essai
    • Lomba
    • Kilas Balik
    • Riview
    • Ruang
    • Sosok
  • Kontak
  • Shop
Benjang Gulat, Seni Bela Diri Ujungberung

Dalam budaya Sunda dikenal sebuah ungkapan, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh). Ungkapan tersebut jadi salah satu filosofi atau nilai yang diajarkan kesenian Benjang Gulat.

Benjang Gulat merupakan seni beladiri yang berasal dari daerah tatar Sunda, lebih tepatnya di Ujungberung, Kota Bandung. Kabarnya Benjang Gulat tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial. Semula Benjang Gulat berkembang di kalangan santri pesantren dan menjadi sebuah permainan. Namun kemudian ada larangan dari pemerintah Hindia Belanda lantaran khawatir terciptanya kantong-kantong kekuatan untuk memberontak.

Pasca kemerdekaan tepatnya masa Orde Baru, Benjang Gulat pun sempat dilarang karena dianggap sumber tawuran di Ujungberung pada 1970-an. Benjang Gulat kemudian dapat kembali ‘merdeka’ pasca runtuhnya Orde Baru.

Kiwari Benjang Gulat pun bisa disaksikan dan dimainkan tanpa ada rasa khawatir. Kendati begitu seni bela diri ini tak lantas menjadi populer di luar wilayah Ujungberung. Sepengatahuan penulis Benjang Gulat telah terdokumentasi dalam beberapa medium seperti artikel berita, jurnal akademik, video dokumenter dan film. 

Salah satu dan mungkin satu-satunya film tersebut adalah Gulat Benjang Pamungkas. Sebuah film yang diprakarsai dan diongkosi oleh pemerintah.

Baca Juga: Guru Dian: Culture Shock dan Berdamai dengan Diri Sendiri

Film Gulat Benjang Pamungkas bercerita tentang anak bernama Fajar yang pindah ke desa di Cilengkrang, Ujungberung, kota Bandung karena ayahnya dipindah tugaskan di kelurahan setempat.

Sebagai anak baru, Fajar memiliki kewajiban untuk mengenal dan beradaptasi dengan lingkungannya. Namun adaptasi itu tak berjalan mulus, ada tokoh yang tidak menyukai kehadiran Fajar. Tokoh antagonis itu pun dikenal sebagai anak yang jago Benjang Gulat.

Dari sini konflik dimulai dan tentu menyaksikan sekilas, penulis sudah bisa menebak bagaimana jalannya konflik dan solusinya. Akan tetapi penulis harus memberikan kredit, pasalnya Fajar tidak dibuat menjadi tokoh yang Zero to Hero, mempelajari Benjang Gulat dalam waktu relatif singkat serta mengalahkan lawan-lawannya yang telah lama jadi jawara dan berlatih Benjang Gulat.  

Sebagai film yang mengusung tema bela diri, entah kenapa penulis merasa ada yang kurang. Mungkin karena di film ini tidak menampilkan sejumlah perguruan atau padepokan Benjang Gulat. Sehingga suasana kampung yang sangat mencintai dan mengangungkan Benjang Gulat terasa luntur.  

Namun saya patut apresiasi bahwa film ini tetap berada pada jalurnya, yakni menyampaikan pesan sesuai dengan filosofi Benjang Gulat, “meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh memiliki lawan, tetapi tidak boleh memiliki musuh).

Di sisi lain, kehidupan warga desa seperti mencari pakan ternak, menjadi hal yang menarik untuk disaksikan. Sebagai orang yang pernah dekat dengan kehidupan desa, menyaksikan film ini sedikit banyak membangkitkan memori akan kampung halaman. Terlebih penulis memiliki keterikatan darah dengan tanah Sunda.

Baca Juga: Kisah Nyai di Hindia Belanda 

Selain ihwal alur cerita, penulis pun menyoroti pemilihan latar musik dari film ini. Ada kesan ‘pelit’ dalam menyajikan iringan musiknya. Musik yang ditampikan terasa standar karena memakai musik-musik yang banyak ditemukan di internet di era sekarang.

Andai mengeksplorasi musik-musik yang ditampilkan nayaga atau pemain musik di jelang akhir film, penulis pikir akan lebih eksklusif dan feel lokalitas Sundanya lebih menyentuh.  

Kendati begitu penulis harus apresiasi lebih terhadap film-film yang mengangkat tema di luar arus utama. Pasalnya menjadi oase akan yang dapat mengobati kejenuhan dari film-film cinta dan lainnya.  

 Teh Kombucha Fermentasi SCOBY

Pernahkan kamu meminum dan membuat teh Kombucha?

Dalam artikel kali ini saya akan berbagi pengalaman mengenai sensasi meminum teh kombucha. Spesialnya lagi ialah saya meminum teh kombucha buatan sendiri. Sebelum berlanjut, ada baiknya kita mengenal dulu apa itu teh kombucha.

Teh kombucha merupakan minuman hasil fermentasi dari bakteri dan ragi yang disebut SCOBY (Symbiotic Culture of Bacteria and Yeast). Namun banyak orang mengenal kumpulan bakteri dan ragi (SCOBY) itu adalah jamur kombucha.

Kabarnya Kombucha sudah dikenal lebih dari 2000 tahun sebelum masehi – dan baru masuk ke Indonesia sekitar 1930. Di sejumlah daerah Indonesia seperti Jawa Timur dan Jawa Timur, kombucha dikenal dengan nama Jamur Dipo atau Jamur Benteng.

Namun harus teman-temen ketahui bahwa jamur di sini bukan arti sebenarnya. Pasalnya sebagaiamana saya singgung di atas bahwa ini adalah kumpulan bakteri dan ragi yang hidup berkoloni membentuk kultur seperti gelatin.

Bentuk dari SCOBY atau jamur kombucha ini seperti nata de coco atau jelly. Memiliki warna putih kecoklatan, kenyal dan mengandung banyak air. SCOBY atau jamur kombucha ini merupakan bahan utama yang meski dimiliki jika ingin membuat teh kombucha.

Mencicipi Teh Kombucha

Saya pertama kali mencicipi teh kombucha dari oleh-oleh kawan selaku pengembara café ke cafe. Rasa minuman ini asam, sedikit manis, segar dan makin segar jika dalam kondisi dingin. Memiliki warna kecoklatan karena memang salah satu bahannya adalah air teh.

Kemudian saya kembali mencicipi teh kombucha dari oleh-oleh yang dibawa ibu dari temannya. Kabarnya teh kombucha ini dibuat sendiri oleh teman ibu, karena dia memiliki jamur kombucha. Berawal dari itu saya minta ke ibu untuk membawakan jamur kombucha atau SCOBY dari temannya, karena saya penasaran ingin membuatnya sendiri.

Membuat Teh Kombucha

Buat Teh Kombucha Scoba

Berbekal kemampuan seadanya dan infomari dari google saya mencoba membuat teh kombucha. Dari penelusuran tersebut bahwa dikatakan pembuatan teh kombucha sangat mudah. Pada prinsipnya adalah mencampurkan the manis dingin dengan SCOBA. Lalu tunggu selama 7 sampai 14 hari.

Bahan-Bahan Membuat Teh Kombucha

Pertama adalah air, usahakan kamu tidak memakai air mineral kemasan. Hal ini sebagai antisipasi jika ada bahan-bahan air mineral yang akan mengganggu citarasa teh Kombucha. Sangat dianjurkan menggunakan air tanah atau sumur yang direbus.  

Kedua teh secukupnya, kamu bisa menggunakan berbagai varian teh mulai dari teh hijau, hitam, putih, dan sebagainya. Namun jika ingin merasakan hasil heh kombucha rasa original, saya sarankan pakai teh hijau.

Baca juga: Lahang, Minuman Manis Sarat Manfaat

Ketiga gula pasir, ini dibutukan untuk membuat teh manis. Pasalnya SCOBY hidup dan berkembang dengan cara memakan kandungan glukosa pada gula.

Terakhir, yang paling penting adalah SCOBA atau jamur kombucha. Kamu bisa mendapatkan SCOBY atau jamur kombucha di market place atau di petani kombucha.  

Alat-Alat Membuat Teh Kombucha

Alat-alat yang diperlukan terdiri dari panci untuk memasak air. Kemudian toples atau gelas berbahan kaca, sebagai tempat menyimpan the kombucha. Dipilihnya bahan kaca sebagai antisipasi agar tidak mempengaruhi cita rasa atau kandungan yang ada di teh kombucha. Terakhir kain dengan pori-pori besar seperti kelambu dan karet gelang atau tali.

Cara Membuat Teh Kombucha

Pertama masak air hingga matang. Ini bukan pantun kawan. Tunggu hingga air mendidih dan masukan teh dan gula secukupnya. Setelah itu diamkan teh manis hingga dingin atau suhu ruangan.

Kemudian masukan air teh manis yang sudah matang ke dalam toples kaca. Lalu masukan SCOBA atau jamur kombucha ke dalamnya.

Tutup toples itu dengan kain yang berpori-pori. Tidak boleh ditutup kedap udara karena proses fermentasi Kombucha memerlukan udara.

Ikat kain itu dengan karet gelang. Lalu simpan toples di tempat aman yang memiliki sirkulasi baik. Hindari terkena sinar matahari secara langsung. Setelah itu diamkan selama 7 sampai 14 hari.

Baca juga: Apa yang Buat Nasi Goreng Dendeng Lemak Tiarbah Enak?

Selama fermentasi toples tidak boleh terguncang. Setelah 14 hari, kamu bisa mencicipnya teh kombucha ini.

Pastikan juga ketika memanen kamu memisahkan jamur kombuchanya lebih dulu dan jangann dipegang dengan tangan secara langsung. SCOBA itu pun masih bisa digunakan untuk fermentasi berikutnya. Adapun tanda jika SCOBA tidak bisa digunakan lagi ketika sudah berwarna cokelat tua.

Manfaat Teh Kombucha

Berdasarkan artikel yang beredar di internet, teh Kombucha memiliki sejumlah manfaat seperti sebagai pendetox tubuh, yakni mengeluarkan racun-racun di dalam tubuh. Selain itu, teh kombucha ini dapat meningkatan antibodi, melancarkan pencernaan, mengurangi sakit saat Hadi, dan menyembuhkan penyakit ringan seperti maag, insomnia, asma dan lainnya.

Bisnis Teh Kombucha?

Setelah bisa membuatnya sendiri tentu saya menjadi penasaran untuk membisniskannya. Karena bukan tidak mungkin teh kombucha akan hitz sebagaimana kopi sekarang. Namun saya masih harus memperbaiki cita rasa kombucha yang dibuat, agar memiliki standar yang layak di jual belikan.

Menutup artikel ini saya ucapkan terima kasih telah berkunjungn, meluangkan waktu untuk membaca dan jika kamu punya pengalaman terkait teh kombucha bisa ditumpahkan di kolom komentar.

Tak lupa saya pun sedikit mendokumentasi cara membuat teh kombucha lewat video yang bisa disaksikan di bawah ini atau di channel youtube saya. Subkrie gais, ikan tomat makan hiu.


Film Guru Dian Diperankan Ryan Putri Moka Cianjur

Tak semua orang bisa menjadi guru, dan semua guru belum tentu menjadi sebenar-benarnya guru. Pasalnya menjadi guru bukan hanya tentang mengajar tetapi mampu mengatasi diri sendiri dengan segala permasalahannya.

Hal itu yang saya tangkap dalam film Guru Dian. Film ini berkisah tentang Dian yang disuruh oleh ayahnya untuk mengajar di desa terpencil di daerah Cianjur, Jawa Barat.

Tak muda bagi Dian yang awalnya dikelilingi fasilitas lalu terpaksa pindah ke desa yang minim fasilitas. Dian pun mengalami culture shock atau gegar budaya. Ia harus mampu beradaptasi dengan segala kondisi dalam hal ini berdamai dengan keadaan.

Culture shock adalah suatu kondisi psikologis yang mengalami kekagetan karena harus menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru, termasuk budaya baru yang mungkin berbeda jika dibandingkan dengan daerah asalnya.  

Hal ini terjadi jika seseorang tiba-tiba dipindahkan ke lingkungan yang baru yang memiliki kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaan di daerah asalnya. Entah itu desa dengan kota maupun satu negara dengan negara lainnya.

Baca juga: Say Hello to Yellow: Toleransi dan Laju Orang Desa

Tanda-tanda seseorang tengah dilanda culture shock diantaranya, berpikiran negatif dan selalu membandingkan antara lingkungan baru dengan lingkungan lama, mudah marah dan frustasi.

Tanda-tanda yang telah disebutkan di atas sedikit banyak tercermin di karakter Dian. Dian selalu membandingkan situasi di desa dengan di kota. Salah satunya contohnya, menuntut anak-anak desa untuk sekolah sebagaimana anak-anak kota tanpa memikirkan latar belakang para siswanya.

Pada satu sisi terlihat benar, bahwa pendidikan hak dari semua warga negara, tak terhalang batas administrasi. Akan tetapi ada ruang rumit yang tak bisa dipecahkan dengan mudah seperti taraf ekonomi, kebiasaan warga setempat hingga motivasi dari anak-anak itu.

Kemudian Dian mudah marah dan berprasangka negatif terhadap satu fotografer yang kebetulan bertugas di desa itu. Apa yang dilakukan sang fotografer dianggap selalu salah, meskipun harus diakui perilaku si fotografer memang membuat kesal.

Bahkan konflik antara Dian dengan fotografer menjadi sajian utama, seolah mengesampingkan permasalahan antara Dian dengan murid-muridnya dalam hal ini yang bernama Galih.

Baca juga: Film Tilik: Internet Itu Buatan Orang Pintar, Ga Bakal Salah

Bahkan nantinya sang fotograferlah yang menjadi jembatan mengatasi masalah yang dihadapi Galih dan Dian. Bermula dari konflik menjadi koalisi. Mau tak mau Dian harus menerima realita itu.  

Selain itu, saya ingin menyoroti kesan desa terpecil di film ini. Saya tak bisa menangkap kesan itu, dari dialog, dan atribut yang dihadirkan, melunturkan kesan desa terpencil. Tak ada gambaran jelas mengenai seberapa jauh desa ini dari kota, akses yang buruk, kondisi tempat tinggal warganya.

Sebagai contoh di adegan pentas seni kecapi dan tembang. Acara tersebut dikelilingi obor sebagai pencahayaan akan tetapi di panggung terdapat di lampu berkedip dan sound system. Notabenenya lampu berkedip itu ada alat baru dan modern yang hanya bisa di dapat di kota.    

Logika saya pun sedikit terganggu dengan masalah signal. Dalam satu adegan Dian harus mengerek handphone untuk mendapatkan signal. Akan tetapi ketika menjelang ujung film, sang fotografer dengan mudahnya membuka internet melalui laptopnya.

Namun diluar itu saya apresiasi film ini karena memperlihatkan citra guru dari ruang yang berbeda. Bahwa guru tetaplah manusia biasa, bisa tertekan secara psikologi dan terkendala banyak masalah. Apalagi bagi seorang guru muda.

Pengalaman Kuliah Kerja Nyata (KKN) semasa kuliah saja belum cukup menjadi bekal terjun di masyarakat. Banyak hal lain yang harus dipelajari.

 

 

 

 

“Ko tidak ada sinyal sih,” keluh Risma sambil mengacungkan handphonenya ke atas langit.

Adegan tersebut begitu familiar bagi kita selaku masyarakat digital. Golongan masyarakat yang sangat khawatir akan kesulitan mendapatkan sinyal apabila singgah di suatu desa atau tempat yang jauh dari kota. 

Kehadiran sinyal pun telah menjadi salah satu aspek penting dalam mempertimbakan pemilihan tempat tinggal. Lantaran signal telah menjelma selayaknya urat nadi yang menopang kehidupan insan manusia. Selain itu, keberadaannya telah mengubah kebiasaan atau cara bersosialiasi dengan orang lain.

Tak percaya silahkan? Silahkan simpan handphonemu lalu lihat sekitar.  

Melalui film Say Hello to Yello kita akan melihat fragmen-fragmen perilaku sosial di desa yang bersinggungan dengan teknologi bernama handphone dan sinyal.  

Baca juga: DoReMi & You: Konflik Anak Sekolah

Jika dalam film-film berlatar pedesaan lainnya, kita selalu disuguhi pemandangan alam yang indah. Jangan berharap menemukannya di film ini. Pasalnya film karya B. W. Purba Negara satu ini ingin lebih menonjolkan kehidupan sosial masyarakat yang dicitrakan dalam kehidupan anak-anak.

Pertama penonton digiring untuk mengamini sebuah ketimpangan sosial budaya antara anak-anak desa dan kota. Hal tersebut diwujudkan dalam sejumlah adegan seperti anak-anak desa yang memakai telpon kaleng hingga permainan tradisional.

Anak-anak desa pun ditampikan sebagai pribadi yang ramah, jujur dan saling membantu. Di mana dalam sejumlah kesempatan, mereka tak pernah lelah untuk mengajak berkenalan dan bermain dengan Risma, selaku anak kota.  

Sementara di sisi anak kota. Digambarkan sebagai sosok yang individualis, melek teknologi dan terkesan ingin terlihat istimewa. Hal ini tercermin dari sikap Risma tak pernah lepas dari hp, pura-pura sibuk menelpon. Padahal ia tahu bahwa di sana tak mendapatkan sinyal. Seolah ia tengah mencari jati diri dan pembuktian bahwa ia lebih hebat dari anak-anak desa.  

Hingga pada akhirnya kita akan melihat bahwa usaha-usaha untuk terlihat istimewa itu sia-sia belaka.

Satu hal yang harus saya garis bawahi di film ini, ialah pesan toleransi antar umat beragama yang hendak disampaikan. Dalam sebuah adegan ketika proses pembelajaran selesai, guru menunjuk tiga orang untuk memimpin doa. Ketiganya mewakili tiga agama, di mana secara bergiliran mereka memimpin doa.

Baca juga: Sebelum Pagi Terulang Kembali, Keluarga Mapan Terjerat Korupsi

Tak maksud untuk mendikriminasikan, tapi realitanya dalam kesempatan berdoa di sekolah-sekolah kiwari selalu hampir selalu dipimpin satu orang. Para minoritas jarang mendapatkan kesempatan.  

Melihat adegan dari film tersebut seolah menjadi cambuk bahwa tolerasi harus kembali digalakkan sedari kecil mulai dari tingkat sekolah dasar. Terkadang kita terlalu terlena dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga merasa tak perlu lagi mengajarkan toleransi.  

Secara keseluruhan saya harus mengapreasiasi alur cerita dan eksekusi film ini. Minimnya konflik tidak membuat film kehilangan makna. Saya kira itu kelebihan yang dimiliki B. W. Purba Negara dalam setiap film pendek yang digarapnya.

Mengenai ending film, saya kira film ini hendak menyampaikan atau mengubah paradigma akan kehidupan di desa. Bahwa orang-orang desa adalah masyarakat yang terus mengikuti perkembangan zaman, walaupun dengan segala kekurangan dari segi infrastruktur. Mereka terus melaju.

  

 

Tilik, film pendek karya Wahyu Agung Prasetyo. Pertama kali rilis pada 2018, selang dua tahun kemudian film ini tayang di youtube melalui kanal Ravacana Films.

Film Tilik telah meraih penghargaan Piala Maya 2018 kategori Film Pendek Terpilih, Official Selection Jogja Netpac Asian Film Festival 2018 dan Official Selection World Cinema Amsterdam 2019. Deretan penghargaan tersebut menegaskan bahwa film berdurasi 32 menit ini bukan kaleng-kaleng.

Film Tilik menceritakan serombongan ibu-ibu yang menjenguk Ibu Lurah di rumah sakit menggunakan truk. Selama perjalanan diisi dengan serangkaian gosip tentang Dian, putri dari bu Lurah.

Sebagian besar adegan di film ini berada di atas truk, kendati begitu kamu tak akan bosan lantaran dialog dan perdebatan sengit dari dua tokoh utama, Bu Tejo (Siti Fauziah) dan Yu Ning (Brilliana Desy). Kamu pun bakal terhibur dengan wajah ekpresif dan tutur kata Bu Tejo.

Artikel Populer: Kisah Nyai di Hindia Belanda

Bu Tejo ini sosok yang menjadi sumber informasi gosip tentang Dian. Lalu, Yu Ning tokoh yang digambarkan pendiam terkesan polos, kerabat jauh dari bu Lurah.

Salah satu sumber pergosipan tentang Dian berasal dari internet. Tepatnya Facebook. Mulai dari kehidupan pribadi, karir dan sebagainya.

“Makanya Yu Ning, rajin baca berita dari internet,” ujar Bu Tejo.                                                   

“Namanya,” sahut Bu Tri. Satu ibu yang sangat pro dengan Bu Tejo. Selalu mengaminkan apa yang dikatakan Bu Tejo.

Bu Tejo dan Yu Ning Film Tilik | Youtube Ravacana

Kehadiran internet yang sudah masuk desa menimbulkan dilema. Pasalnya makin banyak informasi bisa makin banyak juga gosip yang bermunculan dan kena tipu toko online bodong.  

Secara teknis, saya harus mengapresiasi detail film ini. Lantaran memasukan adegan-adegan yang menurut penulis menambah kesan natural dan related dengan penonton.

Pertama scene ketika Bu Tejo ingin pipis, secara spontan Yu Ning memberikan karet gelang. Ia menyuruh Bu Tejo untuk menjepit ibu jarinya dengan karet supaya menahan pipis. Namun itu tak berhasil. Adegan ini mengingatkan tentang kepercayaan di daerah tempat tinggal penulis untuk menyimpan batu jikalau kebelet buang air besar.

Baca juga: Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Kemudian ada adegan satu ibu yang mabok darat. Nampaknya ibu ini tak makan antimo dulu. Tentu yang paling menarik dan unik ialah bunyi klakson. Gotrek sebagai supir sengaja memencet klakson sebagai signal untuk menghindari polisi. Sebagaimana diketahui bahwa dilarang untuk membawa penumpang (orang) dalam truk.

Namun di kali kedua, karena Bu Tejo dan Yu Ning keasyikan berdebat hingga mengindahkan signal klaskson, walhasil Gotrek hkena tilang. Akan tetapi setelah ibu-ibu itu turun tangan, entah apa yang terjadi membuat mereka bisa lolos dari aparat.

Pentingnya Cek Informasi Agar Terhindar dari Hoax

Dalam video youtube, Cerita di Balik Layar Tilik, Agung mengatakan bahwa film ini diangkat dari fenomena budaya tilik (dalam bahasa jawa artinya menjenguk). Selain itu benang merah film ini membahas sebuah informasi, di mana sekarang tuh banyak banget hoax. Dan sekarang tuh era digital di mana internet sudah masuk ke pedesaan, Ini menjadi rentan, kenapa film ini harus diproduksi sekarang.

Karakter-karakter di film Tilik menggambar kehidupan kita. Misalnya, Bu Tejo menggambarkan kita yang doyan gosip dan menghamba kepada internet.

Melalui film ini kita diingatkan untuk selalu mengecek setiap infomasi yang datang. Entah dari omongan orang lain hingga internet. Karena kenyataannya tak semua gosip itu salah dan berakhir dengan kekalahan.


Dalam artikel Leuhang, Sauna Tradisional Sunda, kang Dede mengira saya yang akan membahas lahang. Lantaran hal tersebut, akhirnya saya keidean untuk membuat artikel tentang lahang. Saya pikir anak-anak kiwari tak mengenal lahang. Jadi apa itu lahang? Mari simak saja.  

Lahang adalah minuman yang dihasilkan dari sadapan nira atau sari aren. Minuman ini memiliki rasa manis dengan warna yang keruh. Lahang identik sebagai minuman khas Jawa Barat. Mungkin karena pada periode 70-an sampai 90-an minuman ini sangat populer di masayarakat Jabar.

Saya sendiri terakhir merasakan manisnya lahang tuh sekitar 3-4 tahun lalu. Saya menemukan penjual lahang di daerah Cigadung, Bandung. Saya meneguk satu gelas lahang seharga Rp. 5.000. Saat itu saya tidak sempat mengobrol dengan penjualnya karena harus buru-buru berangkat kerja. Setelah itu saya belum lagi menemukan penjual lahang. Duh kangen rasanya euy.  

Selain itu ada juga yang menyebut lahang sebagai minuman isotonik. Merujuk pengertian dari BPOM RI (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia) bahwa minuman isotonik merupakan minuman formulasi yang ditujukan untuk menggantikan cairan, karbohidrat, elektrolit, dan mineral tubuh dengan cepat. Artinya dapat mencegah dehidrasi karena tergantinya ion tubuh.

Saya rasa tidak salah juga jika memasukan lahang sebagai minuman isotonik. Karena setelah meminum ini badan saya terasa berenergi layaknya minum pocari sweet.

Cara Pembuatan Lahang

Untuk mendapatkan lahang, petani harus menyadap bunga jantan pohon aren di pagi hari. Bunga jantan pohon dipilih yang sudah mekar agar hasilnya pun melimpah. Langkah pertama sadap atau potong ujung bunga itu. Lalu ujung potongan dibungkus dengan ijuk. Tunggu hingga bekas potongan tersebut mengeluarkan nira. Proses menunggu keluarnya nira ini bisa memakan waktu minimal seharian.

Jika nira sudah keluar cukup banyak. Maka bungkus ijuk bisa dilepas dan diganti dengan lodong (bambu besar yang ujung sudah dibolongin). Akan tetapi lodong yang akan dipakai harus dicuci lebh dulu dan diasapi dengan bara api sampai lodong kering. Proses ini dikenal dengan istilah digorok. Selain itu proses ini juga kabarnya berpengaruhi pada kualitas nira yang dihasilkan.  

Artikel Populer: Borondong Majalaya, Oleh-oleh Khas Bandung Selatan 

Jika proses ini sudah dilalui maka lahang siap disajikan atau dijual. Para penjual lahang biasanya menggunakan lodong sebagai media simpan lahang. Pada bagian atas lodong ditutup ijuk sabuk kelapa. Mereka ngider di waktu pagi dan sore dari satu kampung ke kampung lainnya. Lahang yang dijual pun pastinya masih segar.

Muda dan tuanya pohon aren yang disadap bakal membuat warna lahang berbeda-beda. “Kalau warnanya putih, itu dari pohon aren muda, kalau kecokelatan itu dari pohon yang tua. Rasa yang tua lebih manis,” kata Yudha Purnama pemilik Lahang Sangkuriang dikutip dari ayobandung.  

Kabarnya juga jika lahang di simpan dalam waktu yang lama bakal rusak dan berubah menjadi minuman fermentasi yang mengadung alkohol.  

Manfaat Lahang Bagi Kesehatan

Lahang dipercaya memiliki sejumlah manfaat bagi kesehatan manusia. Mulai dari melancarkan pencernaan, melancarkan ASI, menurunkan demam. Kandungan sukrosa dan kalori pada lahang bisa mengembalikan energi yang hilang setelah seharian beraktifitas. Oleh karena itu tak heran bila banyak yang menyebutkan sebagai minuman isotonik.

Baca juga: Apa yang Buat Nasi Goreng Dendeng Lemak Tiarbah Enak?

Kendati begitu lahang kalah saing dengan minuman bermanfaat lainnya yang tersedia di minimarket. Mungkin agar dapat bersaing diperlukan evaluasi dan merancang strategi bisnis untuk pengembangan lahang. Entah itu membuat perkebuan pohon aren agar produksi lahang bisa banyak, pengemasan ulang lahang dalam bentuk kemasan agar dapat dijual di minimarket.

Mungkin kamu tertarik mencicipi lahang atau mau bisnis lahang?  

*Foto lahang di atas source linisehat.com

Older Posts Home

Postingan Populer

  • Istilah-istilah Teknis Dalam Penulisan Skenario atau Skrip
  • Aplikasi SIKASEP, Solusi Mencari Rumah Tanpa Keluar Rumah
  • Merawat Ingatan Kolektif Dalam Istirahat Kata-kata
  • Leuhang, Sauna Tradisional Sunda
  • Nunggu Teka, Menimbang Kembali Makna Kebersamaan

Author


Hello, There!

Aloha, urang Rulfhi Alimudin biasa dipanggil Upi. Urang suka nulis tapi belum tahu suka kamu atau engga


Ikuti

Blog archive

Artikel Pilihan

Ulasan: ‘Logan Lucky’: Steven Soderbergh dan Kelompok Pencuri

Copyright © 2016 Rupaca. Created by OddThemes